Hari-hari jelang lebaran, banyak perantau sepertiku, merasakan betul greget kepingin pulang kampung. Nggak punya uang nggak perduli, kalau perlu di bela-belain utang atau ‘berjuang’ untuk bisa sampai kampung halaman.
Saya termasuk orang perantauan. Sejak awal 80-an, saya sudah merantau di Jakarta. Saya ngerasain betul bagaimana suasana gairah dalam hati, seminggu sebelum lebaran.
Dekade 80-an ketika saya masih di bangku SMA, saya memaksakan diri pulang kampung, biarpun ongkos pas-pasan. Saya bela-belain naik bus ngeteng, dari Jakarta ke Cirebon, lalu menyambung ke Tegal, lanjut lagi ke Semarang dan disambung dengan angkutan umum untuk sampai di kampung halaman.
Biar bayar setengah harga, saya sengaja mengenakan seragam sekolah. Itulah suka dukanya, dulu jaman susah. Saya bisa sekolah saja, sudah bersyukur, makanya ketika dikasih kesempatan pulang mudik lebaran, saya berjuang dengan cukup melelahkan, dua hari dua malam di kendaraan. Saya ingat betul, bagaimana sulitnya perjuangan pulang kampung waktu itu, demi tetap menjaga tradisi mudik dan bersilaturahmi. Di angkutan bus padat dan rela berdiri, dijabani.
Saya membayangkan diri saya yang yatim piatu sudah nggak ada orang tua saja punya gairah mudik lebaran, apalagi mereka yang masih punya orang tua. Waktu itu, saya juga nggak punya rumah di kampung. Alhamdulillah masih sempat bersilaturahmi dengan saudara dan tetangga. Duhh senangnya, bisa kumpul di hari lebaran.
Sekarang ketika semua fasilitas itu ada, gairah mudik lebaran itu sudah nggak begitu menghentak. Mungkin karena suasana sudah berubah. Kebahagiaan dan gairah mudik itu sepertinya bergeser, ketika saya bisa memberikan kesempatan kepada para karyawan dan saudara-saudara, bisa pulang mudik lebaran dengan merasakan suasana kegembiraan seperti yang saya rasakan puluhan tahun yang lalu.
Saya menatap wajah-wajah sumringah karyawan dan saudara yang selama ini ikut dengan saya. Dan kegembiraan bakal ketemu orang tua, saudara dan para tetangga di kampung halaman. Itulah kebahagiaan yang saya rasakan saat ini. Kegembiraan saya, terwakili oleh tatapan wajah mereka yang mungkin sudah setahun tidak pulang kampung.
Dari teras kantor, malam ini, saya memandang jauh ke depan. Menatap cakrawala, menembus ruang dan waktu. Puluhan tahun yang lalu saya teringat masa kecil di kampung terpencil. Sekarang saya ada disini, dan saya hanya bisa mengucapkan selamat merayakan Idul Fitri, mudah-mudahan kalian selamat di perjalanan, bisa berkumpul bersama keluarga dikampung halaman. Doa saya menyertai kalian. Minal Aidin wal Faidin.
Cibubur Point, 23 Juni 2017.