Site icon Beritaenam.com

Perlombaan Menuju Emisi Nol

Mirip dengan Olimpiade Tokyo, hitung mundur juga sedang berlangsung menuju COP26 (Conference of the Parties) di Glasgow, Skotlandia, awal November 2021.

COP26 adalah konferensi tentang perubahan iklim di bawah payung PBB (United Nation Climate Change Conference of the Parties).

Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari COP21 Desember 2015 atau yang dikenal dengan Paris Agreement, ketika Indonesia menetapkan NDC (Nationally Determined Contribusion) sebesar 29 persen pada 2030.

NDC adalah istilah dalam diplomasi perubahan iklim untuk target penurunan emisi GRK (gas rumah kaca).

NDC menjadi komitmen negara partisipan COP21 atas perubahan iklim dengan menahan laju pemanasan global di bawah 2 derajat celsius, bahkan bisa ditekan sampai 1,5 derajat celsius di bawah tingkat pra-industrialisasi.

NDC merupakan janji negara-negara yang meratifikasi Perjanjian Paris, termasuk Indonesia, untuk memitigasi perubahan iklim secara masif dan berkelanjutan.

Bila target 2030 belum direvisi, bagi Indonesia hitungan mundur menuju NDC 29 persen juga tengah berlangsung. Namun jika tidak ada upaya ambisius, hitung mundur itu bisa menuju krisis iklim.

Dekade ini juga menjadi momen krusial, apakah para pemimpin di masing-masing negara bisa menjaga suhu bumi tidak naik melebihi 1,5 derajat celsius, karena sejak Kesepakatan Paris 2015, banyak negara masih lamban menepati komitmennya.

Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang emisi GRK terbesar di dunia sehingga upayanya menuju dekarbonisasi menjadi perhatian global.

Sedemikian penting posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim, itu sebabnya Presiden COP26, Alok Sharma, menyempatkan berbicara langsung secara virtual dengan Menteri LHK Siti Nurbaya, akhir Maret lalu.

Sharma menyampaikan wacana optimis ketika menyebut Indonesia merupakan super power dalam isu penanggulangan perubahan iklim.

Sharma sendiri adalah Menteri Bisnis, Energi dan Strategi Industri pada kabinet PM Boris Johnson. Kebetulan Inggris dan RI melalui Kementerian ESDM, juga telah menjalin kerjasama dengan tajuk “Mentari” atau Kemitraan Energi Rendah Karbon.

Dalam kerjasama ini pemerintah Inggris memberi fasilitas dan konsultasi dalam transisi menuju energi bersih sehingga upaya Indonesia terkait perubahan iklim dan pemanfaatan energi terbarukan, masuk dalam “radar” mereka.

Dalam kapasitasnya sebagai Presiden COP26 di Glasgow, Sharma telah meluncurkan kampanye iklim global “Race to Zero” guna memastikan konsolidasi para penentu kebijakan lintas sektoral bagi pemulihan iklim dan pembangunan berbasis nol karbon.

Kampanye ini mendasarkan asumsi, nol emisi karbon adalah keniscayaan mencegah ancaman di masa depan, menciptakan pekerjaan yang layak, serta membuka pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Untuk mencapai emisi bersih nol GRK pada pada pertengahan abad ini, sangat penting untuk mencapai sasaran suhu pada Kesepakatan Paris tentang aksi iklim yang telah ditetapkan.

Dalam tujuan jangka pendek yang melibatkan lebih 20 sektor yang membentuk ekonomi global, sinergi pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil akan sangat menentukan perang melawan perubahan iklim.

Jika semua sektor berperan, diharapkan ekonomi global berada pada jalur yang benar untuk mencapai nol bersih pada 2050.

Sejumlah negara produsen emisi besar telah menetapkan target ambisius nol emisi pada 2050-2060, seperti AS, Cina, Jepang, Korea, dan negara-negara kawasan Scandinavia.

Dalam pembicaraan dengan Sharma, Menteri Siti Nurbaya menyebut target net zero emission Indonesia pada 2070. Dengan kata lain, ada “keterlambatan” 10-20 tahun dibanding target negara-negara lain sehingga perlu upaya lebih keras agar bisa lebih cepat dari 2070.

Memacu EBT

Dalam hitungan mundur menuju COP26, kita harus memastikan peta jalan mitigasi pemanasan global, salah satunya dengan mendorong pemanfaatan EBT atau energi baru dan terbarukan.

Mempercepat transisi ke EBT adalah sesuatu yang mendesak dari situasi komplek seperti sekarang. Saat ini, meski biaya EBT secara bertahap turun, bahkan pada kasus tertentu bisa lebih murah dari batubara dan gas, masih ada sekitar 50 negara, termasuk Indonesia, berencana membangun PLTU (batubara) baru.

Untuk mencapai target bersama sesuai Perjanjian Paris, seperti direkomedasikan IEA (Badan Energi Internasional), laju transisi global menuju EBT butuh 4-6 kali lebih cepat dibanding saat ini.

Semetara Carbon Tracker menghitung, penghentian penggunaan energi batubara perlu meningkat tiga kali lipat dengan cara menutup satu unit PLTU per hari sampai 2040.

Secara pontensi, Indonesia berada pada posisi sangat baik sebagai “negara adidaya” dalam EBT. Indonesia memiliki potensi EBT sangat melimpah, melaui tenaga surya dan angin.

Merujuk pada pengalaman India, dibutuhkan komitmen kuat pemerintah dalam memacu pengembangan EBT.

India hari ini adalah negara dengan kapasitas PLTB (angin) keempat terbesar, dan memiliki salah satu ladang panel surya terluas di dunia, yaitu PLTS Kamuthi (kapasitas 648 MW), di atas lahan seluas 10 km persegi.

Seperti disampaikan Direktur Jenderal IRENA (The International Renewable Energi Agency), Francesco La Camera, menyebut tahun 2020 adalah tonggak dekade energi terbarukan.

Dengan biaya turun dan pasar teknologi bersih tumbuh, peristiwa ini merupakan pengalaman yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pasar keuangan dan investasi juga mencerminkan pergeseran dengan mengalokasikan modal dari bahan bakar fosil ke aset berkelanjutan seperti energi terbarukan.

Tren ini tidak dapat dihentikan. Kenaikan 10,3 persen dalam kapasitas terpasang saat ini menunjukkan ekspansi yang sangat menakjubkan.

Pada akhir 2020 di tingkat global, kapasitas pembangkit terbarukan global sebesar 2.799 GW dengan tenaga air masih merupakan bagian terbesar (1.211 GW), meski demikian tenaga surya dan angin menyusul dengan cepat, termasuk biofuel.

Indonesia sudah masuk fase rintisan, ketika memulai transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan batubara dan energi fosil lainnya.

Dengan menumbuhkan pasar energi EBT dan memaksimalkan implementasi bioenergi, percepatan pembangunan listrik berbasis sampah, pemanfaatan biomasa untuk cofiring PLTU eksisting, pelaksanaan mandatori B30, serta program pengembangan green refinery dan pengembangan panas bumi.

Tentu upaya ini belumlah cukup, dibutuhkan langkah ambisius untuk percepatan transisi ke EBT khususnya pengesahan UU tentang EBT yang akan memberi payung hukum memaksimalkan pemafaatan potensi EBT kita.

Tidak ada kata terlambat, dengan ambisi dan kemauan keras dari pemerintah bersama sektor bisnis dan masyarakat sipil, kontribusi Indonesia untuk mengurangi acaman sistemik perubahan iklim akan jadi portofolio yang dituggu dalam COP26 di Glasgow nanti. ***

 

Exit mobile version