Site icon Beritaenam.com

Menteri Kesehatan Bertanggung Jawab, Bila “Virus” Ini Menyebar

Beritaenam.com — Virus yang dimaksud adalah, penyalah guna kesulitan akses rehabilitasi karena dipenjara.

Menteri Kesehatan sebagai menterinya narkotika (pasal 1/22) dan KA BNN sebagai kordinator P4GN mestinya bertanggung jawab kalau penyalah guna kesulitan mendapatkan akses layanan rehabilitasi.

Jika pemerintah responsif untuk menangani virus Corona. Seharusnya juga mempermasalahkan perintah penahanan dan penjatuhan hukuman penjara bagi perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika.

Mengapa demikian?

Karena negara menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, berupa penempatan dirumah sakit atau dilembaga rehabilitasi selama proses penegakkan hukum (Peraturan Pemerintah no 25/2011).

Negara juga menjamin penyalah guna dijatuhi hukuman rehabilitasi (pasal 4d) meskipun penyalah guna diancam dengan hukuman penjara (pasal 127/1).

Jaminan dari negara melalui mekanisme peradilan berada di tangan hakim yang memegang palu keadilan.

Untuk dapat menghukum rehabilitasi,  hakim yang memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika diberi kewajiban oleh UU narkotika (pasal 127/2) untuk memperhatikan:

Taraf ketergantungan terdakwanya (pasal 54) dan program penyembuhan penyalah gunanya melalui wajib lapor (pasal 55) serta memperhatikan kewenangan hakim berupa menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Jika terbukti bersalah, dan menetapkan terdakwanya untuk menjalani rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah.

Pertanyaan yang muncul dalam praktek pengadilan, bagaimana kalau penyalah guna didakwa oleh jaksa seakan akan sebagai pengedar? 

Hakim menggunakan pasal 103 /1 untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi bila perkaranya terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri

Pertanyaan selanjutnya adalah tempat menjalani hukuman rehabilitasinya dimana?

Tempat menjalani rehabilitasi adalah rumah sakit atau tempat rehabilitasi yang ditunjuk Menteri Kesehatan (pasal 56).

Rehabilitasi sebagai bentuk hukuman, tidak memerlukan pengamanan secara khusus ala Lapas dengan tembok tingginya dengan penjagaan ketat.

Menteri kesehatan sudah menunjuk ratusan rumah sakit, puskesmas yang tersebar di kab/kota di seluruh Indonesia sebagai tempat menjalani rehabilitasi atas perintah hakim .

Idealnya, tempat rehabilitasi milik BNN digunakan khusus untuk melaksanakan rehabilitasi atas perintah hakim.

Namun, “virus” itu menular.

Karena jumlah penyalah guna atau pecandu yang atas perintah hakim sangat sedikit, akhirnya rehabilitasi milik BNN dipakai untuk merehabilitasi penyalah guna secara sukarela dan wajib lapor.

Sepengetahuan saya, baru Nunung (1,5 tahun) dan Jefri Nichol (8 bulan) serta Tessy yang tercatat mendapatkan keputusan berupa hukuman rehabilitasi kemudian diperintah hakim untuk menjalani di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur Jaktim.

Kalau Nunung dan Jefri Nichol  serta Tessy dihukum rehabilitasi kenapa penyalah guna yang lain dipenjara ?

Sesungguhnya tidak ada alasan bagi hakim, untuk tidak menjatuhkan hukuman rehabilitasi bagi terdakwa yang terbukti sebagai  penyalah guna narkotika.

Berdasarkan UU narkotika, negara membuka akses rehabilitasi:

Pertama, melalui kewajiban moral orangtua untuk menyembuhkan anaknya yang sakit ketergantungan narkotika layaknya bila ada keluarga sakit.

Bagi yang ekonominya kecukupan dapat memilih tempat rehabilitasi baik didalam maupun diluar negeri.

Kedua,  orang tua atau pecandu diwajibkan UU  untuk melaporkan ke IPWL untuk mendapatkan perawatan agar sembuh (pasal 55), kalau sengaja tidak melaporkan ke IPWL untuk mendapatkan perawatan diancam dengan 6 bulan pidana kurungan.

Ketiga, kewajiban hakim (127/2) melalui keputusan atau penetapan hakim untuk memerintahkan terdakwanya menjalani rehabilitasi baik terbukti atau tidak terbukti bersalah  (103/1) agar sembuh.

Akses rehabilitasi selama ini terkendala karena penyalah guna narkotika disidik, dituntut diposisikan seakan akan sebagai pengedar, dilakukan penahanan selama proses penyidikan dan oleh hakim dijatuhi hukuman rehabilitasi.

Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan  yang ada dalam UU narkotika, dimana tujuan penanggulangan terhadap penyalah guna adalah menjamin penyalah guna direhabilitasi.(pasal 4d)

Rehabilitasi itu bermakna ganda.

Rehabilitasi punya makna ganda. Rehabilitasi secara medis diartikan sebagai proses kegiatan pengobatan untuk membebaskan penyalah guna dari ketergantungan narkotika (pasal 1/16) juga diartikan sebagai bentuk hukuman khusus bagi penyalah guna narkotika (pasal 103/2).

Rehabilitasi dilakukan dirumah sakit atau dilembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri (pasal 56) bukan dipenjara.

Faktanya sekarang ini ada sekitar 48.000 penyalah guna dihukum penjara , mendekam dilapas padahal UU narkotika secara khusus mengatur penyalah guna wajib menjalani hukuman rehabilitasi, tempatnya  dirumah sakit yang telah ditunjuk

Pertanyaannya, Kok bisa terjadi perbedaan antara ketentuan UU dengan praktek penegakan hukumnya ?

Pertanyaan tersebut yang memotivasi saya untuk terus berkarya agar penyalah guna dihukum rehabilitasi.

Penyalah guna dihukum penjara, menyebabkan penyalah guna jauh dari akses rehabilitasi dan mengakibatkan  terjadinya residivisme yang membahayakan ketahanan nasional.

Penyalah guna yang sekarang ini mendekam di lapas  ada 48 000 orang. Mereka mestinya wajib menjalani rehabilitasi, nyatanya BPJS juga tidak menjamin mereka untuk sembuhnya padahal sudah membayar iuran BPJS.

Ini juga semacam “virus” yang berbahaya dan menular kalau tidak ditanggulangi, makin merepotkan. Bangsa ini, sudah masuk Darurat Narkoba. Ayo, pak Menteri responsif.

 

#Anang Iskandar Peduli

Exit mobile version