Site icon Beritaenam.com

Brigjen Nugroho Wibowo: “Terhapusnya Red Notice Djoko Tjandra sejak 2014, Karena Tidak Ada Permintaan Perpanjangan Dari Kejaksaan Agung”

Beritaenam.com — Brigjen Nugroho Wibowo yang disebut-sebut sebagai pemberi “surat jalan Joko Tjandra sudah dimutasi. Namun, Polri membantah pihaknya yang menghapus red notice terhadap buronan kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra.

Surat Brigjen Nugroho Wibowo hanya menyampaikan surat ke Dirjen Imigrasi tentang informasi red notice Interpol atas nama Djoko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014.

Irjen Argo menegaskan, Nugroho tidak menghapus red notice Djoko di sistem basis data Interpol pada tahun 2014.

“Surat dari NCB ke Dirjen Imigrasi tanggal 5 Mei 2020, yaitu penyampaian penghapusan (red notice) Interpol. Jadi ini bukan penghapusan, tapi menyampaikan kepada Dirjen Imigrasi bahwa red notice Djoko Tjandra sudah delete by system pada 2014,” kata Irjen Argo di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (17/7).

Mabes Polri menegaskan, penghapusan red notice tersebut diklaim dilakukan di kantor pusat interpol di Lyon, Perancis.

Bila setelah lima tahun, tidak ada permintaan perpanjangan masa berlaku, maka red notice dihapus secara otomatis dari sistem basis data di Interpol Pusat.

Red notice Djoko Tjandra sejak 2009, sehingga pada 2014 sudah lima tahun. Artinya, delete by system,” ungkap Argo.

Pada Februari 2015, Kadiv Hubinter Polri mengirimkan surat ke Dirjen Imigrasi yang berisi tentang permintaan memasukkan nama Djoko Tjandra ke dalam daftar pencarian orang (DPO) Imigrasi.

“Kenapa Kadiv Hubinter (mengirimkan surat permintaan) DPO? Karena red notice sudah terhapus di tahun 2014. Itu upaya Polri,” tuturnya.

“Jadi jangan salah ya. Penghapusan red notice itu, siapa yang menghapus? Adalah dari markas besar interpol di Lyon Prancis,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono.

Polri Kejagung Beda Paham Red Notice Djoko Tjandra

Tidak adanya nama Djoko Tjandra dalam red notice Polri membuat yang bersangkutan dapat kembali ke Indonesia.

Bahkan, dia bisa membuat KTP elektronik dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasusnya ke Mahkamah Agung (MA).

Menurut penjelasan Polri sebelumnya, red notice akan terhapus otomatis dari basis data Interpol setelah melewati batas waktu lima tahun.

Polri merujuk pada article atau pasal nomor 51 dan 68 di “Interpol’s Rules on The Processing of Data”.

Di article nomor 51, kata Argo, tertulis soal penghapusan data oleh sistem. Kemudian, article nomor 68 disebutkan bahwa file atau red notice memiliki batas waktu lima tahun.

Maka dari itu, menurut keterangan Polri, red notice Djoko Tjandra terhapus secara otomatis pada 2014 karena telah melewati batas waktu sejak Kejaksaan Agung mengajukan pada 2009.

Adapun surat yang dikirimkan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo tertanggal 5 Mei 2020 ke Dirjen Imigrasi Kemenkumham, bukan berisi permintaan penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Brigjen Nugroho Wibowo menyampaikan terhapusnya red notice untuk Djoko Tjandra sejak 2014 karena tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan Agung.

Jaksa Agung ST Burhanuddin

 Menurut pemahaman Kejaksaan Agung, red notice berlaku hingga buronan tertangkap atau dapat dicabut ketika buronan meninggal dunia.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut pihaknya tidak pernah melakukan pencabutan Red Notice buronan kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra. Menurutnya, saat ini masih ditelusuri siapa yang diduga mencabut Red Notice tersebut.

Burhanuddin mengungkapkan, pihaknya tidak akan melakukan pencabutan permohonan red notice ke Interpol melalui Polri sampai buronan yang ditetapkan telah ditangkap.

Red notice itu kan tidak ada cabut mencabut, selamanya sampai ketangkap, tapi nyatanya begitulah,” kata Burhanuddin di Kantor Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta Selatan, Rabu (15/7/2020).

Burhanuddin menyatakan, sampai saat ini juga belum ada titik temu atas pihak yang bertanggung jawab atas pencabutan Red Notice Djoko Tjandra. Ia menyebut, pihaknya masih berkoordinasi apakah status itu sudah diaktifkan kembali atau sudah mutlak dicabut.

Menurut Burhanuddin, pihaknya juga tidak mengetahui siapa yang memberikan surat jalan kepada Djoko Tjandra untuk dapat berpergian di dalam Indonesia. Namun, Ia memastikan, pihaknya tetap melakukan upaya pengejaran dan akan segera menangkap Djoko Tjandra. “Malah tidak tahu saya surat jalan itu,” ujar Burhanuddin.

Saat ini, kata dia, instansi terkait juga sedang menelusuri e-KTP milik Djoko Tjandra yang dibuat di Indonesia. Meski demikian, belum dapat dipastikan di mana keberadaan Djoko Tjandra saat ini. “Kami baru dapat informasi dan akan bergerak lagi,” ujar Jaksa Agung yang tegas dan dikenal lurus ini.

Menurut Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyatakan bahwa meski tidak ada permintaan perpanjangan red notice dari Kejaksaan Agung, seharusnya status cekal tetap berlaku selama Djoko belum ditangkap.

NCB Interpol juga disebut salah oleh MAKI karena mengirimkan penyampaian pencabutan red notice ke Ditjen Imigrasi Kemenkumham. Sebab, sebelumnya mereka sudah mengirim surat ke Kejagung. Pihak Kejagung kemudian merespon dengan menyatakan bahwa Djoko tetap DPO dan dicekal.

Respons tersebut, lanjut Boyamin, disampaikan secara resmi oleh Kejagung dalam surat konfirmasi status red notice Djoko yang ditujukan ke Divhubinter Polri pada April 2020.

Intinya, meminta bahwa status tersebut terus diberlakukan karena Djoko belum jelas diketahui keberadaannya. Di Indonesia atau luar Indonesia.

Namun, Boyamin menjelaskan jawaban tersebut tidak ditindaklanjuti oleh NCB. Malah dengan pertimbangan red notice sudah melewati masa berlakunya, NCB Interpol diduga langsung berkirim surat ke Ditjen Imigrasi untuk pencabutan cekal tanpa sepengetahuan Kejagung.

“Mestinya kan sebelum ada pencabutan itu pun harus tetap ada pemberitahuan ditembuskan ke Kejagung, tidak langsung dicabut begitu saja,” jelas Boyamin.

Dengan begini, MAKI menilai permainannya ada di antara NCB Interpol dengan Ditjen Imigrasi. Dia juga menegaskan bahwa antara cekal dan red notice sebenarnya dua hal berbeda.

Cekal berlaku dalam sistem imigrasi Indonesia di mana berlaku jika orangnya di dalam negeri. Bila orangnya sudah buron di luar negeri, maka saat yang bersangkutan masuk akan langsung dilaporkan oleh Imigrasi dan diserahkan ke penegak hukum.

Sementara red notice adalah permintaan penangkapan orang di luar negeri untuk dipulangkan ke Indonesia.

Memang kemudian ada aturan menurut aturan Interpol yang tertuang dalam III/IRDP/GA/2011, pasal 68 ayat (3), red notice berlaku maksimal lima tahun. Jika tidak ada permintaan baru, maka otomatis red notice dianggap dihapuskan.

“Atas dasar pemberitahuan red notice telah dihapus itu, maka dimaknai cekal juga tidak berlaku,” lanjut Boyamin.

Jika bicara soal red notice, Boyamin menyatakan ada unsur kelalaian dari pihak Kejagung karena tidak segera memperbarui permintaan red notice per lima tahun. Namun, dia menggarisbawahi bahwa kasus Djoko ini perlu dibandingkan dengan kasus buronan lain.

Yang baru-baru saja ramai adalah dipulangkannya Maria Pauline Lumowa, pelaku kasus pembobolan Bank BNI tahun 2003 silam.

Boyamin mencatat bahwa tidak ada permintaan perpanjangan red notice untuk Maria. Namun, yang bersangkutan tetap ditangkap setelah 17 tahun buron.

“Banyak buron yang tidak diperpanjang namun tetap dicekal dan tidak diutak-atik oleh NCB, misal Eddy Tansil, Maria Pauline, dan lain-lain. Maria tidak pernah diperpanjang namun nyatanya tetap ditangkap polisi Serbia dan diserahkan ke Indonesia,” lanjutnya.

Sementara Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menuturkan bahwa kemungkinan adanya kurang koordinasi antara Kejagung dan Polri. Hal itu terlihat dari red notice yang tidak diajukan kembali setelah batas waktu lima tahun.

Menko Polhukam Mahfud MD memerintahkan Jaksa Agung ST Burhanudin, untuk segera menangkap narapidana dan buronan kelas kakap, Joko Sugiarto Tjandra.

Menurut Mahfud Djoko harus ditangkap karena masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) musk telah melakukan peninjauan kembali.

“Ini adalah buronan yang masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Oleh sebab itu Kejaksaan Agung maupun Kepolisian harus segera menangkapnya. Tidak ada alasan bagi orang yang DPO meskipun dia mau minta PK lalu dibiarkan berkeliaran,” kata Mahfud.

Ulama NU ini juga mengingatkan berdasarkan undang-undang orang yang mengajukan Peninjauan Kembali harus hadir dalam pengadilan. Jika tidak, maka peninjauan kembali tidak bisa dilakukan.

“Saya minta Polisi dan Kejaksaan untuk menangkapnya dan segera dijebloskan ke penjara sesuai dengan putusan pengadilan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) Jadi tidak ada penundaan hukuman bagi orang yang sudah minta PK. Itu saja demi kepastian hukum dan perang melawan korupsi,” tegas Mahfud.

Exit mobile version