Beritaenam.com — SELAMAT, MIRIS DAN “MUAK” ATAS SKOR PENCAPAIAN IPK INDONESIA: SUATU KRITIK REFLEKTIF!
1. Hore, Selamat, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia versi Transparansi International (TI) naik dari 38 menjadi 40.
Hal ini harus diapresiasi dan disyukuri secara hati-hati disertai tanda tanya.
2. Indonesia beruntung karena seluruh survei yang dikomposit oleh TI, sebagian besarnya, dilakukan surveyor di awal & tengah tahun berjalan. Misalnya, survei PERC Asia Risk Guide 2019, dilakukan Januari-Maret 2018 dan begitu setiap tahunnya.
Jika saja, survei dilakukan mendekati akhir tahun, dipastikan skor IPK Indonesia versi TI akan “jeblok” & “nyungsep”.
Kenapa?
Karena indikasi kuat terjadinya intensitas “tragedi dan skandal” pemberantasan korupsi pada 3-4 bulan menjelang akhir tahun 2019.
3. Sejujurnya, Skor IPK sebesar 40 di tahun 2019 yang diumumkan di awal tahun 2020, tidak membuat rakyat kebanyakan menjadi bangga bingits.
Masyarakat, disebagiannya, malah merasa “miris”, “sesak”, dan “gemas”, khususnya atas upaya pemberantasan korupsi yang ditunjukan Pimpinan KPK dan kekuasaan di pemerintahan.
4. Ada hal lain yang membuat rakyat “muak.”
Lihat saja dan bandingkan. Malaysia bisa menggenjot peningkatan indeks skor IPK hingga 11 poin.
Di tahun 2019 skornya mencapai 58 sedangkan di tahun sebelumnya (2018) hanya 47 poin saja.
Itu artinya, dalam satu tahun, Malaysia menggenjot peningkatan IPK menjadi 11 poin.
5. Skor Indonesia merayap lambat karena hanya naik 2 poin saja.
Indonesia bahkan dipecundangi Vietnam karena upayanya jauh lebih hebat dari Indonesia hingga Vietnema mampu meloncat tajam mencapai 4 poin.
Di tahun 2019, skor IPK Vietnam menjadi 37, padahal tahun lalu hanya 33 saja. Indonesia juga kalah dari Timor Leste yang meningkat 3 poin sehingga skornya menjadi 38.
Tapi Indonesia masih di atas Thailand yang justru merosot 2 poin dan skornya kini menjadi 36.
6. Pada konteks Indonesia, TI menegaskan, salah satu pemicu utamanya, Pemerintah Indonesia melakukan tindakan yang paradoks dan justru sangat beresiko menakuti-nakuti Investor.
Lebih lanjut dijelaskan, KPK sebagai Lembaga anti korupsi Indonesia yang dipandang sebagai simbol kemajuan upaya pemberantasan korupsi justru dihilangkan otonomi & kekuasaannya.
Bukankah hal ini bertentangan dengan aspirasi Presiden Jokowi yang sedang memerioritaskan investasi asing dan pertumbuhan ekonomi.
7. Berpijak pada uraian di atas, apakah ini yang disebut sebagai ambiguitas pemberantasan korupsi karena ditopang perilaku split personality dari sebagian pemangku kekuasaan, khususnya, Ketua dan Pimpinan Pemerintahan yang seharusnya menjadi penjuru pemberantasan korupsi?
8. Bukankah salah satu indikasinya, misalnya saja, pembohongan keberadaan Harun Masiku, kader PDIP yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap komisioner KPU.
Dan hal itu, diduga dilakukan melalui pernyataan Firly Bahuri dan Nurul Ghufron (Pimpinan KPK) dan Menteri Hukum & HAM yang menyatakan Harun di luar Indonesia.
Padahal, Harun Masiku sudah berada di Indonesia. Nah, sampai saat ini, pernyataan itu tidak pernah diralat apalagi disertai ucapan permohonan maaf?
9. Bukankah ini juga dapat diduga sebagai “keberengsekan” tanpa jeda yang terus menerus terjadi dan dipertonntonkan secara “seronok” karena tak serius memberantas korupsi.
Hal ini, membuat upaya menarik investasi dari luar negeri hanya ilusi berupa khayalan fatamorgana dan upaya pemberantasan korupsi menjadi dagelan yang “blassss”, enggak lucu banget.