Beritaenam.com — Manusia takut mati. Siapa pun dia. Ketika virus korona merebak, manusia di berbagai belahan dunia panik. Aktivitas dibatasi. Perjalanan ditunda.
Aset likuid langsung dilego. Harga saham pun terjun bebas. Inilah situasi yang kita lihat dan alami hari-hari ini.
Coronavirus disease 2019 (Covid-19) menebar ketakutan masif. Sejak WHO menyatakan korona sebagai pandemi, Rabu (11/3/2020), kepanikan masyarakat kian meluas dan kejatuhan harga aset finansial tak terbendungkan.
Para pemodal didera stress berat, bahkan ada yang bunuh diri. Dalam sekejap, kekayaan mereka hilang hingga lebih dari 50%. Para pemodal kecil hanya bisa berdoa dan menunggu harga saham berbalik arah.
Sesuatu yang hanya bisa diramalkan, tak pernah bisa dipastikan. Siapakah yang tahu persis kapan penurunan harga saham mencapai bottom price?
Ketika indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) turun di bawah 6.000, banyak analis yang memperkirakan indeks akan kembali ke level semula.
Namun, ketika penularan Covid-19 mulai menjalar dengan cepat dan mengobrak-abrik berbagai negara, harga saham terjungkal setiap hari.
Pada perdagangan saham di BEI, Jumat (20/3/2020), IHSG ditutup pada level 4.194. Hari itu, indeks naik tipis 2,2% dari sehari sebelumnya. Tapi, selama beberapa pekan sebelumnya, harga saham berguguran.
Sejak awal Januari 2020 hingga 20 Maret 2020, year to date (ytd), indeks terpangkas 33,4%. Saham bluechips yang tergabung dalam LQ-5 terkikis hingga 38,2%.
Penyebaran Cofid-19 menjadi momok yang menakutkan dunia. Harga saham di semua bursa saham dunia berguguran.
Selama periode yang sama, Indeks Dow Jones terjungkal hingga 29,6%, Bursa Tokyo tersungkur 30%, Bursa Hongkong jatuh 19% , Bursa Shanghai tergerus 10%, dan Bursa Singapura terpangkas 25,2%. Jatuh paling dalam adalah Bursa Austria yang rontok hingga 40%.
Pasar saham di BEI diwarnai net selling asing. Selama Januari hingga 20 Maret 2020, ytd, net selling asing mencapai Rp 10,2 triliun. Asing juga keluar dari surat berharga negara (SBN).
Kepemilikan investor asing di SBN turun Rp 86,49 triliun dari akhir Desember 2019 ke posisi Rp 975,37 triliun, 18 Maret 2020.
Rupiah yang pada awal Januari 2020 bertengger di level Rp 13.895 melemah tajam dan terjerembab ke posisi Rp 16.273 per dolar AS, Jumat (20/3/2020), level terburuk setelah krisis moneter 1997-1998.
Para pemodal mengalami potential loss lumayan besar seperti terlihat pada penurunan nilai kapitalisasi pasar emiten yang mencapai Rp 2.411 triliun atau 33%, ytd. Pada akhir Desember 2019, market cap di BEI mencapai Rp 7.265 triliun, sedang pada 20 Maret 2020, nilai kapitalisasi pasar tinggal Rp 4.854 triliun.
Penurunan market cap yang sangat besar disebabkan oleh terhempasnya harga saham LQ-45. Market cap LQ-45 tergerus Rp 1.724,59 triliun atau 37,1% ke Rp 2.922,87 triliun, ytd.
Banyak pemodal dilanda panic selling. Mereka takut harga saham jatuh lebih dalam, sehingga melego pada harga berapa saja.
Bagi pemodal yang memiliki likuiditas, saat ini adalah momentum untuk membeli karena price to earning ratio (PER) LQ-45 umumnya di bawah 10 kali, bahkan beberapa di antaranya hanya 1-4 kali, dengan price to book value (PBV) cuma 0-1 kali.
Aset Utama
Aset paling utama dari setiap manusia adalah badannya, kesehatannya, kehidupannya. Bukan yang lain. Kekayaan materiel berada di luar dirinya.
Untuk apa memiliki portofolio saham hingga ratusan miliar atau bahkan triliunan rupiah, namun badan binasa karena wabah?
Karena itu, ketika pandemi Cofid-19 mengancam, langkah pertama yang diambil adalah berusaha memegang “cash”. Saham harus dijual. Aset finansial lainnya harus dilepas.
Pada situasi krisis, “cash is king” , bahkan “cash is God”.
Ketika artikel ini ditulis, Minggu (23/3/2020) dinihari virus korona sudah menyebar ke 189 negara. Sebanyak 337.727 orang positif korona, 14.441 meninggal, dan 96.958 pasien sembuh setelah menjalani perawatan.
Warga terpapar korona di RRT sebagai episentrum korona mencapai 81.054 atau 23,9% dari total warga dunia yang terpapar Covid-19.
Dalam persentase, jumlah korban meninggal 4,2% dari total yang terpapar, sedang yang sembuh 29,3%. Meski belum ditemukan obat dan vaksin korona, banyak pasien yang sembuh karena imunitas yang dimiliki.
Sedang korban meninggal umumnya yang berusia 60 tahun ke atas dan yang memiliki penyakit serius seperti jantung, gula, ginjal, dan kanker.
Pasien pria lebih banyak yang meninggal dibanding wanita dengan perbandingan 71%-29%.
Meski korban meninggal di bawah 5%, masyarakat di berbagai belahan dunia dilanda kegelisahan. Virus ini menular dengan cepat dan serempak.
Penularan tidak saja lewat makhluk hidup, melainkan juga lewat berbagai benda mati. Si virus bahkan bisa bertahan lebih dari tiga hari di benda mati.
Penyebaran virus korona melumpuhkan bisnis penerbangan, pariwisata, transportasi, perdagangan, industri, properti, agribisnis, keuangan hingga investasi.
Virus korona memutuskan rantai pasokan. Ekspor Tiongkok ke berbagai negara terhambat. Begitu pula impor negeri Tirai Bambu itu.
Dengan pangsa PDB sebesar 16% dari PDB dunia, Tiongkok kini sudah menjadi raksasa ekonomi dunia. Perannya terhadap total ekspor dunia mencapai 13%, dan impor sekitar 11%.
RRT memproduksi berbagai jenis produk industri dan pangsa ekspor manufaktur negeri ini sebesar 18% terhadap ekspor manufaktur dunia.
Laju pertumbuhan ekonomi RRT tahun 2020 diperkirakan turun sekitar 1,5% ke level 5%, sedang pertumbuhan PDB dunia akan terpangkas satu persen ke 2,3%.
Untuk Indonesia, laju pertumbuhan 4% sudah bagus. Jika penyebaran Cofid-19 tak bisa diatasi hingga Juni, ekonomi Indonesia kemungkinan besar hanya bertumbuh di bawah 3%.
Time to Buy
Sedahsyat apa pun, Cofid-19 akan berlalu, cepat atau lama. Yang pasti, saat ini, semua negara di dunia serius menangani penyebaran virus korona dan penyembuhan mereka yang terinfeksi.
Ada yang menerapkan lockdown, ada yang memperketat pelaksanaan social distancing atau menjaga jarak fisik.
Penemuan obat dan vaksin Cofid-19 terus diupayakan oleh para ahli dan lembaga penelitian. Jauh lebih banyak kalangan yang memperkirakan, badai korona akan berlalu selambatnya, Mei 2020.
Salah satu alasan optimisme adalah tumbuhnya imunitas dalam tubuh setiap penghuni bumi. Virus apa pun akan memunculkan antibodi dalam tubuh manusia. Tak terkecuali Cofid-19.
Untuk mengurangi dampak buruk korona terhadap perekonomian, bank sentral berbagai negara di dunia menurunkan suku bunga acuan.
The Federal Reserve (Fed) sudah menurunkan fed fund rate ke level paling rendah, 0,0%-0,25%. Bank sentral AS dan sejumlah bank sentral dunia sudah mulai memberikan quantitative easing, yakni mencetak uang untuk membeli surat berharga negara dan korporasi.
Para pemimpin politik di dunia juga mulai memberikan stimulus fiskal. Presiden Trump mencanangkan pemberian stimulus lebih dari US$ 1 triliun.
Semua negara maju menerapkan kebijakan yang sama. RRT dikabarkan mempersiapkan pemberian subsidi besar-besaran untuk mendongkrak pertumbuhan negeri berpenduduk 1,4 miliar itu.
Sebagai leading indicator, indeks harga saham akan naik, selambatnya akhir kuartal kedua tahun ini. Pada krisis finansial 2008, IHSG terpangkas sekitar 61%, terjungkal dari level 2.800 awal Januari ke 1.100, akhir Oktober.
Namun, setahun kemudian, IHSG sudah kembali di atas 2.400, dan pada tahun 2010, indeks menembus 3.000. IHSG terus menanjak hingga menembus level 4.000 tahun 2011.
Para investor besar kini mulai belanja dan mengakumulasi saham berprospek bagus yang sudah undervalued atau sangat murah.
Di level dunia, Warren Buffet sudah turun gunung. Superinvestor itu dikabarkan menyediakan dana besar untuk “buy”. Rekan-rekannya juga mulai melakukan hal yang sama.
Para investor yang memiliki likuiditas juga sudah masuk pasar. Dengan menerapkan cost dollar averaging (CDA), mereka belanja sedikit demi sedikit.
Para investor cerdas biasanya menerapkan strategi ini karena tak seorang pun tahu kapan penurunan harga saham mencapai bottom price.
Para pemodal tajir akan bertambah tajir usai krisis. Mereka adalah “peternak” uang yang tahu persis kapan masuk pasar. Mereka akan habis-habisan membeli pada harga murah dan menjual saat harga tinggi.
Sebutlah saham BBRI yang hari ini, Senin (23/3/2020), pukul 15.20 WIB berada di level Rp 2.620 dengan price earning ratio (PER) di bawah 10 kali. Saham bank terbesar di Indonesia ini pernah mencatatkan harga di atas Rp 4.500 pada tahun 2019. BBRI adalah contoh saham yang perlu dikoleksi.
Sementara umumnya pemodal “tanggung” membeli saham pada bullish market, saat harga saham naik kencang.
Ketika harga saham turun, mereka gelisah dan terjebak panic selling. Kelompok ini akan tetap buntung, baik pada saat bearish market atau pada pasar sedang turun seperti sekarang maupun pada saat bullish market.
Para “peternak” uang akan selalu untung, baik saat pasar bergairah maupun pada saat pasar lesu. Saat ini, mereka turun untuk “buy on weakness”. Pada saat bullish market, keuntungan mereka akan berlipatganda.