beritaenam.com, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan ada kelompok yang menyiapkan ‘propaganda Rusia’ dengan membuat banyak fitnah dan kabar bohong alias hoax di dunia perpolitikan Indonesia.
Pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah menilai istilah ‘propaganda Rusia’ merujuk pada teori yang digunakan untuk strategi politik, bukan merujuk pada suatu negara.
“Penyebutan Rusia itu sebenarnya netral karena bagaimanapun ada misalnya, ini suatu nama akademik kan, nama akademik yang dibuat oleh seseorang,” ujar Teuku saat dihubungi, Selasa (6/2/2019). Teuku merupakan Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran.
Menurut Teuku, pernyataan Jokowi terkait ‘propaganda Rusia’ harus dilihat berdasarkan konteksnya. Teuku menilai konteks dari pernyataan ‘propaganda Rusia’ yang disampaikan Jokowi adalah sebuah rumus strategi politik.
“Jadi, yang dimaksud Pak Jokowi itu, Rusia adalah suatu rumus yang diterapkan dari Rusia, rumus yang pernah ada di Rusia,” katanya.
“Dan tentunya teori tentang Rusia ini selama belum ada teori yang lebih unggul, sebelum digugurkan dengan teori yang lain ya sementara masih laku nama (propaganda Rusia) itu,” lanjutnya.
Untuk itu, Teuku kembali menegaskan, istilah ‘propaganda Rusia’ yang disampaikan Jokowi lebih pada teori yang digunakan salah satu tim sukses kampanye untuk menjalankan strategi politiknya.
Istilah ‘propaganda Rusia’, dikatakan Teuku, bukanlah negara Rusia yang yang datang ke Indonesia dan ikut campur terhadap politik dalam negeri Indonesia.
“Pak Jokowi kan juga hanya mengatakan ada dugaan, beliau tidak membuktikan ada. Tetapi banyak pihak yang kepancing, yang berpikir ada yang dituduh, jadi dalam hal ini mungkin kalimat yang dibaca dari Pak Jokowi tidak utuh konteksnya,” imbuhnya, seperti dilansir dari detik.com
Dihubungi terpisah, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, memberi pernyataan yang berbeda.
Menurut Suzie, adanya teknologi membuat batas antarnegara tidak lagi konkret. Hal tersebut sangat memungkinkan negara lain, termasuk Rusia, untuk ikut campur terhadap urusan dalam negeri Indonesia.
“Sangat mungkin, apalagi kalau berbayar, dan semua itu kan mafia link (terhubung) satu sama lain. Mafia bisa bekerja sama dengan pemerintahannya atau tidak bekerja sama dengan pemerintahannya lalu mengganggu pemerintahan negara lain,” kata Suzie saat dihubungi, Rabu (6/2).
Tujuan negara lain masuk ikut campur ke urusan politik dalam negeri Indonesia adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Menurut Suzie, setiap langkah Indonesia mengandung potensi uang.
“Negara mana pun akan mencoba menguji seberapa jauh mereka bisa menembus dan akhirnya mendapat profit dari apa yang mereka lakukan. Jadi tergantung rasa kebangsaan orang yang melibatkan orang luar itu seberapa jauh,” ujarnya.
Namun, jika mengacu pada sejarah yang pernah terjadi di Indonesia, Suzie menilai sejumlah orang di Indonesia justru tidak terlalu loyal terhadap negaranya.
“Sudah sejak 1950-an ini, kita dicoba dijebak dengan perjanjian yang akhirnya menurunkan perdana menteri dulu, Sukiman, perjanjian dengan dengan Amerika. Lalu kita menghadapi PRRI Permesta, lalu kita menghadapi juga semacam kondisi lainnya misalnya, DI TII, lalu upaya pembunuhan yang dilakukan oleh orang asing terhadap Bung Karno misalnya,” ungkapnya.
Suzie lalu mengingatkan, negara lain yang hendak masuk untuk ikut campur terhadap politik dalam negeri selalu melihat celah, salah satunya celah untuk mengadu domba antar masyarakat.
“Kalau di Indonesia (misalnya) antara orang Islam dan orang Kristen, antara kelas-kelas tertentu dan kelas lainnya. Jadi sebetulnya mereka sudah tahu persis siapa yang akan memanipulasi kita. Bisa orang Rusia, bisa juga orang Amerika, nah sekarang bisa juga orang Israel karena mereka canggih sekali,” ungkapnya.
“Jadi, negara yang potensi adu dombanya tinggi meski waspada, buktinya Amerika yang canggih saja meski waspada (dari Rusia),” imbuhnya.