Site icon Beritaenam.com

Reality Show Gonjang-GanjingTVRI

 

“kepra”

Beritaenam.com —  Memasuki pertengahan Mei 2020 gonjang ganjing TVRI masih terus berlanjut. Masalahnya masih di sekitar itu-itu saja. Bisa kita telusuri di media, termasuk medsos.

Perkembangan terbaru adalah Dewan Pengawas TVRI memberhentikan 3 direktur dan melanjutkan proses seleksi Direktur Utama. Belumada kemajuan yang mengarah pada kembalinya TVRI ke keadaan “new normal”.

Maksudnya, normal dalam kondisi ekuilibrium baru. Per hari ini kita belum bisa meraba, setelah gonjang ganjing berlalu, ekuilibrium baru di TVRI nanti akan seperti apa.

Kondisi TVRI yang masih seperti ini yang akhirnya membuat saya tergelitik juga untuk “Melengkapi” informasi-informasi mengenai TVRI yang beredar di media termasuk medsos sepanjang tahun 2018, 2019 sampai awal-awal 2020 ini.

Sekali lagi:  “Melengkapi”.

Bukan membantah, bukan mengiyakan dan tidak ada kaitannya dengan dukung mendukung pihak-pihak yang sedang berkontes untuk menjadi idola publik.

Sebagai orang yang pernah berinteraksi dengan dan bekerja di TVRI, saya banyak menahan diri untuk tidak banyak berkomentar mengenai gonjang ganjing TVRI.

Jujur saja. Sesungguhnya batin saya sudah lama terusik pada banyaknya pernyataan-pernyataan di media yang memberi kesan kuat seakan-akanTVRI itu baru mulai berbenah diriper tanggal 29 November 2017, tanggal di mana Direksi periode 2017/22 dilantik.

Ada persepsi yang dibangun bahwa sebelum-sebelumnya TVRI “kagak ngapa-ngapain”.

Saya semakin merasa lebih terusik saat seorang teman mengirimi saya artikel Kompasiana 28 Januari 2020 yang di dalamnya ada kutipan pernyataan Direktur Utama TVRI 2017/2022: “TVRI sebelum saya dalam titik nadir”.

Doouuh... Berarti waktu saya bekerja di TVRI, TVRI berada dalam titik nadir dong.

Sebuah pernyataan yang sembrono, minim empati, jauh dari tata krama, tidak ada tenggang rasa dan teramat kasar.

Tapi ya sudahlah.

Semoga yang menyatakan hal tersebut bisa mengangkat TVRI menjadi besar, bahkan lebih besar dari berbagai klaim dan pernyataan bombastis lainnya yang kerap dilontarkan oleh yang bersangkutan.

Dan kalau itu terjadi saya pasti akan semakin bangga pada TVRI. Karena TVRI yang semakin ‘besar’adalah impian saya. Dan pastinya ini juga impian dari orang-orangyang punya rasa memiliki TVRI.

Masalahnya yang menyampaikan pernyataan itu sudah diberhentikan dari TVRI. Bagaimana bisa mewujudkan khayalan-khayalannya?

Dan tentunya pernyataan soal TVRI berada dalam titik nadir, tidak bisa dibiarkan berkembang liar dalam persepsi stakeholders.

Saya ingin kembali ke bulan Desember 2019. Media termasuk medsos riuhrendah dengan berita ada “rame-rame” di TVRI.

Menurut saya, rame-rame ini apapun alasannya sudah masuk dalam kategori norak. Ya. Norak. Saya belum menemukan diksi yang lebih tepat selain norak. Jadi sementara saya pakai diksi ini. Norak.

Saya sempat mempertimbangkan diksi yang lain: songong. Tapi “norak” lebih umum rasanya.

Kenapa norak? Karena kalau saja Dewan Pengawas (Dewas)dan Direksi TVRI mau duduk bersama, banyak ngobrol, rembugan dan ngupi-ngupibareng, tentunya “rame-rame”ini tidak perlu terjadi.

Mereka dengan santai bisa bincang-bincang soal Raison D’etre (alasan keberadaan) TVRI sebagai TV Publik.

Silahkan adu pandangan dan berdebat dengan keras. Karena hal ini memang patut untuk diperdebatkan. Dan setelah itu cari titik temu untuk merumuskan brand vision dan brand mission TVRI.

Baru kemudian menyepakati bersama brand positioning yang dipilih. Kalau kesepakatan ini ada, pasti tidak akan terjadi kegaduhan, misalnya soal pilihan program-program apa yang layak tayang di TVRI.

Mau Little House on The Prairie, mau Discovery Channel, mau EFL, mau EPL dan program apapun silahkan dikembalikan ke brand positioning.

Jadi tidak perlu ribut-ribut,rame-rame, pecat-pecatan, komite-komitean dan mbleber ke mana-mana.

Kuncinya adalah program mengacu pada brand positioning.Kalau saja komunikasi antara 5 orang Deuas dan 6 orang Direxi, maaf typo, Dewas dan Direksi bisa berlangsung dinamis dan harmonis, saya yakin 11 orang hebat yang sudah selesai dengan dirinya sendiri ini pasti akan membawa TVRI  bertengger di puncak share dan rating Nielsen bulanan (dan otomatis tahunan).

Bukan rating dan share yang sering dirilis ke medsos, rating dan share yang sesekali tinggi di program tertentu pada hari tertentu.

Sehingga share 0,94 di 2018 dan 1,62di 2019 yang saya dengar (mohon koreksi kalau saya salah) bisa semakin dilipat gandakan. Apalagi logo sudah baru, killer contentprogram telah dibeli, dan qoutes “Leader Has To Be Seen” sudah terwujud.

Wajah sang Leader ada dimana-mana. Dan seharusnya pencapaian share dan rating tersebut jangan sekedar BETI (beda tipis) dibanding dengan pencapaian di periode saat “TVRI berada dalam titik nadir” (menurut Dirut TVRI 2017/22).

Tapi kudu harus teramat sangat jauh lebih tinggi ketimbang share 1,31 di 2014, 1,28di 2015, 1,22 di 2016 dan 0,95 di 2017 yang dicapai dalam senyap, tanpa gonjang ganjing dan mengandalkan potensi internal SDM TVRI.

Rentang waktuDesember 2017 sampai memasuki tahun 2020 memang sangat rame dengan klaim-klaim keberhasilan. Terdengar begitu lantang. Dan gayung bersambut dengan pujian atas pencapaian TVRI dari kelompok publik dan netizen yangberempati pada Direksi 2017/22.

Ada logo baru, ada Liga Inggris, ada bulutangkis, ada Kuis Siapa Berani dan ada Jelajah Kopi. Itu yang sering saya dengar.

Semoga saja yang melontarkan pujian, sejak dulu selalu menonton tayangan TVRI, sehingga betul-betul bisa membandingkan bahwa saat ini TVRI memang sangat berbeda, layarnya jauh lebih kinclong dibanding sebelumnya.

Jadi, bukan hanya sekedar persepsi yang tumbuh karena pengaruh gencarnya semburan klaim-klaim keberhasilan, padahal sebenarnya yang memberi pujian tidak pernah atau jarang sekali nontonTVRI.

Tapi, kalaupuni tu yang terjadi, saya akan tetap memberiapresiasi. Karena setidaknya pujian yang ada merupakan sebuah modal.

Dan ini modal penting untuk melakukan pembenahan yang sesungguhnya dalam menata program, meningkatkan kualitas konten serta tampilan layar, berlandaskan pada raison d’etre TVRI sebagai TV Publik.

Juga jangan sampai modal ini disia-siakandengan tidak mengutamakan membangun kualitas SDM denganmemberi kesempatan pada setiap insan TVRI untuk belajarsertaberkembang menjadi profesional yang andal dan sepenuhnya merasabangga bahwa apa yang ada di layar adalah merupakan hasil kerja mereka.

Tapi di sela-sela klaim yang nyaring terdengar,sayup-sayup terdengar soal studio-studio di TVRI yang sepi dari aktifitas produksi program.

TVRI di periode sebelumnya memang terasa senyap dari pemberitaan. Juga sepi dari pernyataan-pernyataan bombastis. Tapi dari sisi produksi program in-house, suasana TVRI meriah. Semarak. Ternyata tidak senyap-senyap amat.

Ada rame-ramenya juga. Rame-rame di studio-studio, kadang di auditorium, kadang di Taman Buaya. Rame-rame teman-temansatuan kerabat kerja memproduksi program.

Keramean juga terjadi di gedung Pemberitaan, di lantai X tempat filler dan promo diproduksi, di lantai 2 ruang checking dan ruang-ruanglainnya.

SuasanaTVRI rame dengan orang bekerja. Tidak hanya di kantor pusat, tapi juga di stasiun daerah di seluruh Indonesia.

‘Rame-rame’ ini pastinya tidak hanya di jajaran produksi program dan berita, tapi di semua jajaran manajemen dan seluruh SDM di kantor pusat maupun stasiun daerah dalam membenahi seluruhpermasalahan kelembagaan TVRI.

Dan ini berbuah dengan antara lain TVRI lepas dari disclaimer dan meraih opini Wajar Dengan Pengecualian dari BPK RI untuk masa audit2017.

Ini mungkin yang dimaksud dengan pepatah: Sepi ing Medsos, Rame ing Gawe.

Nah. Kalau dukungan dari publikpada TVRI 2017/22 sudah luar biasa dan TVRI sudah terlahir baru dengan suksesnya program rebranding serta layar yang tampil kinclong, mengapa rame-rame, keributan dan kegaduhan harus terjadi?

Inilah alasan mengapa saya bilang Dewas dan Direksi TVRI 2017/22itu norak.

Bagaimana mungkin Dewas dan Direksisebuah lembaga strategis yang dibiayai APBN hanya sibuk mengedepankan ego masing-masing.

Sayang. Semua sudah kadung terjadi. Dewas dan Direksi lebih sibuk adu gengsi. Padahal kalau saja mereka mau ngobrol dengan kepala dingin, tentu tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan.

Cari saja tempat yang enak buat mencairkan kebekuan komunikasi. Tempatyang nyamanbuat menyamakan persepsi.

Tempat yang maknyus buat ngobrol dari hati ke hati. Mengapa tidak disempatkan ngobrol di tempat-tempat adem seperti di café-cafe di Amsterdam, Paris atau di NYC misalnya.

Masing-masing bisa bawa staf kalau kawatir tidak ada yang membuat notulen rapat.

Kenapa tidak? Kan  stasiunTV kelas dunia. Perjalanan dinas ke luar negeri juga sudah biasa dan jadi kebutuhan. Maaf typo: keharusan.

Wajar-wajar saja kalau mau meeting di mana juga. Sekalian jalan. Mumpung sudah kadung keluar anggaran untuk tiket, hotel dan uang saku.

Yang penting menghasilkan sesuatu yang strategis dan tidak perlu ada rame-rame sampai gontok-gontokan. Apalagi kalau yang berseterumalah para pendukung-pendukungnya.

Kalau sampai konflik merambat secara masifke karyawan TVRI, itu sungguh merupakan biaya yang teramat mahal bagi TVRI. Tidak boleh terjadi.

Ini akan menjadi catatan terburuk apabila sampai tersurat dalam sejarah perjalanan TVRI, bahwa pencapaian yang paling diingat dari Dewas dan Direksi2017/22 adalah kegaduhan semata-mata akibat kebuntuan komunikasi.

Itu semua karena tidak adanya kedewasaan dan kematangan bersikap yang seharusnya ada dalam diri para pejabat publik yang menduduki posisi strategis sebuah lembaga yang dibiayai dengan uang negara.

Karakter utama yang harus melekat pada orang-orang yang ditempatkan sebagai penentu kebijakan di tingkat atas adalah harus bisa saling menjalin komunikasi dengan baik. Beritikad mencarititik temu dan mengesampingkan perbedaan untuk mencapai hasil maksimal.

Dewas dan Direksiperiode lalu, yangsecara tidak langsung“dikatain” sebagai Dewas dan Direksi kelas “titik nadir”saja bisa berkomunikasi dengan baik. Sesekali tarik urat wajarlah. Tapi sekali kesepakatan sudah ketok palu, itu mengikat. Harus dilaksanakan.

Ada peraturan dan pembagian wewenang. Apabila peraturan diabaikan, ada pembangkangan birokratif, garis wewenang diingkari, disangkal bahkan dinihilkan, ditambah dengan tidak adanya transparansi dalam setiap kebijakan termasuk kebijakan pengelolaan keuangan, yang terjadi adalah “chaos”.

Dan ini sudah terjadi.

Sungguh miris apa yang terjadi di TVRI saat ini. Reality show gonjang ganjing TVRI ini masih terus berlangsung. Direktur Utama yang diberhentikan kabarnyamembawa kasus inike Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Ada 3 direksi lagi yang diberhentikan, yang kabarnya ada wacana akan ke PTUN juga. Sementara proses seleksi Direktur Utama baru yang sempat terhenti sekarang dilanjutkan.

Kewajiban pembayaran rapel tunjangan kinerja (tukin) yang tidak dianggarkan belum menemukan jalan ke luar yang pasti. Dan tunjangan kinerja tahun berjalan 2020 baru dibayarkan untuk bulan Januari.

Pemberhentian Direktur Utama oleh sebagian orang di kalangan internal dianggap sebagai sebab belum bisa dibayarkannya aneka tukin tersebut sampai saat ini.

Ditambah lagi ada kasus mendadak viral yaitu belum dibayarkannya honor para sportscaster yang menggawangi program Liga Inggris dan program bulutangkis BWF World Tour.

Masih ada lagi simpang siur informasi soal status kewajibanTVRI dalam pembayaran Liga Inggris. Dan entah masalah apa lagi yang akan mencuat dengan berjalannya waktu.

Setiap masalah ini, setidaknya punya dua versi cerita yang berbeda dari masing-masing pihak. Entah versi siapa yang valid.

Ini semakin mengaburkan substansi masalah yang sedang terjadi di TVRI.Rumit. Ribet.

Tinggal sekarang masalahnya mau dibikin mudah atau susah. Kalau mau dibuat mudah dan sederhana bisa. Ada jalannya. Dan terbuka lebar.

Makan bubur panas dari pinggir. First Thing First. Selesaikan masalah satu per satu dengan segera.

Kita sering mendengar bahwa Dewas dan Direksi TVRI 2017/22 adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya.

Cerita-cerita tentang beberapa individu ini bisa kita ikuti di media sosial. Ada yang siap lahir batin berkontribusi untuk TVRI, meninggalkan prospek bisnis pribadinya yang sedang oke-okenya demi mengabdi di TVRI.

Ada yang menghibahkan programTV karya legendarisnya tanpa TVRI perlu bayar royalty. Ada yang sampai mengorbankan harta pribadi demi berjuang di TVRI. Nation Call.

Dan masih banyak cerita lainnya. Mereka adalah orang-orang yang berjiwa besar. Orang-orang pilihan.

Inilah saatnya 11 orang hebat ini berbuat yang lebih besar lagi bagi TVRI, yaitu bertanggung jawab atas gonjang ganjing yang terjadi. It Takes Two To Tango.

Gonjang ganjing ini disebabkan oleh Dewas dan Direksi secara bersama-sama. Saatnya Dewas dan Direksi 2017/22 secara bersama-samapula “menjawab” Panggilan Ibu Pertiwi.

Untuk mengakhiri sampai tuntas gonjang ganjing TVRI (yang bersama dengan RRI adalah lembaga strategis yang sarat dengan nilai-nilai sejarah kepejuangan bangsa Indonesia).

Kau yang memulai, kau yangharusmengakhiri. Dengan baik.B

BBegini langkah-langkahnya. Dewas segera saja bekerja dengan super cepat untuk mengisi kekosongan kursi Direktur Utama TVRI. Juga kekosongan kursi direksi lainnya.

Semakin cepat semakin baik, karena sisa periode berjalantinggal 30 bulan sampai November 2022. Sangat singkat. Masuknya Direksi TVRI PAW  (Pergantian Antar Waktu)2020/22, dengan warisan segudang masalah dan durasi periode yang singkat tentunya hanya bisa berjalan dengan baik dan selamat apabila diisi dengan sosok-sosok yang tepat.

Sosok-sosok yang langsung tune-in, yang tidak sekedar mencari batu loncatan, yang tidak butuh waktu lagi untuk belajar, apabila mau coba-coba bereksperimen macam-macam untuk memenuhi obsesi pribadi semata.

Delapan orang kandidat Direktur Utama PAW yang berasal dari eksternal dan internal TVRI tentunya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi dalam kondisi seperti ini, memilih sosok dari internal TVRI akan sangat mereduksi dan meminimalkan gejolak.

Pro kontra di internal TVRI riaknya pasti lebih kecil ketimbang kalau yang terpilih dari eksternal TVRI. Juga setidaknya Direktur Utama PAW dari internal tidak akan butuh waktu untuk terkejut dan kaget-kagetan karena tidak harus beradaptasi lagi dengan suasana baru.

Tidak semua orang bisa beradaptasi dengan cepat kalau tiba-tiba menjadi pejabat lembaga publik. Hal ini juga berlaku dalam memilih jajaran direksi lainnya.

Setelah jajaran Direksi PAW 2020/22 terpilih dilantik, seluruh Dewas dimohon legowo untuk segera mengajukan surat pengunduran diri ke Presiden RI.

Ini sebagai pertanggungjawaban atas “chaos” yang terjadi akibat ketidakmampuan dalam melaksanakan fungsi pengawasan pada jajaran direksi yang berakibat dengan “gonjang ganjing besar” di TVRI.

Peristiwa ini menjadi preseden buruk sebuah pengelolaan lembaga publik yang dibiayai dengan uang negara.

Menjadi tugas Komisi 1 DPR RI untuk kembali melakukan proses seleksi Dewas PAW TVRI 2020/22.

Jajaran Direksi TVRI yang diberhentikan hendaknya juga bisa legowo untuk tidak melanjutkan kasus ini ke PTUN. Memang ini hak sebagai warga negara. Tapi kalau kasus ini terus berlanjut, pasti akan menjadi kisah sedih yang tak berujung bagi TVRI.

TVRI sudah hadir di bumi Indonesia sejak tahun 1962. Sedang para Direksi ini baru muncul di TVRI pada akhir November 2017. TVRI harus move on.

Setelah Direksi kerap menunjukkan superioritas terhadap Dewas, bahkan pernah tercetus secara terbuka pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi 1 DPR RI, apakah urusan kalah menang ini akan terus diperpanjang episode demi episode?

Sampai kapan ego ini harus terus dimanjakan. Suka tidak suka, tugas Direksi adalah memang melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Dewas.

Sudahlah. Cukup. Direksi, Anda-anda sudah menang. Sudah memenangkan hati publik. Sekarang saatnya. Kalau selama menjabat 11 orang ini tidak bisa bekerja sama demi TVRI, inilah momen untuk menebus kesalahan itu.

Berilah sesuatu yang berharga untuk TVRI. Bersama-sama menyelamatkan TVRI. Penuhi tuntutan publik dan karyawan: SAVE TVRI.

Dengan berbesar hati semua harus sepakat agar gonjang ganjing ini berakhir setuntas-tuntasnya.Kalau sekarang beredar tagar #SAVETVRI, menurut saya iniadalah tagar yang ditujukan ke pada Dewas dan Direksi 2017/22.

Saatnya untuk mundur bersama. “WIN-WIN”. Semua legowo. Tidak ada yang merasa dipermalukan. Tidak ada yang kehilangan muka.

Ini akan menjadi contoh yang baik, bahwa demi kepentingan yang lebih besar, tidak ada pertikaian yang tidak bisa diselesaikan. Dan Dewas serta Direksi TVRI 2017/22akan tetap diakui sebagai orang-orang yang membawa perubahan bagi TVRI.

Hari baru, ekuilibrium baru akan hadir di TVRI. Dan ini yang dinantikan oleh seluruh sumber daya insani TVRI.

Semua penyebab adanya tarik otot dukung mendukung sudah tidak ada. Saatnya untuk rekonsiliasi. Bersatulah semua. Seperti dahulu. Seperti senandung Chaseiro.

Exit mobile version