beritaenam.com, Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak akan membiarkan peserta pemilu pelaku politik uang, menang. Mereka bakal ditendang dari Pemilu 2019.
“Kalau melakukan money politic terbukti, bisa sampai diskualifikasi nanti. Tapi harus terbukti dulu,” kata Ketua KPU Arief Budiman sata bertandang ke Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, 8 April 2019.
Menurut dia, hal ini sudah diatur di dalam Pasal 284 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu mengatur sanksi diskualifikasi bagi pelaksana dan tim kampanye pemilu yang menjanjikan uang kepada peserta kampanye.
Ia menegaskan tidak ada pihak yang mendapat perkecualian dalam sanksi tersebut.
“Berlaku untuk semua peserta pemilu, bukan hanya capres (calon presiden) cawapres (calon wakil presiden), ada partai politik,” tegas dia.
Dia memastikan KPU serius dalam memerangi politik uang yang dilakukan peserta Pemilu 2019. Salah satunya dengan melibatkan KPK. Isu ini pun menjadi salah satu bahasan dalam dalam pertemuan dengan KPK pagi ini.
“Diskusi tentang money politic itu selalu kita lakukan setiap saat (dengan KPK),” ujar Arief.
Kedatangan Arief pada pukul 09.53 WIB ke Gedung KPK juga membas mengenai laporan hasil kekayaan penyelanggara negara (LHKPN).
Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU), calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPRD, dan DPD wajib mendaftarkan LHKPN.
Arief tak sendiri datang ke KPK. Turut hadir pula sejumlah komisioner KPU lainnya, seperti Pramono Ubaid, Ilham Saputra, dan Evi Novida Ginting.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi sempat mengatakan Indonesia menjadi negara dengan politik uang terbesar ketiga di dunia. Indonesia hanya lebih baik dari Uganda dan Benin.
“Politik uang kita malah lebih dari dua kali lipat dari rata-rata dunia. Ini terus terang cukup memprihatinkan,” kata Burhanuddin di Gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Jumat, 8 Februari 2019.
Menurut dia, rata-rata politik uang di dunia menjangkit 12,27 persen pemilih. Sementara itu,rata-rata Indonesia mencapai 33 persen pemilih.
Politik uang Indonesia membengkak diduga akibat persaingan antarcalon legislator (caleg) di dalam partai, di dalam daerah pemilihan (dapil) provinsi, kabupaten, kota, dan lainnya. Pengeluaran kampanye individual yang terindikasi politik uang tak terhindarkan.
“Saat ini ada sekitar 300 ribuan caleg yang bertarung merebut kursi. Dapil dan kursi bertambah, tapi fokus media hanya pada pilpres sehingga politik uang di pertarungan jauh di bawah ini tidak termonitor,” tutur Burhanuddin.
Dia menjelaskan pada survei Desember 2013, pihaknya menemukan 3 persen pemilih terpapar politik uang. Sementara itu, di Desember 2018, angka ini naik menjadi 5 persen. Politik uang pun diprediksi akan semakin naik apabila pemilu semakin dekat.