Site icon Beritaenam.com

Diskusi Forwan: Masa Depan Industri Musik Digital di Era 4.0

Beritaenam.com, Jakarta – Jelang tutup tahun 2018, Forwan kerja bareng Nagaswara Musik, Ascada Musik, Pro Aktif Musik, Humas TVRI, PT. Kino Indonesia Tbk, PT Mayora Indonesia Tbk, Papa Ron’s Pizza menggelar Diskusi Musik Seputar Industri Musik dengan mengangkat tema “Masa Depan Industri Musik Digital di Era Industri. 4.0”.

Untuk membahas tema tersebut panitia menghadirkan narasumber Pakar Musik, Rahayu Kertawiguna (CEO Nagaswara Musik) Agi Sugiyanto (CEO Pro Aktif), Naratama (Produser Voice Of America, New York), Rummy Aziez, Produser Jagonya Musik & Sport (Partners Distribusi FC) dan Seno M Hardjo.(Target Pop)

Agi Sugiyanto yang mengangkat tema Masa Depan Penyanyi Pendatang di Era Industri Digital 4.0. Sebagai produser yang mengawali bisnis musiknya dengan memproduseri sekaligus manajemen Trio Macan ini mengatakan, peluang penyanyi pendatang terbuka lebar.

Karenanya Agi sampai sekarang masih suka blusukan ke berbagai daerah dan melakukan prmantauan di social media untuk mencari penyanyi baru untuk diorbitkan menjadi penyanyi masa depan.

“Sekarang jauh lebih gampang, majunya teknologi informasi sehingga saya dan tim gampang memantau penyanyi pendatang yang lagi menjadi viral di media sosial. Kalau di rasa bakal bisa dijadikan artis populer langsung kontrak,” papar Agi.

Selain memantau calon penyanyi orbitannya via medsos, ia juga sering didatangi para penyanyi yang minta diorbitkan.

“Syarat nya mesti cantik, seksi dan jumlah followernya besar. Kalau mau cara ekstrim, kalau cantik ya cantik sekalian, atau sebaliknya. Biasanya lebih gampang mengorbitkan,” ujar mantan wartawan Warta Kota ini.

Sementara Rahayu Kertawiguna, mengungkapkan, NAGASWARA yang eksis di tahun 1999 dengan genre house music International, juga house remix lokal, melalui era digital ini harus mengedepankan sisi kreatif yang inovatif, saking kreatifnya dalam merilis produk musiknya, banyak kritikan yang pada akhirnya justru menjadi sebuah penghasilan ekonomis dan brand yang eksklusif baik dalam kemasannya yang menjadikan trend musik dangdut ke depan.

“Kalau dulu sebagian orang menyatakan house musik, house remix dan musik koplo adalah musik sampah, musik kalangan bawah justru itu menjadi tantangan saya dan harus membuktikannya secara bisnis dagangan dan brand image yang sukses. ” Ujarnya.

Jadi menurut Rahayu bila ingin bisa bertahan dan menerobos di era industri 4.0 pelaku industri musik harus berani lakukan inovasi dan menghadirkan musik yang berbeda.

“Peluang itu tetap ada, harus melakukan inovasi dan mengikuti terobosan generasi milenial. Promosi secara gencar di media sosial dengan kemasan generasi yang kekinian,” tegas Rahayu.

Rummy Aziez tetap optimis kalau penjualan musik dalam bentuk fisik seperti CD masih diburu penggila musik.

“Penjualan musik dalam bentuk CD masih laku keras di KFC, meski tidak sedahsyat dulu. Tapi peluang itu tetap ada, meski era industri 4.0 terus merangsek” kata Rummy Aziez.

Rummy menambahkan jagonya musik n sport indonesia kini juga membangun app’s digital musik yang rencana di launching di tahun 2019.

“Untuk mengantisipasi era industri 4.0 Jagonya musik dan sport tengah membangun app’s Digital. Insya Allah diluncurkan tahun 2019 mendatang,” papar Rummy.

Sementara itu Seno M. Hardjo CEO Target Pop memiliki strategi dalam menghadapi era Digital Market. Menurutnya, era Musik Digital itu sebuah gerak budaya industri yang sinergis.

Pelaku industry music wajib ikut arus, jika ingin tetap survive. Musik yang ditampilkan, kemasan artis dan cara berpromosinya sudah satu bulatan paket. Tidak bisa setengah setengah.

“Musiknya simple dan harus yang cepat tangkap. Tampilan artisnya wajib kekinian dan Medsos sangat berperan dalam promosinya,” ujar Seno M. Hardjo salah satu BOD AMI Awards.

Meski demikian, untuk keseimbangan cita rasa, Seno juga tetap membuat musik yang indah dan elegan. Contohnya?

Album Greatest Hits Hedi Yunus yang baru saja dirilisnya di Digital Sales seluruh dunia. Termasuk di iTunes, Joox, Apple Music, Deezer dan layanan streaming Spotify.

Resep album tersebut adalah 7 lagu dengan nuansa orchestra atau live chamber. Dan sisanya music EDM Pop ringan. Yang terjadi, sambutan pasar millenials adalah lagu dengan kemasan ringan.

Lagu “Jika” yang dulu popular di bibir Melly & Ari Laso, kini popular lagi dinyanyikan ulang Hedi Yunus duet with singer 23 tahun, Sara Fajira.

“Dalam beberapa hari streaming Listenernya sudah nyaris 50 ribu. Sementara lagu yang dikemas dengan live chamber oleh Tohpati “Sebatas Mimpi” baru hampir menapak 5 ribu Listener. Namun hal tersebut tidak menyurutkan tekadnya untuk tetap meramu music orchestra nan elegan.

“Usia dengarnya bisa lebih abadi. Karena tentu saja harmoninya lebih lebar dan menancap di hati,” ungkap Seno.

The way of thinking nya menghadapi era Musik Digital. Termasuk menyiasati pendistribusian, packaging artist hingga pilihan lagu dan music, sehingga keberadaan Target Pop tetap terjaga.

Yakni, ikut berperanserta melestarikan musik dan Musisi legenda Indonesia. Dan terus ‘belajar’ memproduksi dan melebur dengan taste music millenials.

Naratama menjelaskan meski industri musik fisik terjun bebas tapi peluang bisnis musik digital terbuka lebar.

“Buktinya, efek band Rumah Kaca tanpa harus promosi, tanpa harus berbahasa inggris bisa menembus pasar AS, musik Indonesia bisa masuk” ujar Naratama.

Musisi Indonesia mestinya meniru musisi Korea Selatan, yang berhasil masuk ke pasar Amerika hingga dunia tetap dengan nuansa dan bahasa Korea.

Musik dengan jati dirinya, jangan justru bawa bahasa dan budaya mereka. Nggak kemakan, buktinya penyanyi Korea dengan bahasa Korea nya justru menjadi perhatian dunia,” papar Naratama. (Nia K)

Exit mobile version