Beritaenam.com — Manakah yang lebih sulit, berbicara atau mendengarkan?
Seorang profesor di Harvard pernah membuktikannya. Ia membuka dua kursus: kursus public speaking, dan kursus mendengarkan.
Nyatanya, kursus public speaking-nya kebanjiran peminat, sementara kursus listening-nya kekurangan peminat.
Sekali-sekali, cobalah amati percakapan Anda dengan kawan-kawan sewaktu makan siang. Orang pertama bertutur, “Anak saya hebat, lo, baru 4 tahun saja sudah lancar membaca.”
“Kalau anak saya, suka sekali menari,” kata orang kedua, “saya ingin dia ikut les balet.”
Orang ketiga menimpali, “Anak saya lebih suka main piano. Saya ingin mendatangkan guru ke rumah.“
Orang keempat menjawab, “Ngomong-ngomong, gimana, ya, caranya supaya anak-anak tak terlalu sering menonton TV. Kamu tahu, kan, TV banyak mengajarkan hal-hal yang tak baik.”
Coba perhatikan percakapan di atas. Semua orang sibuk berbicara, tapi tak ada yang mendengarkan.
Kalau dilihat dari kejauhan, kita mungkin menyangka bahwa di antara tengah terjadi percakapan yang menarik. Tapi begitu diamati dari dekat, kita akan tahu bahwa di sana tak ada komunikasi.
Semua orang sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Mereka ingin melepaskan ketegangan dengan berbicara.
Tapi, mereka tak ingin mendengarkan cerita orang lain. Kalau pun kelihatannya mendengar, mereka sebenarnya sedang menunggu kesempatan berbicara.
Padahal, didengarkan merupakan kebutuhan terpenting tiap manusia. Semua orang ingin dimengerti dan diakui.
Kita ingin dianggap penting dan unik. Kita ingin orang tahu betapa sibuknya kita, dan betapa sulitnya tantangan yang kita hadapi sehari-hari.
Sayangnya, di zaman yang serbainstan ini, kita tak punya banyak waktu untuk saling mendengarkan. Sulit sekali mencari seorang kawan yang benar-benar mau mendengarkan kita.
Di sinilah akar banyak persoalan, dalam hubungan antarmanusia. Kita semakin frustrasi karena merasa tak dihargai dan dimengerti. Kita juga sering merasa harus menghadapi masalah sendirian.
Padahal, salah satu kebaikan terbesar yang dapat kita berikan pada orang lain adalah dengan mendengarkannya.
Mendengarkan yang dimaksud tentunya bukanlah hanya di permukaan, seperti menatap mata, dan tidak memotong pembicaraan. Mendengarkan yang dimaksud adalah dengan segenap perhatian, pikiran, dan jiwa kita.
Namun, hal ini tentu tak mudah. Kita harus melupakan sejenak kepentingan kita sendiri.
Kita juga harus menahan diri untuk memberikan nasihat karena bukan nasihat itu yang dibutuhkan teman Anda. Yang ia butuhkan cuma satu: didengarkan!
Sebagai konsultan, saya sering menghadapi situasi seperti ini. Banyak orang datang meminta nasihat. Namun, saya berusaha tidak tergoda untuk memberikannya.
Saya hanya mendengarkan mereka berbicara dengan segenap jiwa dan raga, dengan perhatian yang 100%. Dan anehnya, mereka tampak cukup terbantu setelah berbicara dengan saya.
Sebagai penutup, izinkanlah saya menampilkan sebuah puisi singkat yang menggambarkan kebutuhan manusia yang terdalam untuk didengarkan:
Ketika aku minta engkau dengarkan, dan engkau malah menasihati aku, engkau tidak memberikan apa yang kuminta
Ketika aku minta engkau dengarkan, dan engkau malah mengatakan bahwa aku seharusnya tidak merasa seperti itu, engkau menginjak-injak perasaanku
Ketika aku minta engkau dengarkan, dan engkau malah merasa punya sesuatu untuk mengatasi masalahku, engkau sungguh mengecewakan aku
Dengarlah! Yang kuminta hanyalah agar engkau mendengarkan.
Jangan berbicara atau berbuat, dengarkan saja.