Site icon Beritaenam.com

Bibit Lobster, Kayu Glondongan dan Eksport PRT

BIBIT LOBSTER, KAYU GLONDONGAN, DAN EKSPOR PRT – Thomas L. Friedman hampir selalu memulai telaah panjang dan njlimet-nya dengan potret kehidupan sehari hari.

Selanjutnya masuk ke isu global dan dia kupas panjang lebar dan melelahkan tentang trend yang sedang terjadi di planet bumi, ciptaan Tuhan, yang kita huni ini.

Dalam buku “Hot, Flat and Crowded” (2008), misalnya, jurnalis dan kolumnis “New York Times” ini memulai dengan pemandangan aneh di bandara Abu Dhabi di satu pagi pk. 03:30 bulan Desember 2007.

Dia ada di sana hendak terbang ke Bali untuk menghadiri konferensi perubahan iklim global. Peraih tiga penghargaan Pulitzer – yang sangat bergengsi – ini melihat antrean ratusan perempuan dengan bawaan berat dan sedang antre .

“Mereka pembantu rumah tangga dari Indonesia, ” kata eksekutif India yang duduk di sebelahnya.

“Ekpor pekerja Indonesia adalah pekerja kasar bukan pekerja berotak, ” kata eksekutif India di bandara Abu Dhabi itu.

 

Sesampainya di Jakarta, Friendman kemudian menghubungkan antara ekspor PRT dengan ekpor kayu gelondongan dalam buku yang membahas isu lingkungan itu.

Perwujudan yang berbeda dari masalah yang sama. Sama sama “bahan mentah” yang belum punya nilai tambah.

Di Bali, jurnalis spesialis luar negeri Timur Tengah dan isu lingkungan ini bertemu dengan Barnabas Siebu, Gubernur Papua, dan mendapat informasi tentang warganya yang menebang pohon di hutan.

Info menariknya, gelondongan kayu seharga beberapa puluh dollar dan ditampung oleh tengkulak yang meraup keuntungan ratusan dollar dan diekspor ke Cina atau Vietnam.

Dari situ diubah menjadi perabotan jadi seharga ribuan dollar di Tokyo, London dan Los Angeles.

Paparan L. Friedman di halaman 413 itu mengingatkan pada penjelasan Susi Pudjiastuti saat menjabat Menteri di KKP.

Susi menyatakan, bahwa bibit lobster atau benur dijual nelayan seharga Rp.10 ribu dan ditampung oleh pedagang Vietnam seharga ratusan ribu.

Nah, setelah dibesarkan dengan berat hingga 500 gram harganya meroket hingga Rp.4 juta. Bahkan lebih di restoran China saat perayaan tahun baru.

KEBODOHAN ala Indonesia yang disemburkan oleh Thomas L Friedman masih terjadi hingga kini.

Alih alih mendukung larangan Susi Pudjiastuti, tentang pentingnya membudi dayakan benur agar memiliki nilai yang berlipat – dari menteri lulusan SMP itu – kepada menteri KKP penggantinya, Dr. Edhy Prabowo dengan gelar di belakangnya: SE, MM, MBA.

Yang terjadi malah membuka kran ekspor buat konco konco dan para penyelundup – dibantu humas dan staf ahli sekelas profesor komunikasi lulusan UI yaitu Effendi Gazali.

Yang menggelikan, politisi garang sekelas Fahri Hamzah – yang merasa paling tahu demokrasi dan lantang mengajari para pejabat eksekutif dan presiden bagaimana bernegara – ikut dalam gelimang bisnis ekpor sekelas kayu gelondongan, TKI dan benur itu : produk mentah yang belum punya punya nilai tambah.

Saya pernah dibuat terkesan ketika dia mengutip pernyataan fisikawan Albert Einstein, “Tanda tanda kegilaan adalah melakukan sesuatu dengan cara sama, berulang-ulang, dan mengharapkan hasil berbeda.”

Dan pada pensiunan sebagai mantan anggota DPR akhirnya dia berkubang juga di situ.

HOT, FLAT and CROWDED : Mengapa kita memerlukan revolusi hijau dan bagaimana mempebaharui masa depan kita” adalah buku karya Thomas L. Friedman ke enam yang menggemparkan dan buku ketiganya yang saya miliki.

Sebelumnya, dia menulis “From Beirut to Jerusalem” (1989; edisi tambahan 1990) – “The World Is Flat: A Brief History of The Twenty-first Century” (edisi revisi 2007)

Saya tertarik beli dan mengoleksi, gara gara dipromosikan dalam acara “Oprah Winfrey Show”.

Bumi menjadi panas (Hot) karena kemajuan teknologi telah mempercepat laju peningkatan emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer yang menghambat pelepasan hawa panas dari bumi ke ruang angkasa.

Bumi menjadi rata (Flat) karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi memungkinkan siapa pun, di mana pun, dapat saling berhubungan dan saling bersaing dalam segala hal dengan mudah sehingga seolah-olah bumi seperti berada di atas sebuah pinggan yang datar.

Bumi menjadi penuh sesak (Crowded) karena penduduk yang makin banyak, akibat keberhasilan upaya menekan angka kematian, dan industrialisasi, bertumpuk di kawasan perkotaan dan sekitarnya tanpa upaya yang seimbang dalam pembenahan sarana dan prasarana.

Adakah yang bisa kita lakukan agar dunia tetap menjadi tempat di mana burung bisa terbang dan menyanyi, tempat kita bisa menghirup udara yang bersih, tempat kita tidak takut tenggelam atau takut mengalami kekeringan yang membakar, tempat kita bisa membangun keluarga yang berkecukupan? Thomas L Friedman bertanya.

Dalam setiap babnya Friedman mengawali dengan kutipan. Misalnya dia menulis di bagian awal “Teknologi dari Jerman, Inovasi dari Swiss, tak satu pun dari Amerika ”

Saya tergelitik untuk melapor tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia kita.

“Inovasi dari Amerika, teknologi dari Jepang, diproduksi di China dan dapat label Halal dari Indonesia”.

Apa boleh buat. Kita belum punya kesabaran mengubah benur jadi lobster, kayu gelondongan jadi produk kreatif bernilai ribuan dollar, PRT jadi tenaga profesional.

Kreatifitas global kita sebatas mengolah ayat, agar jadi duit. Jualan label Halal. Bahkan buat produk cat tembok dan kulkas.
Modal tanpa modal. ***
NB : Saya sempat bikin foto pamer baca buku pakai sarung – tapi hasilnya alangkah tak sebanding dengan yang baca “How Democracy Die” itu. Saya kalah ganteng. Jadi, saya pamerkan sarungnya saja – yang itu pun tak sebagus dan selicin yang dipakai pak ganteng itu. ***
Exit mobile version