Edo dan Natasya bertemu di gerbang segala bangsa, Persipolis.
Beritaenam.com — APA yang membuat orang menjadi ragu dalam melangkah?
Pertanyaan ini, seolah merupakan hipotesis yang ingin dijawab oleh penulis novel: “Setanggi Kopi Petualang”.
Untuk menjawab pertanyaan filosofis itu Edo, tokoh dalam novel, harus belajar melalui pengalaman dan perenungannya sejak masa SMA, masa-masa kuliahnya di kampus, serta melalui semua petualangannya berkeliling dunia.
Ia percaya hidup adalah suatu pilihan.
Seperti ditulis oleh Robert Frost, jalan bersimpang di hutan, dan aku memilih jalan yang jarang dilalui, dan hal itulah yang membuat perbedaan. Namun perbedaan, dalam kenyataan, sungguh menggelisahkan.
Meskipun orang tuanya mencoba memahami pilihannya, ternyata pakde Romonya menolak dengan keras.
Petualangan demi petualangan dilakukannya, ke rimba raya yang kuyup, dan saat tertatih di gelap malam dahan dan ranting pepohonan itu bergerak-gerak bagai cakar-cakar peri yang kurus.
Lalu terseok-seok mendaki puncak-puncak gunung yang tinggi berselimut salju, menyusuri sungai-sungai yang membuncah dan menderu.
Ternyata cinta tak harus selalu bersatu. Dan sunyi adalah musik yang mengiris kalbu.
Seberapa pun jauhnya, ia harus terus melangkah, merencah rantau sakti laut bertuah. You name it: Amerika, Jepang, padang-padang safari di Afrika hingga ke runtuhan imperium Persepolis, Machu Picchu dan Danau Titicaca.
Bahkan tanpa direncanakan, ia diharuskan untuk terlibat melakukan Operasi SAR di Gunung Leuser.
Sungguh, hidup memang bukan suatu rencana yang mudah.
Seseorang bisa jadi dapat terbuang begitu saja di Pulau Buru, menjadi orang rante hanya karena godaan setanggi kopi. Dan pada akhirnya sikap dan pilihan memang harus diambil.
“Emji Alif is back,” komentar Dr. A. Mukhlis Yusuf, mantan Dirut LKBN Antara. “Novelnya ini betul-betul setanggi yang memabukkan.”
Di masa mudanya Emji Alif menjadi penulis tersohor di majalah Gadis, Anita, Femina dan Kartini.
Bersama almarhum Norman Edwin, ia juga getol menuliskan kisah-kisah petualangannya, yang tampaknya sangat mewarnai novel Setanggi Kopi Petualang.
“Sedikit atau banyak, kamu harus punya pilihan jalan hidupmu sendiri,” tulisnya di novel itu.
Disunting oleh pengarang terkemuka Kurnia Effendi, dengan perancang sampul Iksaka Banu, seorang art director dan penulis pemenang dua kali penghargaan Kusala Khatulistiwa.
Tak heran jika “Setanggi Kopi Petualang” berhasil menjadi sebuah novel yang asyik untuk dibaca, terlebih saat harus terkurung gegara Covid-19.
Sementara penjualan di Gramedia sedang disiapkan, novel ini dapat dipesan melalui wa 0812 8411 2191 dan 0812 33728812 dengan harga promo bulan kemerdekaan Rp 75 ribu, bebas ongkir untuk Jabodetabek.
Silakan dipesan. (Untuk Keterangan lebih lanjut hubungi Puti Rosdina 0812 33728812)
***
Novel Setanggi Kopi Petualang : Kurnia Effendi
Perancang sampul yang mumpuni: Iksaka Banu.Serta endorser yang hebat: Lody Korua dan Djadjo Dondy Rahardjo.
Kisah ini berdasarkan imajinasi penulis yang memang suka bertualang di masa mudanya. Mungkin petualangannya itu telah mengajarkannya untuk memahani pentingnya keberagaman, seperti halnya berbagai varian tumbuhan yang sangat memperkaya hutan tropis.
Ini sebuah kisah yang menarik untuk dibaca, terutama bagi para pencinta alam. Lody Korua, penjelajah alam, pengarung arus deras, pendiri Arus Liar, pengelola Maseng River Camp.
Penulis novel ini adalah petualang di Operation Drake dan Operation Raleigh, dan memimpin banyak ekspedisi untuk klubnya: KAPA FTUI. Itu sebabnya kisah petualangan sangat kuat tergambar dalam novel ini. Serunya, petualangan sering kali beririsan dengan kisah cinta.
Dalam novel ini romantika digambarkan secara menarik sehingga makin asyik membacanya. Sungguh sebuah kisah yang sangat menawan.
baca juga: Majalah MATRA Terbaru — klik ini