Beritaenam.com – “Kita memang sedang mengalami krisis jurnalisme, ” kata Wahyu Dyatmika pemimpin redaksi majalah TEMPO. Jurnalis senior yang akrab dipanggil ‘Bli Komang’ ini mengakui apa yang terjadi dengan 27 media – yang dinyatakan ‘bersalah’ oleh Dewan Pers – beberapa waktu lalu, merupakan “kesalahan elementer dan memalukan”.
Hal itu diungkapkannya dalam seminar web (webinar) yang diselenggarakan oleh ‘Indonesia Lantern’, media komunitas warga Indonesia di Philadelphia – Amerika Serikat.
Dipandu oleh Didi Prambadi dan Indah Nuritasari, mantan jurnalis ‘Tempo’ dan ‘Swa’, diskusi melibatkan pemimpin redaksi media cetak online dan televisi di Indonesia, selain Dewan Pers dan pengamat politik, Ade Armando.
”Ada proses pengecekan yang ternyata lalai dilakukan. Dan kami minta maaf atas keteledoran ini,” tutur Wahyu. ”Ada semacam ‘chain of mishap’ terjadi di jajaran redaksi. Semoga hal ini tidak terjadi lagi,” sambung anggota ICIJ ( International Consortium Investigative Journalist) yang ikut membongkar kasus “Panama papers” ini.
Diungkapkannya, dari semua media yang divonis ‘bersalah’ oleh Dewan Pers, merupakan media online – hal mana menunjukkan bahwa ada yang salah dengan media yang mengutamakan kecepatan ini. “Media cetak dan teve tak ada yang salah, ” tegasnya.
Sebagai Sekjen dari Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Bli Komang juga menyatakan kasus ini merupakan ” krisis jurnalistik yang serius”.
“Mengapa kesalahannya begitu seragam?” tanya Pemred Tempo ini, heran.
Saat ini, katanya, “media online merupakan wajah jurnalisme kita. Tapi kulitasnya tidak optimal, ” katanya. Dan kini jadi masalah, katanya lagi.
“Krisis ini sudah lama, media mendewakan kecepatan sudah lama. Ini ‘wake up call’. Saatnya diperbaiki, ” tambahnya.
Lebih jauh, Bli Komang menyatakan, media kini dituntut transparan bukan hanya dalam memproses informasi yang didapat jurnalisnya, bagaimana mengolah dan menyajikannya, melainkan juga siapa pemilik media. Bahkan juga darimana mendapatkan modal, mendapatkan uang dan seterusnya. “Publik harus tahu, ” tegasnya.
Hal lain yang memprihatinkannya adalah kecenderungan tampilnya iklan yang menyaru sebagai berita yang juga memicu krisis kepercayan masyarakat kepada media. “Harus ada pemisahan yang tegas, ” katanya.
TIDAK BERIMBANG, MENGHAKIMI. Sementara itu, Agus Sudibyo dari Dewan Pers menyatakan, lembaganya kerap terjepit. Dari pihak warga yang mengadu, menganggap “Dewan Pers tidak tegas” .
Sedangkan dari pihak media, Dewan Pers dianggap “tidak membela insan pers”.
Diakui Agus Sudibyo, 90 persen keputusan Dewan Pers menyalahkan media. Kasus yang diadukan masyarakat umumnya berkisar “pemberitaan tidak berimbang dan menghakimi”.
Dewan Pers menegaskan, persoalan jurnalistik harus diselesaikan secara jurnalisrik. Teks dengen teks. Kode etik dengan kode etik.
Diingatkannya, modal bisnis media adalah “public trust” atau kepercayan masyarakat. Tekanan publik akan lebih memukul pengelola media.
“Di Amerika media lebih baik dipidana dan bayar denda daripada dinyatakan ‘bersalah’ di depan publik. Kehilangan kepercayaan masyarakat lebih menakutkan pengelola media, ” kata Ketua komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers ini.
Saat ini, akibat maraknya ujaran kebencian (hate speech), media sosial tengah kehilangan kepercayaan publik. Perusahaan perusahan besar telah menarik iklannya, bernilai triliunan, di media sosial.
“Sebenarnya ini mementum kita untuk kembali ke media konvensional, ” tambahnya. “Media sosial tak akan runtuh, tapi ini momentum bagus untuk media konvensional” katanya.
“Media lama akan eksis memberikan nilai baru. Diferensiasinya adalah ‘good journalism’. Kalau mau eksis harus ‘good journalism’. Mumpung lagi ada ‘lost of trust’, ” katanya.
Media consumer saat ini mengalami ‘reborn’. Ketika media baru, media digital dan media sosial tidak membahagiakan, mereka mencoba meremigrasi.
“Tapi, sayangnya yang disajikan media konvensional sama sama bersumber media sosial yaitu info konfliktual dan insinuatif, ” katanya.
“Lalu (masyarakat) cari informasi ‘meaningfull’ dan beradab ke mana? ” tanya Agus Sudibyo.
“FIREHOUSE OF FALSEHOOD“. Jurnalis senior Bambang Harymurti memberikan apresiasi positif atas pengaduan Ade Armando karena melaksanakan tugas Undang Undang Pers.
“Kita sama sama memperjuangkan pers bebas. Tapi, kalau pers sudah bebas lalu siapa yang mengawasi? Dewan Pers bukan lembaga pengawas. Dia membuat keputusn final, ” katanya. “Yang mengawasi pers adalah masyarakat, ” lanjutnya.
Dalam hal ini, Ade Armando melakukan tugasnya melakukan pengawasan. Mewakili masyarakat.
Meski demikian Harimurti juga curiga adanya “firehouse of falsehood” – semburan berita dusta terus menerus – propaganda baru ala Russia – sebagai gerakan global yang menghancurkan media mainstream.
“Setelah gagal mendapatkan keuntungan korporasi global melakukan penghancuran kredebilitas media mainstream, ” katanya mengingatkan. Teknologi baru, sewa ‘buzzer’ dan ‘doxing’ – menyebarkan data pribadi adalah bagian dari ‘firehouse’ itu
Ade Armando, pakar komunikasi dan dosen FISIP UI, yang sebelumnya menyebut pernah jadi wartawan, menyatakan, dia berinisiatif melakukan pengaduan karena ada keganjilan. “Daripada digebugi pihak lain, mendingan dilakukan sesama wartawan, ” katanya.
“Semula saya hanya menelepon, tapi Dewan Pers minta pengaduan tertulis. Saya ikuti semua prosedurnya, ” ungkapnya.
Harimurti memyatakan problem media digital adalah persaingan dengan kecepatan dan “clickbite”. Sebagai mantan pemred, dia menyatakan, TEMPO tidak perlu terteror dengan data Google Analytic yang menghitung jumlah klik sebuah berita.
”Harusnya sebuah berita memiliki konten yang long-tail. Dibaca berulang kali sampai bertahun-tahun karena isinya bagus,” kata Bambang Harymurti.
WARTAWAN JANGAN BOHONG. Alexander Wibisono, koordinator liputan Kompas TV menyatakan, meski medianya tak masuk daftar yang bersalah, namun kasus dewan pers dan skandal “Jokowi minta maaf” itu jadi peringatan baginya.
Di studio televisi, proses penanyangan suatu berita “melewati proses berjenjang dan ketat, ” katanya. Jika ada kesalahan langsung koreksi pada jam berikutnya, tidak menunggu di program yang sama.
Junalis Kompas TV ini menegaskan “wartawan bisa salah, tapi wartawan tidak boleh bohong!”
DOUBLE HITS. Dari pihak penanya, kemudian, Metta Dharmasaputra, menyatakan media yang dikelolanya termasuk yang dinyatakan ‘bersalah’.
Mantan Pemimpin redaksi situs portal katadata ini menegaskan bahwa medianya tidak ada konspirasi. “Ini perlu saya tegaskan karena bahaya. Ini ‘double hits’. Terpukul secara bisnis, ‘trust’ digerus, ” kata pendiri portal media yang kini duduk di pimpinan manajemen.
Metta yang selama 11 tahun kerja di ‘Tempo’ melakukan koreksi ke dalam dengan membuat berita acara pemeriksaan. “Detail, dari kapan dan siapa yang terima rilis, ‘screenshoot’ dan bagaimana pemuatannya, ” katanya.
Kesalahan yang ditemukannya adalah editor tidak mendengarkan rekaman putusan. Karena ritme pembacaannya cepat. Lalu ketika monitor berita, kompas online dan cnnindoensia sudah muat, yakinlah. Meski pada akhirnya harus minta maaf.
“Pada pk.23.00 kami meralatnya, ” jelasnya. “Begitu ada kesalahan, kami meralatnya, berarti tidak ada niat buruk, ” ujarnya. “Bahaya sekali kalau ada stigma konspirasi, ” katanya, membantah sinyalemen Ade Armando.
Sementara itu, Ade Armando tetap gigih mencari tahu, siapa ‘korlap’ dan pengirim rilisnya, sehingga media utama memuatnya dengan seragam.
Ade Armando mengutip keterangan Dimas Supriyanto Martosuwito, mantan wartawan ‘Pos Kota’, yang menyatakan, dalam pemuatan berita yang serentak dan seragam biasanya ada “korlap” (koordinator lapangan) dan “bandar”nya. Mantan wartawan Pos Kota ini banyak ditanya tentang cara kerja “wartawan amplop” dan “wartawan bodrex” yang menulis kasus kasus.
Bli Komang alias Wahyu Dhyatmika membenarkan dan mengakui, ada kiriman rilis dari wartawan, anggota AJI, Asosiasi Jurnalis Independen.
Dimas Supriyanto Martosuwito juga menyatakan bahwa, selama ini, ‘Kompas’ dan ‘Tempo’ menjadi rujukan liputan wartawan ibukota dan daerah. Baik dari sisi penulisan maupun integritas. Jika wartawannya melakukan kesalahan, maka akan “diikuti” oleh media lain.
Agus Sudibyo menyatakan, jangan menilai sikap politik media dari satu dua berita. “Terlalu kecil unit analisanya kalau cuma karena ada satu dua berita yang menyerang Jokowi”.
“Kalau seminggu terus menerus (menyerang) ya, bolehlah, ” katanya.
“Sikap media harus dilihat dengan rentang yang lebar. Jangan melalui satu dua berita, ” tegas Head of New Media Research Center Akademi Televisi Indonesia (ATVI) ini.
Dewan Pers menyatakan, sepanjang ada bukti adanya “bandar rilis” dan “korlap” dalam kasus 27 media itu, silakan serahkan ke Dewan Pers. “Tapi sebaiknya tetap memegang azas praduga tak bersalah, ” katanya mengingatkan. ***