Site icon Beritaenam.com

Bisnis Ekspor & Bagi-Bagi Gizi

Supriyanto Martosuwito

Beritaenam.com — Kita sudah sama sama tahu bahwa dalam bisnis ekpor impor, pejabat, birokrat dan pengusaha pihak yang paling diuntungkan sedangkan rakyat diatasnamakan.

Meski hamparan tanah negeri kita amat luasnya tapi sebagian besar produk pertanian masih terus impor.

Hal itu terjadi karena selisih keuntungannya sangat besar dan sejauh izin dan kebijakan masih berlaku, politisi dan pejabat tinggal ongkang ongkang kaki. Terima komisi.

Sudah lazim dan jadi kesepakatan diam diam bahwa jatah para pejabat dan politisi mendapat komisi per kilogram – dari komoditi apa pun produk yang diekspor maupun diimpor.

Jangan lupa, bahwa presiden PKS dulu mematok komisi Rp.5,000 per kg dari penjualan konsesi impor daging sapi. Tapi keburu ditangkap KPK dan masuk bui.

Dalam operasi tangkap tangan KPK, Januari 2013 lalu, kedapatan barang bukti uang senilai Rp1 miliar sebagai bagian nilai suap.

Yang seluruhnya diduga mencapai Rp40 miliar dengan perhitungan ‘commitment fee’ per kilogram daging adalah Rp5.000 dengan PT Indoguna meminta kuota impor hingga 8 ribu ton.

‘Commitment fee’ per kg juga berlaku untuk impor beras, gandum, gula, kedelai, singkong, kentang, bawang mewah bawang putih – cabai, buah buahan – apa saja – ada 29 jenis.

Saya baru dengar kisah nyata di Pasar Induk – Jakarta, ada pemain beras klas kakap yang dikenal buta huruf membagi komisi Rp.100 kg per kg untuk beras yang diimpornya – demi kelancaran izinnya. Dan yang diimpor jutaan ton!

Kebayang ‘kan – yang kebagian 100 per kg itu?

Hal yang sama juga untuk produk yang diekspor. Pejabat berwenang meneluarkan izin, mengubah peraturan, kasi izin dan politisi di Senayan jadi backing dan bahkan ikut “main”.

Lalu di antara mereka saling berbagi “gizi”

Jadi alasan mereka, “demi kesejahteraan rakyat, petani dan nelayan” itu omong kosong!

SUSI PUDJIASTUTI dikenal sebagai menteri dan sosok yang melarang keras ekspor benih lobster.

Susi yang berdagang ikan sejak masa remajanya, di Pangandaran, Jawa Barat, ingin meningkatkan nilai tambah dari lobster sebelum diperjual-belikan di pasar global.

Selama ini, menurutnya, penangkapan benih lobster malah menguntungkan bagi negara tetangga, terutama Vietnam.

Dari pasokan benih lobster Indonesia, angka ekspor Vietnam mencapai 1.000 ton per tahun, dengan nilai jual lebih tinggi – sementara Indonesia hanya dapat ekspor 300 ton per tahun.

Selain itu, Susi ingin populasi lobster dapat tumbuh berkelanjutan di laut Indonesia sebelum terjadi kelangkaan.

Untuk itu, tak hanya melarang ekspor, Permen KP nomor 1 Tahun 2015 yang diteken Susi juga melarang segala bentuk penangkapan benih lobster.

Kebijakan Susi kemudian dihapus oleh menteri yang baru, Edhy Prabowo, politisi Gerindra.

Menurut politisi mantan Wakil Ketua Umum Gerindra ini alasan dibukanya kembali kran ekspor benih lobster atau benur semata demi menyejahterakan rakyat.

“Izin ini ingin memfasilitasi bagaimana masyarakat yang tadinya hidupnya terganggu dari menangkap benih lobster ini bisa hidup kembali,” kata Edhy dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, Jakarta, Senin (6/7/2020).

Akan tetapi, dalam waktu cepat diketahui dari 26 perusahaan yang mendapat izin ekspor, diisi oleh politisi partainya. Alias bagi bagi jatah lahan bisnis.

Selain itu izin diberikan kepada para mantan penyelundup yang kini diresmikan.

Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat aliran dana dari hasil penyelundupan ekspor benur lobster mencapai Rp 900 miliar. Sedangkan kerugian negara sejak 2015 mencapai Rp.1,37 triliun. pen).

Saat ini, para pemain yang mendaftar ekpor mencapai 30 perusahaan yang terdiri dari atas 25 perseroan terbatas (PT), 3 persekutuan komanditer (CV), dan 2 usaha dagang (UD).

BERDASARKAN penelusuran jurnalis TEMPO, sejumlah kader partai Gerindra menjadi aktor di belakang perusahaan-perusahaan eksportir benur lobster tersebut. Di PT Royal Samudera Nusantara, misalnya, tercantum nama Ahmad Bahtiar Sebayang sebagai komisaris utama.

Bahtiar tak lain adalah Wakil Ketua Umum Tunas Indonesia Raya, ‘underbouw’ Partai Gerakan Indonesia Raya alias Gerindra. Bahtiar juga menjadi Kepala Departemen Koordinasi dan Pembinaan Organisasi Sayap.

Tiga eksportir lain juga terafiliasi dengan Gerindra. PT Bima Sakti Mutiara, misalnya, hampir semua sahamnya dimiliki PT Arsari Pratama. Komisaris Bima Sakti adalah Hashim Sujono Djojohadikusumo, adik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Gerindra.

Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, putri Hashim, duduk sebagai direktur utama.

Ada lagi PT Agro Industri Nasional (Agrinas). Saham perusahaan ini dikantongi oleh Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan yang berada di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan.

Namun direksi dan komisarisnya didominasi kader Gerindra.

Rauf Purnama, anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada pemilihan presiden 2019 dan calon legislator Gerinda pada Pemilihan Umum 2019, menjabat Direktur Utama Agrinas.

Dirgayuza Setiawan, pengurus Tunas Indonesia Raya, menjadi direktur operasi. Simon Aloysius Mantiri, anggota Dewan Pembina Gerindra, menjadi direktur keuangan.

Di jajaran komisaris Agrinas terdapat nama Sugiono, Wakil Ketua Umum Gerindra yang kini duduk di kursi Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat. Masih di barisan komisaris, bercokol Wakil Sekretaris Jenderal Gerindra Sudaryono.

Nama-nama dari lingkaran Gerindra kian lengkap dengan ditetapkannya PT Maradeka Karya Semesta sebagai salah satu eksportir. Pemiliknya Iwan Darmawan Aras, Wakil Ketua Komisi Infrastruktur DPR dari Fraksi Partai Gerindra.

Menurut Iwan, ekspor benih lobster merupakan bisnis baru bagi Maradeka. “Kami sudah lama berbisnis ekspor-impor, tapi ini obyek baru. Kenapa tidak?” ucapnya.

Seperti yang lain, Iwan menegaskan izin itu tak berkaitan dengan statusnya sebagai politikus Gerindra.

Selain didukung oleh internal Gerindra, kebijakan Menteri KKP yang baru, Edhy Prabowo, juga dapat dukungan dari Fahri Hamzah mantan politisi PKS . Dia mengatakan, lobster itu produksi (netas) rutin. “Minyak dan Mineral perlu jutaan tahun. Kok tidak dilarang? ” Tanyanya.

Fahri Hamzah – yang terkenal garang di forum diskusi dan di depan media – membenarkan penyelundupan resmi itu – membela ekspor benih lobster karena dia juga kini bisnis jadi pengekspor.

Namanya berada di balik PT Nusa Tenggara Budidaya yang bermarkas di daerah Kuningan, Jakarta. Perusahaan tersebut tercatat sebagai satu dari 26 perusahaan yang mendapat izin ekspor benih lobster dari KKP era Edhy Prabowo .

Entah apa suaranya kalau dia tidak bisnis di situ.

Untuk memoles pencitraan izin ekspor lobster, Kementrian Kelautan dan Perikanan era Edhy Prabowo mengangkat Effendi Gazali yang dikenal sebagai pakar komunikasi.

Ia jadi “satpam” dan “bemper”nya dengan predikat Ketua Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2-KKP).

Dengan jabatan barunya itu, doktor EG langsung “action”, membela ekspor benih lobster habis habisan dan bahkan menantang Susi Pudjiastuti untuk diskusi terbuka. Dia juga menyebut larangan ekspor benih lobster, sebagai “logika sesat ekspor benih lobster”.

Selain untuk “branding” jabatan barunya, tentulah diskusi terbuka itu juga dalam rangka “pansos” !

Serangan terhadap Susi Pudjiastuti bukan hanya dalam bentuk tantangan diskusi tapi juga penyebaran daftar petinggi media yang pernah “diservis” keluar negeri – entah oleh siapa.

Padahal media diundang liputan keluar atas tanggungan pemerintah sudah ada sejak zaman dulu kala siapa pun menteri dan presidennya.

MASYARAKAT bukan hanya meyakini keberanian Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pusjiastuti, dalam menenggelamkan kapal asing – tapi juga pemahamannya yang mendalam tentang budi daya ikan. Karena sejak remaja sudah jual beli ikan .

Tapi mendadak pengetahuannya yang kaya dan mendalam “diuji” dan dikalahkan oleh doktor komunikasi yang baru diangkat jadi “bemper” di KKP yaitu Effendi Gazali

Mendadak doktor yang suka melucu – tapi tak lucu – ini fasih bicara tentang kondisi bibit lobster di Indonesia dan membela habis habisan kebijakan juragan barunya yang membuka keran ekspor dan meresmikan penyelundupan.

Trend mualaf yang mendadak jadi penceramah dan ustadz rupanya menular juga di kementrian kelautan.

Sorry ya meski Bu Susi cuman lulus SMP dan EG bergelar doktor, tapi kita eh, saya kok lebih percaya pada Bu Susi.

Bu Susi merintis bisnisnya dari bawah hingga punya armada udara dan lebih bernyali dari jendral dan mantan calon tentara (dipecat Akabri) yang kini menggantikannya.

Sedangkan si doktor teoritikus itu ngetop lantaran dikasi kesempatan ngamen di ILC.

Alangkah lucunya negeri ini.

***

Exit mobile version