Site icon Beritaenam.com

Harga Anjlok, Bukan Karena Dualisme Bursa Timah

Jakarta – Penurunan harga timah di BKDI (Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia/ICDX) dan JFX (Jakarta Future Exchange) disebabkan rendahnya permintaan dari industri penghasil produk turunan timah, seperti elektronik. Hal ini disampaikan oleh pengamat ekonomi Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Indonesian Cooperative Management Institute) Giyanto Purbo, saat dihubungi melalui telepon, hari ini, Rabu (24/06).
Menurutnya, akibat pandemi Covid-19, hampir semua industri yang aktivitasnya melibatkan interaksi dengan banyak orang terpaksa tutup untuk meminimalkan penyebaran virus corona. “Bagaimana ada permintaan bahan baku jika tidak ada produksi,”ujar Giyanto.
Karena alasan itulah, Giyanto tidak sependapat dengan pendapat yang menyatakan turunnya harga timah, karena adanya dua bursa komoditas timah di Indonesia, yaitu ICDX dan JFX.Dia menegaskan bahwa hal tersebut akibat penurunan permintaan.
Seperti diketahui pemerintah membentuk dua Bursa berjangka untuk komoditas timah, yaitu BKDI/ICDX yang berdiri pada tahun 2013 dan JFX pada tahun 2018. Selain untuk menstabilkan harga timah, pembentukan kedua bursa tersebut juga bertujuan agar Indonesia sebagai salah satu penghasil timah terbesar di dunia, bisa menjadi penentu harga di Pasar dunia.
Namun hasil riset Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian ESDM pada tahun 2016 menyebutkan pengaruh fluktuasi harga timah di bursa LME (London Metal Exchnge) lebih besar terhadap fluktuasi harga timah di bursa BKDI/ICDX. Sementara untuk
menjadi penentu harga timah dunia, menurut hasil riset tersebut, Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing industri hilir di dalam negeri. Tujuannya agar permintaan terhadap bahan baku timah meningkat. Sebagai contoh, total produksi timah Indonesia pada tahun 2015 sebesar 69.500 ton, hanya 1.579 ton (2,3%) yang dikonsumsi di dalam negeri. Berbeda dengan Tiongkok, dari total produksi timah 162.000 ton pada tahun 2015 konsumsi dalam negerinya mencapai 150.000 ton (92,6%).
Selain soal daya saing industri hilir, hasil riset Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian ESDM pada tahun 2016 juga menyebutkan Tantangan terbesar Indonesia dalam menjadi penentu harga timah dunia adalah tingginya tingkat illegal mining timah.(SUR)

Exit mobile version