Site icon Beritaenam.com

Operasi Senyap Penangkapan Djoko Tjandra, Bos Era Giat Perkasa (EGP)

Terpidana kasus pengalihan utang atau cessie Bank Bali yang kabur ke luar negeri sejak 2009 itu dijemput langsung oleh Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo

Beritaenam.com — Djoko Tjandra yang menjadi buron dalam kasus skandal korupsi Bank Bali —  yang terjadi sejak tahun 1999 — kembali jadi sorotan publik. Ini setelah terpidana korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, berhasil ditangkap Bareskrim Polri di Malaysia.

Dia diketahui bersembunyi Negeri Jiran sebelum ditangkap tim khusus Bareskrim. Pria yang diketahui pernah menjadi warga negara Papua Nugini itu digelandang ke Indonesia setelah melarikan diri ke luar negeri sejak tahun 2009.

Bos PT Era Giant Prima ini memiliki gurita bisnis ke Malaysia.  Pria kelahiran Sanggau 27 Agustus 1950 ini memang identik dengan Grup Mulia yang memiliki bisnis inti properti. Kongsi empat bersaudara yakni Tjandra Kusuma (Tjan Boen Hwa), Eka Tjandranegara (Tjan Kok Hui), Gunawan Tjandra (Tjan Kok Kwang), dan Djoko S Tjandra sendiri didirikan pada 1970.

Grup Mulia makin berkembang pesat saat dipegang olehnya yang mengkomandani kepemilikan properti perkantoran seperti Five Pillars Office Park, Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center. Grup Mulia menaungi sebanyak 41 anak perusahaan di dalam dan luar negeri. Selain properti, grup yang pada 1998 memiliki aset Rp 11,5 triliun itu merambah sektor keramik, metal, dan gelas.

Tak terpengaruh dengan nama baik yang ditorehkan Djoko tersebut, bisnis Grup Mulia masih tetap bersinar. Dilihat di laman resmi Mulia Group, kelompok bisnis properti ini juga membangun beberapa proyek besar di jantung Kota Jakarta antara lain Wisma Mulia, Mal Taman Anggrek, dan Wisma GKBI.

Kasus Djoko Tjandra bermula sekitar Agustus 1998, pemilik PT Era Giat Prima dan Bank Bali mengadakan kontak bisnis.  Setya Novanto sebagai direktur utamanya yang juga Wakil Bendahara DPP Partai Golkar. Sementara Bank Bali dimiliki keluarga Ramli.   Mereka bernegosiasi soal pengalihan tagihan Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Rupanya BDNI tak mampu memenuhi kewajibannya ke Bank Bali. Malah BDNI kemudian ikut dilikuidasi. Pada Januari 1998, pemerintah menyatakan, dana nasabah dan pinjaman antarbank masuk dalam skema penjaminan pemerintah.

Hal itu berarti Bank Bali tidak perlu khawatir piutangnya di BDNI lenyap karena berada dalam perjaminan pemerintah. Namun, rupanya Bank Indonesia (BI) tidak segera membayarkan piutang Bank Bali tersebut. Sebab, berdasarkan hasil verifikasi BI, tak ada satu pun dari 10 transaksi antara Bank Bali dan BDNI yang memenuhi syarat untuk dibayar.

Alasannya, transaksi antara BDNI dan Bank Bali terlambat didaftarkan serta terlambat diajukan. Piutang Bank Bali awalnya adalah transaksi forward yang tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin. Namun, entah apa yang terjadi kemudian, transaksi itu berubah statusnya menjadi pinjaman antarbank. Untuk menagih pinjaman antarbank itulah, Bank Bali dengan PT Era Giat Prima menandatangani cessie pada 11 Januari 1999.

Bank Bali memberikan hak penagihan piutang kepada PT Era Giat Prima, hitam di atas putih, berupa cessie atau pengalihan hak penagihan kepada pihak ketiga. Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli beralasan, pencairan dana penjaminan dari BI atas piutang Bank Bali terhadap BDNI sulit dilakukan. Oleh karena itu, cessie pun ditempuh dengan menggandeng PT Era Giat Prima. “Kalau setiap hari dirongrong oleh ketidakpercayaan nasabah, siapa yang tahan Mas,” kata Rudy Ramli.

Mantan Bos Bank Bali Ungkit Cacat Akuisisi Bank Permata oleh Standard Chartered Dalam proses, menurut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), beberapa dokumen terkait cessie tersebut tidak terungkap dalam laporan auditor Bank Bali. Meskipun demikian, justru Standard Chartered Bank (SCB) yang mengungkapkan hal itu dalam laporan due diligence-nya pada 20 Juli 1999.

SCB adalah investor asing yang waktu itu sepakat membeli 20 persen saham Bank Bali. Dalam laporannya, SCB menemukan, antara lain, terjadinya tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank Rp 546 miliar sehubungan dengan klaim antarbank Rp 904 miliar. SCB juga menemukan adanya usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen Bank Bali.

Setya Novanto mengatakan, proses transaksi jual beli penagihan Bank Bali merupakan proses investasi berisiko tinggi dan bisa dipertanggungjawabkan secara legal dan komersial. Setya pun menampik tudingan adanya kaitan perjanjian itu dengan Golkar.

Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada 1997. Total piutang Bank Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun. Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair.

Di tengah keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP).

Rudy Ramli dan Era Giat menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih. Disebutkan, Era Giat bakal menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang dapat ditagih.  BPPN akhirnya setuju mengucurkan duit Bank Bali itu. Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60 persen atau Rp 546 miliar, masuk rekening Era Giat. Konon, kekuatan politik turut andil mengegolkan proyek ini

Gubernur BI Syahril Sabirin mengaku tidak mengetahui adanya perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT Era Giat Prima. Syahril mengatakan, bagi BI, pengurusan penjaminan pinjaman antarbank tidak memerlukan perantara. Posisi PT Era Giat Prima pun dipertanyakan. Sebab, secara prosedural, formal dan legal, pencairan tagihan perbankan memang tidak memerlukan peran pihak lain.

Sementara BI, Departemen Keuangan, ataupun Kementerian Keuangan dan BPPN merupakan lembaga pemerintah yang memiliki sistem tersendiri dalam pencairan dana. Setya Novanto pun membantah perjanjian mereka itu sebagai perjanjian bernuansa debt collector, tetapi cessie. Namun, jika sesuai cessie yang lazim, hak tagihan dan transfernya sebenarnya langsung ke PT Era Giat Prima, bukan ke Bank Bali.

Kasusnya kembali disorot saat Joko Tjandra yang melarikan diri sejak tahun 2009, kemudian mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus yang membelitnya.  Dia juga sempat mengurus KTP di Kelurahan Grogol dan sempat mengajukan pembuatan paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Utara.

Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie. Mulai saat, penyelidikan dimulai. Setyanovanto lalu menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap menang di tingkat banding, Mahkamah Agung (MA), melalui putusan kasasinya pada November 2004, memenangkan BPPN.

Tak cukup di situ, Era Giat juga membawa kasus ini ke ranah perdata dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah itu.  Melalui putusan kasasinya, Mahkamah Agung memutuskan duit itu milik Bank Bali.

Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu tetap sama: duit itu hak Bank Bali. Di saat bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka, antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Mentri Pendayagunaan BUMN). Mereka dituding telah melakukan korupsi yang merugikan kantong negara. Kejaksaan menyita dana Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali.

Dari kesekian banyak tersangka, akhirnya hanya tiga orang yang diadili yaitu Djoko Tjandra, Syahril, dan Pande Lubis. Pande Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan MA tahun 2004. Baca juga: Cerita Rudy Ramli Bangkit Usai Kehilangan Bank Bali Adapun Syahril Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun, belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu.

Yang kontroversial adalah Djoko. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi Djoko dinyatakan bebas. Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan Djoko adalah Hakim Agung Artijo Alkostar.

Kejaksaan tak menyerah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). Hasilnya memang tak sia-sia. MA akhirnya memutuskan Djoko dan Sjahril Sabirin bersalah dan mengukum keduanya dua tahun penjara. Namun belakangan, Djoko Tjandra sudah terlebih dahulu kabur ke luar negeri.

Sudah Tiga jenderal dicopot berkaitan Djoko Tjandra. Sanksi pidana kini menunggu ketiganya.

Setelah buron selama 11 tahun, Djoko Tjandra akhirnya berhasil ditangkap oleh penyidik Bareskrim Polri di Malaysia, Kamis (30/7/2020). Terpidana kasus pengalihan utang atau cessie Bank Bali yang kabur ke luar negeri sejak 2009 itu dijemput langsung oleh Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo. Menggunakan pesawat tipe Embraer ERJ 135 dengan nomor registrasi PK RJP, Djoko Tjandra kemudian diboyong ke Indonesia dan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

“Atas perintah (Presiden) tersebut, Kapolri kemudian membentuk tim untuk menindaklanjuti perintah,” kata Listyo di Gedung Bareskrim. Diawali Perintah Presiden Tim yang diketuainya lalu mulai mencari informasi tentang keberadaan Djoko Tjandra. “Dan kita dapat informasi yang bersangkutan berada di Kuala Lumpur,” lanjut Listyo.

Strategi police to police Listyo beserta tim berkoordinasi dengan Kepolisian Diraja Malaysia untuk mencari Djoko Tjandra. Ditindaklanjuti dengan kegiatan police to police. “Kemarin siang, yang bersangkutan atau target bisa diketahui,” ujar Listyo. “Tadi sore kami dari Bareskrim, Kadiv Propam, berangkat untuk pengambilan. Alhamdulillah,” kata dia.

sumber: majalah MATRA edisi cetak — Agustus 2020

 

Exit mobile version