beritaenam.com, Jakarta – Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, metodologi hitung cepat dalam pelaksaan Pemilu bisa menjadi alat kontrol dugaan kecurangan yang dilakukan bertingkat. Sementara, informasi kemenangan versi hitung cepat adalah bonus.
“Kita Indonesia bukan hanya kampanye lama, proses hitung juga lama. KPU baru deklarasi 22 Mei, karena hitungnya bertingkat. Dari PPS, PPK, kabupaten, provinsi, nasional,” bebernya saat Expose Data Hasil Quick Count Pemilu 2019 di kawasan Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 20 April 2019.
Sementara, hitung cepat bisa segera tayang karena langsung dilakukan di TPS. Data perolehan suara setelah didapat di TPS menjadi sampel, kemudian dikirim ke pusat.
“Jadi ada data pendamping KPU, jadi KPU bisa melihat ada pencuri suara di hitungan yang bertingkat itu,” jelasnya.
Dia beranggapan, bila tak dilakukan hitung cepat maka akan banyak klaim kemenangan. Sehingga berpotensi terjadi kegamangan dan berbahaya.
“Dengan adanya hitung cepat, maka kita bisa cepat move on,” katanya, seperti dikutip dari medcom.id
Bila kelak ada perbedaan data di KPU dengan hitung cepat, bisa diduga kesalahan ada di KPU atau hitung cepat. Sehingga bisa saling dicek.
“Kalau semangatnya sama, pemilu jurdil sekian klaim bisa dipertarungkan, sekarang mana argumen ilmiah yang paling kuat untuk temukan klaim paling benar,” terangnya.