Tindakan kritis dan anti-kemapanan seperti itulah warisan penting dari almarhum AB yang patut dicontoh oleh para aktivis generasi berikutnya.
Beritaenam.com — Kabar duka itu datang dari Dodi Ambardi, kawan sesama anggota grup WhatsApp_ para alumni wartawan Majalah Editor, Tiras dan Tajuk (ETT).
Menantu Arief Budiman (AB) itu berkabar dengan nada sedih, “Pak Arief wafat sejam yang lalu,” tuturnya Kamis siang (23/4/20) pada wartawan senior eks-Majalah Editor, Nanang Junaedi.
Saya jadi teringat pertemuan terakhir dengan sosiolog dan tokoh sastrawan kontekstual, yang juga guru besar di Melbourne University Australia itu, sekitar delapan bulan silam.
Saya sengaja berkunjung ke kediamannya di Salatiga saat ada pelatihan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) di kota Solo.
Sesampai di rumahnya, saya mengucap salam. Tak ada jawaban. Tetapi pintu rumah itu terbuka lebar, sehingga sinar matahari masuk ke ruang tamu.
Saya lantas memberanikan diri mendekat ke arah pintu. Betapa tertegun saya saat menyaksikan pemandangan yang sangat religius: AB dan Mbak S. Leila Chairani, istrinya, sedang sembahyang ashar.
Setelah itu kami bertiga berbincang santai. Didera parkinson hampir 13 tahun, kondisi fisik AB memang telah banyak berubah.
Tubuhnya lebih jangkung dan kurus. Tetapi semangatnya tetap luar biasa.
Ini misalnya tampak saat AB berlatih berjalan didampingi Mbak Leila sambil berdzikir, dan di saat yang lain terkadang bernyanyi untuk membuat suasana gembira.
Lama tak bertemu, saya berusaha mengenalkan diri terlebih dahulu dengan cara mengingatkan peristiwa masa lalu.
Ketika sebagai wartawan Majalah Mingguan Editor, saya bersama Yusro M. Santoso dan Bekti Nugroho pernah berkunjung ke rumah aktivis 1966, yang dikenal anti-kemapanan itu.
Kami saat itu sengaja datang untuk melengkapi bahan liputan seputar hiruk pikuk pembangunan Waduk Kedung Ombo.
Waduk itu dibangun (1985 – 1989) oleh Pemerintah Orde Baru atas bantuan Bank Dunia, di samping dana APBN. Tetapi, karena alasan yang mendasar: dilawan oleh rakyat, pembangunan waduk yang menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di tiga kabupaten (Sragen, Boyolali dan Grobogan), pembangunan Kedung Ombo menyisakan pilu dan duka bagi masyarakat setempat.
Ditambah lagi, tuduhan kiri alias PKI pun seketika dialamatkan kepada siapa saja yang menentang pembangunan waduk tersebut. AB termasuk salah satu tokoh yang mengkritisi cara dan pendekatan pembangunan Kedung Ombo.
Rupanya, memori masa lalu itu masih lengket dalam ingatan AB. Termasuk, saat ia berkisah dengan lancar tentang masa lalunya bersama sejumlah kawan yang sudah pergi terlebih dahulu.
Sambil berkelakar, AB misalnya, bercerita tentang bangunan rumahnya yang diarsiteki oleh mendiang Romo Manguwijaya.
Karena posisi tanah berada di pinggir kali, tanah bebatuan itu posisinya miring, sehingga arsiteknya pun harus orang yang berpikiran miring.
“Saya lebih muda. Romo Mangun lebih tua. Saya ajak guyon seperti itu, ya dia tidak marah,” kata AB sambil tersenyum.
Hubungan keduanya sangat dekat. Sama seperti hubungan AB dengan Gus Dur, juga Umar Kayam. Belum lama, cerita Mbak Leila, Cak Nun — Kiai Mbeling itu — juga ngobrol di rumah ini, nyambangi AB. Daya ingat AB masih sangat bagus.
Nalar dan logikanya pun masih berjalan baik. Ketika saya coba tanyakan, apa yang belum dikerjakan sampai saat ini dan masih ingin dikerjakannya?
Ia menjawab, ingin menulis secara utuh tentang teori sosial dan sastra kontekstual. Artikel tentang tema tersebut sudah banyak ia tulis. Tetapi menyebar entah di mana sekarang.
“Belum sempat saya kumpulkan,” akunya. Dan yang mengagumkan dari AB, kendati sudah uzur, semangat hidupnya terus membara.
AB, dengan segala keterbatasannya, lantaran harus selalu dipandu, masih suka berjalan pagi atau sore. Bahkan, di malam hari sekalipun terkadang ia minta berjalan, dibantu asistennya yang setia melayani.
Menurut Mbak Leila, makannya pun terbilang bagus untuk ukuran seorang penderita parkinson. Mbak Leila bercerita, AB kena parkinson genetik dari almarhumah ibundanya.
Mulai sore hingga menjelang waktu isya’, saya menyaksikan suasana kehidupan AB dan Mbak Leila yang patut ditiru.
Mereka berdua sudah sepuh (AB 79 tahun, Mbak Leila 78 tahun), tetapi jalinan kasih di antara keduanya terlihat jelas pada bahasa tubuh mereka. Ini misalnya saya saksikan saat Mbak Leila membimbing AB berwudhu untuk persiapan sembahyang maghrib.
Saya kemudian diminta jadi imam shalat maghrib, dengan jamaah tiga orang: AB, Mbak Leila, dan asisten rumah tangganya.
Ada pesan kuat dari Mbak Leila sebelum saya pamit meninggalkan rumahnya. Apa itu? “Saya ingin orang yang saya cintai ini husnul khotimah dan masuk surga,” jawab psikolog yang pernah menjadi kolumnis tetap Harian Kompas itu.
****
Rumah AB masih seperti dulu. Saat di tahun akhir 1980-an dan 1990-an sejumlah wartawan atau para aktivis gerakan sering berkunjung ke sana.
Rumah itu berdiri kokoh. Kombinasi antara tiang-tiang beton dan kayu ulin Kalimantan. Tampak anggun. Kayu ulin itu melintang di atas plafon dan tiang-tiang rumah yang dibalut dengan pelitur cokelat salak tua.
Rumah yang berdiri di atas tanah seluas sekitar 3.000 meter itu terdiri dari beberapa bagian bangunan. Mengikuti kemiringan kontur tanah bebatuan.
Mulai dari tanah yang paling tinggi, bangunan itu tertata dengan tiang-tiang kokoh sampai ke bagian bawah di pinggir kali. Beberapa pohon jati dan perdu tumbuh berbaris di pinggir kali. Seperti berfungsi sebagai pagar alam sekaligus pekarangan bagi rumah tersebut.
Dilihat dari bagian bawah, rumah yang dibangun tahun 1985 ini nampak makin asri. Terutama jika dinikmati dari halaman parkir yang terletak persis di pinggir kali sambil mendengarkan kecipak airnya.
Hawa sejuk, sebagai bagian dari kaki Gunung Merapi, terasa benar di rumah AB. Jahe hangat yang disajikan Mbak Leila pun tandas tanpa terasa.
Bagi wartawan, AB adalah narasumber berita yang nyaman, karena dapat dipastikan si wartawan bakal beroleh banyak kutipan bernas.
Lebih dari itu, AB adalah sumber ilmu dan pembuka wawasan bagi para wartawan muda yang kritis terhadap kebijakan penguasa. AB tidak pelit berbagi ilmu pada siapa saja. Inilah salah satu kelebihan AB, yang membuatnya disukai dan diidolakan banyak wartawan.
Hal lain yang menarik dari AB adalah studi dan kajian kritisnya saat menempuh studi doktoral di Harvard University AS. Ia banyak mendapatkan inspirasi menarik dari pemerintahan demokratis pro-rakyat di bawah pimpinan tokoh sipil Salvador Guillermo Allende Gossens di Chile.
Pemerintahan ini akhirnya jatuh lewat kudeta berdarah ke tangan rezim militer di bawah pimpinan Jenderal Augusto Pinochet (1973).
Jatuhnya Allende sebagai pemerintahan sipil demokratis, adalah pelajaran penting bagi sebuah negeri demokratis tetapi belum diimbangi oleh kekuatan civil society serta partai politik pro-demokrasi yang kuat. Akhirnya, negara yang seperti ini mudah jatuh ke tangan militer, karena pilar demokrasinya masih fragile (rapuh).
Ada cerita menarik yang pernah dikisahkan AB di balik jatuhnya Allende ini. Keterlibatan CIA (katanya suatu kali dalam sebuah wawancara) untuk menjatuhkan tokoh demokratis berhaluan kiri dari Chile ini menggunakan sandi “Operasi Jakarta”. Banyak arti dan analisis bisa dikemukakan dalam operasi CIA yang menggunakan sandi Operasi Jakarta itu.
Salah satunya adalah disertasi doktor yang ditulis AB sendiri saat mendalaminya di Harvard dengan judul: The Mobilization & The State Strategies in The Democratic Transition to Socialism: The Case of Allende’s Chile. Disertasi itu diterjemahkan ke dalam buku dengan judul: “Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende”.
Benar, bagi aktivis gerakan, AB dikenal sebagai pemberi inspirasi gerakan karena cara berpikirnya yang kritis, logis serta simpel. Dan, yang tak kalah penting adalah tindakannya yang lurus sehingga integritasnya terjaga sebagai tokoh gerakan.
Sebagai intelektual, AB acap mengeluarkan kritik pedas pada penguasa tanpa mengenal rasa takut. Membela “orang pinggiran”, pihak yang selalu dirugikan akibat dari setiap tindakan penguasa, bagi AB adalah ideologi yang tak perlu mengenal kompromi. Termasuk, karena kekritisannya itu ia harus masuk penjara.
Inilah yang AB alami saat mengkritisi kebijakan rezim Orde Baru: sebuah rezim yang awal mula berdirinya sempat ia bela terang-terangan. Bahkan, AB tidak segan memberi cap “intelektual tukang” pada siapa saja dari kalangan intelektual, tidak terkecuali terhadap teman seiring, jika sang teman tadi tidak bisa menjaga integritasnya.
AB adalah pengeritik garda paling depan rezim Orde Baru saat rezim tersebut dianggap melenceng dari rel dan cita-cita awal sebagai pengawal hati nurani rakyat.
Saya kira, tindakan kritis dan anti-kemapanan seperti itulah warisan penting dari almarhum AB yang patut dicontoh oleh para aktivis generasi berikutnya.
Kabar duka itu datang dari Dodi Ambardi, kawan sesama anggota grup WhatsApp_ para alumni wartawan Majalah Editor, Tiras dan Tajuk (ETT).