Site icon Beritaenam.com

Reuni Eks Jawa Pos, Ambyar…

Beritaenam.com — Catatan Pinggir Djono W Oesman.

“Ilmu, ada dua,” kata Ulil Abshar Abdalla. 1, Taklimi. 2, Ilhami. Kemudian dipaparkan dua jenis ilmu itu. Detil. Dilengkapi contoh-contoh.

Ulil Abshar Abdalla.
Djono W Oesman.

—————-

Itulah, antara lain, tausiah Ulil. Di reuni Cowas JP (Konco Lawas Jawa Pos) Jakarta. Di rumah Agus Sudibyo, Jalan Pengayoman, Jakarta Timur, Minggu (26/1/2020).

Reuni jadi ‘bergairah’. Segar. Menyegarkan jiwa puluhan eks (dan masih) wartawan Jawa Pos yang hadir. Wartawan yang dahaga ilmu agama.

Saya hadir. Tapi, saya di sini tidak mengulas Kitab Ihya Ulumuddin. Karya Al Ghazali yang dikaji Ulil itu. Tidak. Karena saya awam agama.

Saya pilih mengamati teman-teman Jawa Pos. Terkait Ulil. Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL). Yang kontroversial.

Ternyata seru.

Saat undangan di Grup WA pun, sudah ramai. Ada yang menyoal: Mengapa Ulil? Mengapa tidak kiai lain?

Ada yang menyatakan, akan hadir setelah jadwal tausiah. Setelah Ulil. Ada yang tegas: Tidak bakal hadir (karena Ulil).

Saya semangat hadir. Penasaran. Siapa tahu, terjadi pertengkaran intelektual. Kalau duel intelektual, semua ilmu bakal keluar. Ambyar… Saya bisa belajar.

Saya tiba lokasi, tausiah belum dimulai. Tepat waktu. Cocok.

Mulai-lah Ulil bicara. Salamnya lengkap, tegas. Suaranya jelas.

“Taklimi… itu teori. Dari kitab, sekolah, guru, berita media massa, media sosial.”

“Ilhami, diraih dengan mujahadah, berkhalwat, dzikir, meditasi.

Orang Jawa menyebutnya ‘Ilmu’ (Taklimi) dan ‘Ngilmu’ (Ilhami). Ilmu kita dapat dari manusia. Ngilmu kita dapat dari Allah, melalui malaikat.

Ilmu adalah teori. Ngilmu implementasi ilmu, diterapkan dalam perilaku kita. Ilmu tanpa ngilmu, hampa dan kosong. Ngilmu, mustahil tanpa dasar ilmu.

Melalui suatu ilmu tertentu, kemudian kita jadi berperilaku arif bijaksana.

Ilmu itu bersifat petunjuk. Ngilmu pancaran kalbu.

Ulil terus nyerocos. Tambah lama tambah panas. Hanya mengulik secuil dari Ihya Ulumuddin. Ngaji Ihya.

Hati saya rasanya adem. Dari panas terik matahari Jakarta. Dari pergulatan dinamika hidup yang selalu rumit.

“Siapa di sini yang pengacara?” tanya Ulil, mendadak.

Hadirin tetap diam. Sepi. Toleh kiri-kanan.

Pikirku: Diamput… Ulil. Hanjrit… Kocrat-kacrit.

Sudah tau, kami wartawan. Pake nanya, pengacara segala.

Ternyata itu masih di dalam topik. Masih fokus.

“Bisa saja, manusia ngilmu keluar dari ilmu. Niat dan perilakunya, tidak selaras dengan ilmu yang dibacanya,” katanya. “Bahkan bertolak belakang.”

Jelasnya, si manusia berbohong. Manipulasi. Ilmu A, perilaku Z.

“Itu sering dilakukan pengacara. Atau penegak hukum,” ujar Ulil.

Pasal-pasal hukum dimanipulir untuk tujuan tertentu. Memanfaatkan celah hukum. Ada niat jahat.

Sampai di sini kajian sudah berkembang. Ke arah tak terduga. Tapi tetap dalam konteks.

Saya mengamati wajah kawan-kawan. Serius. Ngaji beneran.

Di pojok ada kawan lama saya. Mantan wartawan Jawa Pos, tahun masuk 1982. Dia kena kasus hukum, sekitar 2005. Penggugatnya Jawa Pos. Dia dibui dua tahun.

Perasaan saya, wajah paling serius, ya dia. Dahinya mengkerut. Matanya melotot. Lengket menatap Ulil. Menunggu ulasan Ulil selanjutnya:

“Pasal A, bisa dimanfaatkan untuk kepentingan Z. Dengan niat buruk…”

Seketika, senyum tertahan di bibir kawan. Entah, apa arti senyumnya.

Ulil lanjut: “Niat buruk sembunyi dalam hati. Jujur, dia sadari buruk. Tapi, kepada orang, dia katakan berniat baik. Menolong. Berpedoman pada pasal hukum yang nyata.”

Saya lihat, kawan menghela napas. Lalu dihempaskan seketika. Tangannya menepuk paha.

Perhatian saya tidak lagi ke Ulil. Beralih ke kawan. Pikiran saya menerka-nerka. Berontak. Ingin masuk ke pikiran dia. Menyusup.

Sulit. Gelap. Abstrak. Campur-aduk.

Lamat-lamat saya merekayasa suatu bentuk. Pelan-pelan kian nyata. Mengukir deskripsi.

“Bangsat… itulah yang dilakukan Jawa Pos, dulu,” kataku dalam hati.

Ya… itulah kata yang tepat. Itulah alam pikiran yang kumasuki. Buktinya dia menepuk paha. Meneguhkan abstraksi.

Tapi, ah… bisa jadi rekayasaku salah. Belum tentu begitu. Mungkin saja lain.

Bisa saja begini:

“Halah… itu masa lalu. Biarlah berlalu…”

Buktinya, ada senyum di bibirnya. Tanda ikhlas. Dilengkapi hempasan napas. Move on…

Tidak… tidak… tidak… Belum tentu juga begitu. Ada kemungkinan begini:

“Wkwkwkwk… justru Jawa Pos sudah kutipu, brow….”

Buktinya: Senyum dan tepukan paha. Mempertegas ledekan sinis.

Maaf, abstraksi terakhir itu kuralat. Tidak jadi. Kucabut lagi. Tidak logis. Bukankah dia sudah jadi korban?

Gelak tawa hadirin membuyarkan lamunanku. Buyar seketika.

Ternyata, Ulil baru saja menunjuk patung Semar dari kayu. Yang menempel di dinding. Di ruang reuni itu.

“Patung Semar itu simbol. Melambangkan guru. Bermakna mendidik,” katanya.

Topik bergeser ke simbol. Bahwa manusia penuh dengan simbol-simbol. Makhluk simbolik. Dan, ada makna di balik simbol.

“Allah maha simbol. Dia tiupkan ruh ke manusia. Sehingga manusia punya sedikit simbol-simbol yang dimiliki Allah,” tuturnya.

Kali ini saya merasa tersindir. Oleh tausiah Ulil. Sebab, saya baru saja merancang-bangun simbol-simbol. Pada gestur kawan saya.

Tausiah pun diakhiri. Setelah dua jam menyirami kalbu kami.

Saya tidak tahu, mengapa sebagian kawan-kawan bersikap tidak fair terhadap Ulil. Belum dengar tausiahnya, sudah menolak hadir.

Padahal mereka wartawan. Yang mestinya bersikap adil. Berpikiran bebas.

Exit mobile version