Site icon Beritaenam.com

Pers Indonesia di Antara Verifikasi Faktual dan Pendataan ?

“Pers nasional itu Syaratnya bukan Verifikasi Faktual !”

Beritaenam.com — Orde baru (Orba) mengontrol pers dengan perizinan seperti SIT / STT, Izin Cetak Pangkopkamtib dan berakhir dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

SIUPP menjadi barang yang mahal, sebelum Orba tumbang. Harganyai Rp 3-4 miliar dan pemilik lama masih dapat saham.

Reformasi mengubah segalanya, pada masa transisi antara tahun 1998-1999, SIUPP sudah tak bernilai karena siapa saja bisa memperoleh.

Ditjen PPG Departemen Penerangan pada era transisi hanya meminta pemohon SIUPP mengajukannya dengan berkas rangkap tiga diberikan map dan SIUPP keluar.

Apa yang dilakukan era transisi itu akhirnya mengilhami perubahan UU No. 21 tahun 1982 menjadi UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, intinya pers harus dikelola oleh perusahaan berbadan hukum khusus.

Namun perizinan yang dianggap sebagai kontrol penguasa hilang, jadi tidak ada SIUPP lagi. Pendataan yang dilakukan Deppen dialihkan kepada Dewan Pers independen, sesuai Pasal 15 UU Pers.

Tugas Dewan Pers menurut UU Pers adalah pendataan dengan melakukan verifikasi ;
1. Apakah memenuhi syarat Pasal 1 angka 1
2. Apakah usaha perusahaan pers tidak campur dengan kegiatan lain sebagaimana Pasal 1 angka 2
3. Apakah badan hukumnya memenuhi syarat Pasal 9 ayat (2)
4. Apakah ada penanggung jawab dan alamat redaksi yang presisi sebagai pertanggungjawaban hukum, sesuai Pasal 12

Bila keempat unsur di atas terpenuhi, maka Dewan Pers harus mendatanya masuk dalam Perusahaan Pers Indonesia sesuai perintah UU seperti era Deppen masa transisi.

Verifikasi Faktual ternyata tidak hanya memeriksa empat syarat yang diperintahkan UU sebagaimana di atas tetapi juga aspek permodalan perusahaan pers.

Inilah yang kemudian menjadi “kegaduhan” Dewan Pers dinilai sebagian masyarakat pers berperan melebihi Departemen Penerangan pada rezim Orba.

“Kegaduhan” bertambah ketika ada yang gunakan Verifikasi Faktual sebagai senjata. Kerja sama media oleh sejumlah pemerintah daerah disyaratkan terverifikasi faktual.

Begitu juga saat terjadi sengketa yang ditanyakan oleh penyidik apakah sudah terverifikasi faktual? Padahal, pers nasional itu syaratnya empat butir di atas, bukan Verifikasi Faktual !

***

Seakan-akan verifikasi faktual itu adalah persyaratan, padahal petinggi Dewan Pers sudah menyatakan tidak ada larangan. Kebijakan kerja sama diserahkan kepada pengguna anggaran.

Isu lainnya adalah menjadi temuan BPK bila kerja sama tidak dengan perusahaan pers terverifikasi faktual. Ini juga sudah dibantah oleh instansi tersebut.

Meluruskan Penggunaan Verifikasi Faktual (2)

Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun menegaskan tidak ada surat edaran kepada instansi bila kerjasama media harus dengan perusahaan pers terverifikasi faktual.

Bahkan Hendry, menantang ratusan wartawan yang hadir saat sosialisasi di Karawang, beberapa waktu lalu. “Jangan hanya isu, buktikan, mana surat itu bila ada,” tegasnya.

Begitu juga Ketua Dewan Pers, M. Nuh saat hari pers di Banjarmasin, Kalimantan Selatan menegaskan tidak ada larangan itu. Kebijakan kerja sama sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah.

Masih terkait verifikasi faktual, ternyata juga dijadikan landasan pertanyaan penyidik saat menangani sengketa pemberitaan media.

Pertemuan ahli pers di HPN Banjarmasin, menegaskan sengketa pemberitaan yang harus diteliti adalah perintah UU Pers menyangkut Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 UU Pers.

Ledakan media belakang ini membuat sejumlah instansi kewalahan menerima permohonan kerja sama. Cara gampang adalah memanfaatkan verifikasi faktual.

Seakan-akan verifikasi faktual itu adalah persyaratan, padahal petinggi Dewan Pers sudah menyatakan tidak ada larangan. Kebijakan kerja sama diserahkan kepada pengguna anggaran.

Isu lainnya adalah menjadi temuan BPK bila kerja sama tidak dengan perusahaan pers terverifikasi faktual. Ini juga sudah dibantah oleh instansi tersebut.

Bila anggaran kerja sama media dalam hal ini pers namun diberikan kepada media yang tidak berbadan hukum pers Indonesia maka itu temuan dan masalah.

Definisi pers dan badan hukum perusahaan pers sudah jelas menurut Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Hal ini yang tidak boleh dilanggar dalam penggunaan anggaran.

Anehnya, saat kerja sama dengan pers sangat ketat, sementara anggaran publikasi digunakan juga untuk influencer dan Google tanpa persyaratan verifikasi faktual.

Jangan heran bila kemudian oleh Google penempatan juga tidak gunakan syarat verifikasi faktual. Media yang bekerja sama dengan Google bisa mendapatkan AdSense.

Influencer juga tak terverifikasi faktual tetapi dapat anggaran publikasi dan tidak jadi temuan BPK, jadi boleh !

***

Masyarakat pers terpecah saat menyikapi kerjasama media dengan syarat terverifikasi faktual. Ada pro dan kontra sesuai alasan bahkan kepentingan masing-masing.

Pemegang sertifikat verifikasi faktual, adalah pihak yang pro. Alasannya mereka “sudah teruji” setidaknya saat diverifikasi.

Mereka yang belum terverifikasi menilai persyaratan kerja sama gunakan verifikasi faktual untuk mengurangi kesempatan bersaing.

Silakan Uji Terkait Verifikasi Faktual (3)

Masyarakat pers terpecah saat menyikapi kerjasama media dengan syarat terverifikasi faktual. Ada pro dan kontra sesuai alasan bahkan kepentingan masing-masing.

Pemegang sertifikat verifikasi faktual, adalah pihak yang pro. Alasannya mereka “sudah teruji” setidaknya saat diverifikasi.

Mereka yang belum terverifikasi menilai persyaratan kerja sama gunakan verifikasi faktual untuk mengurangi kesempatan bersaing.

Terlepas pro dan kontra dalam masyarakat pers, kerja sama media yang gunakan anggaran negara / daerah adalah obyek UU KIP.

Warga negara (wartawan) dan atau badan hukum Indonesia (perusahaan pers) adalah subyek hukum UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Bila penasaran siapa dan berapa nilai kerjasama pada badan publik, bisa gunakan hak ingin tahu, dengan cara bertanya kepada instansi itu.

Inti pertanyaan misalnya ;
1. Berapa besar anggaran kehumasan dan atau publikasi pada tahun anggaran berjalan dan dua tahun anggaran sebelumnya.
2. Siapa saja yang mendapatkan anggaran kerjasama dan nilai masing-masingnya.
3. Bagaimana prosedur lelang atau proses penunjukan.

Pertanyaan itu langsung ditujukan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan jangan lupa minta registrasi dengan tanggal penerimaan.

Tunggu maksimal 10 hari kerja, meski badan publik boleh meminta tambahan waktu tujuh hari kerja lagi untuk melengkapi data jawaban.

Bila PPID badan publik tidak menjawab atau mengatakan hal itu dikecualikan oleh Pasal 17 UU KIP, jangan menyerah, sengketakan ke Komisi Informasi.

Data yang didapat merupakan informasi publik yang bisa disebarluaskan. Bahkan nama media yang dapat anggaran bisa dilakukan investigasi.

Selain menyoal dana kerja sama dengan UU KIP, pengelola media yang memenuhi syarat UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers juga bisa menguji materi ke Mahkamah Agung.

Jadi apabila ada Pergub, Perkab atau Perko yang mengatur kerjasama media harus terverifikasi faktual bisa diuji dengan pasal-pasal definisi pers yang ada pada UU Pers.

Siapa yang ingin mencoba salah satu atau kedua langkah di atas agar jelas dihadapan hukum apakah kerjasama itu sah atau melawan hukum !

**Penulis adalah Staf Pengajar/Dosenetua Dewan Kehormatan Provinsi PWI DKI JakartaKompetensi Wartawan (UKW) dalam rangka sertifikasi Standar Kompetensi Wartawan. Selain jurnalis juga seorang peneliti Kebebasan Pers.

Exit mobile version