Site icon Beritaenam.com

New Normal, Matinya Hiperealita

Beritaenam.com — Istilah Hiperealita menjadi viral, tatkala didengungkan oleh media sosial sebagai istilah yang seakan disosialisasikan. Entah, oleh siapa, karena penulis awalnya juga enggak jelas.

Tapi, menarik disimak.

New Normal itu,  sebenarnya adalah back to normal.

Justru kehidupan kemarin itu yang abnormal.  Ilustrasinya begini. Ketika Anda beli segelas kopi Starbuck seharga Rp 40an ribu. Mengapa segelas kopi bisa begitu mahal?

Anggaplah, harga dasar kopi itu Rp 7 ribu. Maka, Rp 33 ribu sisanya, Anda membayar harga sewa sofa outlet dan membeli simbol Starbuck. Angka Rp 33 ribu itulah, yang disebut Hiperealita.

Maknanya adalah, sebuah kondisi mental yang menganggap sesuatu itu nyata dan kita butuhkan melebihi kebutuhan dasar kita sendiri.

Hiperalita pernah diperkenalkan oleh filsuf Prancis bernama Jean Baudrillard dalam bukunya tentang Simulacra.

Kita sesungguhnya, tidak akan menemui Hiperealita sedahsyat kemarin. Andai saja tidak ditemukan yang namanya Facebook, Instagram, Twitter dan teman-temannya.

Tiba-tiba, datanglah Covid19 – Pandemi Covid-19 seakan tombol reset.

Mendadak kita semua takut keluar rumah, takut berkerumun, aktivitas di luar dibatasi. Apa-apa serba dari rumah. Lalu bagaimana nasib para Hiperealista? Sang penulis anonim itu memberi pencerahan.

Starbuck sepi, kafe sepi, mall sepi. Tidak ada orang yang meng-uplod imej-imej mereka di outlet-outlet pendongkrak citra diri itu. Pandemi Covid19 seakan  tombol reset. Eng-ing-eng.

Sekali ditekan langsung semua berbondong-bondong menuju ke titik awal.

Kita sudah merasakan PSBB, di mana pada masa itu kita diarahkan untuk melakukan segala hal yang kita butuhkan saja. 

Tentu saja, ini menjadi berdampak bagi Pariwisata, Hotel, Mall, Kafe dan semua usaha yang menjadikan “citra”, luxury atau prestise sebagai core bisnisnya.

‘Pembatasan sosial’ itu adalah hantu bagi usaha-usaha tadi. 

Ketika kita masuk dalam “pengembalian” kehidupan sosial kita ke titik yang wajar. Ngopi, ya murah aja. Tanyalah orang-orang yang tiap pagi ngopi, sebagai sesuatu yang wajar.

Tatkala betapa lugunya kita kemarin selama ini rutin bekerja 8 jam sehari, 5 hari seminggu hanya untuk “mengongkosi” kebutuhan imajiner (Hiperealita) kita.

Kemarin kita benar-benar dijauhkan dari apa yang benar-benar kita butuhkan. Kita malah membiayai ilusi. Wow! 

New Normal, adalah hancur-nya sebuah abnormalitas

Kembalinya kehidupan normal. Sebelum revolusi industri, kehidupan itu relatif sangat normal. manusia setara bekerja untuk kebutuhannya.

Ketika ‘ngopi’ mereka ya ngopi untuk menghilangkan penat. Kedai kopi pun sebagai ruang publik untuk saling guyub berinteraksi, bukan ruang halusinasi atau untuk menyendiri.

Selesai ngopi kembali ke kehidupannya. (bukannya pindah kasta) Upah yang mereka dapat pun untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Bukan untuk ‘membeli’ merek.

Ketika kondisi di atas dihantam kejadian luar biasa seperti pandemi, kemungkinan tidak akan se-dramatis seperti yang terjadi hari ini. 

Yuk, kita merombak rencana bisnis ke usaha-usaha yang riil dan beradaptasi bila ingin survive hari ini.

Alih-alih mempertahankan bisnis yang sama, seolah-olah kita masih hidup di dunia kemarin. Artinya, kita gagal move on.

New Normal adalah sebuah terapi psikis dan efek kejut

Ini bagi kita untuk memikirkan ulang, untuk introspeksi betapa rapuhnya kehidupan sosial kita kemarin bak jaring laba-laba besar. Tertata, tersistem dan terstruktur rapih dan massif tetapi tidak kita sadari begitu rapuh dan labil ketika sebuah batu menimpanya.

New Normal mendorong kita untuk fokus dan mengefisiensikan tenaga dan pikiran kita untuk hal-hal yang kita butuhkan saja. Dan petunjuk atas matinya kebutuhan halusinasi kita.

Seolah-olah hidup kita serba dicukupkan. Kita didorong memikirkan kembali apa yg benar-benar kita butuhkan. Kembali ke jati diri dan fungsi diri kita yang nyata.

Hari ini, kita rancang hari esok. Dunia kita yang kemarin, sudah mati”. Dunia hari ini, ibarat sebuah rumah sakit yang besar. Dan kita tergeletak di dalamnya dan hanya berpikir untuk tetap sehat dan tetap hidup.

Pernah lihat orang selfie saat tergeletak sekarat di rumah sakit? Itulah matinya hiperealita atau kalau boleh disebut “kritis”.

Kritis menjadi punya arti dalam keadaan krisis.

Bisa dalam artian gawat, genting (tentang suatu keadaan): keadaan pasien sangat — karena terlampau banyak mengeluarkan darah; 2 dalam keadaan yang paling menentukan berhasil atau gagalnya suatu usaha.

Saat ini, gejala “Kritis” merajalela.  Masyarakat modern sedang dalam viral, kritis.  Maknanya juga bervariasi. Dari hal yang berarti Kritis dalam perspektif positif, kemudian negatif.

Menurut “bell hooks“, pola pikir kritis adalah pola pikir yang selalu mencari tahu apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana dari suatu hal.

Namun kemudian, dapat menggunakan pengetahuan tersebut untuk memilah hal apa yang paling penting dalam memecahkan suatu masalah.

Berdasarkan teori dari Richard Paul dan Linda Elder, pola pikir kritis merupakan suatu seni dalam menganalisa dan mengevaluasi masalah dengan tujuan untuk memperbaiki problema tersebut.

Pola pikir kritis, menurut mereka, diarahkan, dimonitor, didisiplinkan, dan juga dikoreksi oleh diri sendiri. Jadi, kritis di New Normal dalam konteks positif. Kalau Anda, bagaimana?

Exit mobile version