Site icon Beritaenam.com

Saya Memang Ndeso…!

Saya bangga jadi wong ndeso. Dilahirkan di desa kecil, Jawa Tengah. Desa yang sangat sulit di jangkau kendaraan, waktu itu. Tidak ada listrik, apalagi mobil. Jalanan tanah becek, kalau ke sekolah harus menyeberang kali besar,

Kalau kebetulan air sungai surut, cukup celana dilepas atau sekedar di cicing celananya. Tapi kalau pas banjir, seluruh pakaian di lepas, peralatan buku, alat tulis diangkat tinggi-tinggi sambil setengah berenang menyeberangi sungai. Begitulah keseharian saya kecil, tinggal di kampung terpencil.

Mobil itu barang langka dan aneh. Kalau mau lihat mobil, saya harus ke hutan berjarak kurang lebih 10 km dari kampung, lalu manjat pohon paling tinggi, pandangan mengarah ke sebuah titik, nun jauh. Akan kelihatan dari kejauhan benda bergerak cepat, satu, dua.

Hidup di kampung itu sederhana. Nggak banyak mikir, mau makan apa tinggal ambil di ladang, petik jagung atau cabut singkong.

Itu bagi yang punya ladang. Kalau saya, waktu itu nggak punya apa-apa. Hidupnya numpang di saudara. Kalau pas enggak ada, ya makan seadanya.

Biar begitu sekolah tetap diusahakan, sebelum berangkat sekolah melepas kerbau dulu ke hutan, pulang sekolah kembali ke hutan untuk menggiring kerbau pulang ke kandang.

Saya kecil tinggal bersama nenek. Malamnya saya ngaji, lanjut belajar di surau dengan penerangan lampu minyak tanah. Tidur pun banyak di surau.

Tidak banyak yang saya ingat masa-masa kebersamaan dengan keluarga. Kami lima bersaudara. Tidak seperti keluarga besar pada umumnya.

Bapak saya meninggal ketika saya umur 6 tahun. Saya benar-benar nggak ingat wajah almarhum. Karena bapak sering merantau ke Jakarta jadi pekerja bangunan. Pulangnya setahun sekali. Di rumah paling hanya seminggu, lalu berangkat lagi.

Yang saya ingat, saya pernah diajak jalan-jalan ke Semarang naik kereta api dari Kedungjati. Jarak rumah dengan Kedungjati kurang lebih 15 km, saya di gendong menyusuri persawahan dan hutan.

Begitu senangnya saya bisa diajak naik kereta, dan cukup hanya di stasiun beli es krim, makan di warung stasiun, lalu balik lagi. Wuih senangnya. Saya nggak tahu umur berapa waktu itu.

Momen kedua ketika dapat kabar bapak saya meninggal. Dibawa dari rumah sakit Grobogan berjarak kurang lebih 20 km.

Malam-malam dipikul secara bergantian. Saya mendengar, jenazah bapak saya di angkut secara estafet setiap melewati kampung.

Sudah berjejer di jalan-jalan untuk menerima jenazah bapak saya. Saya waktu itu belum banyak tahu, sakitnya apa dan sejak kapan dirawat. Saya hanya dapat cerita dari kerabat dekat.

Pun begitu dengan emak, nggak banyak cerita kebersamaan antara saya dan emak, serta adik dan kakak. Karena masing-masing cari makan dan hidup sendiri.

Saya hanya paham ketika emak saya bawa pulang dari Jakarta dalam keadaan sakit tak berdaya.

Saya waktu itu sudah bekerja jadi kuli bangunan, begitu lulus SD. Selesai itu saya kembali merantau ke Jakarta, dapat kabar emak saya meninggal, beberapa hari kemudian.

Saya ini bukan siapa-siapa. Hidup merantau sebatang kara, mencari makan dengan bekerja serabutan menjadi tukang aduk semen.

Lalu ada kesempatan sekolah, itu pun serba kebetulan, ada orang baik mau menerima saya kerja jadi tukang kebun sambil sekolah.

Terima kasih buat keluarga besar Bapak Sunu Wahadi S.H., yang tidak akan saya lupakan jasa baiknya. Semoga beliau diberi umur panjang, dan sehat selalu.

Masa perjuangan dan tempaan hidup, membawa saya seperti sekarang ini. Jalan hidup manusia punya kisah dan liku-likunya.

Saya nggak risih punya sejarah hidup masa lalu yang ndeso. Karena itu adalah takdir Gusti Allah. Sampai pada titik dimana saya sekarang mengelola usaha dan menjadi tumpuan hidup dari sekian banyak orang.

Alhamdulillah, saya syukuri. Mudah-mudahan saya tetap istiqomah. Karena meyakini apa yang ada di dunia ini hanya titipan.

Kita mendapat titipan anak, istri, saudara, karyawan. Bahkan materi, kebahagiaan, juga titipan, yang sewaktu waktu bisa diambil.

Saya merasa bersyukur punya keluarga, punya saudara-saudara yang akur, sahabat yang selalu baik. Dan sohib-sohib Facebook tulus mau menjadi teman, walaupun di dunia maya.

Isya Allah saya akan jaga pertemanan itu dengan perasaan tulus. Yah kalau ada postingan saya yang menyinggung perasaan, mohon dimaafkan.

Terakhir saya mau mengucapkan terima kasih atas ucapan dan doanya.

Saya merintis usaha 2000, dengan nama PT. Media Musik Proaktif. Baru saja me-launching grup band Trio Macan generasi ketiga, yang lebih fresh, di depan publik dengan single lagu baru berjudul Anumu.

Peluncuran single baru Trio Macan berlangsung Jumat (24/7) di Hotel The 101, Darmawangsa Squaer.

Ditandai dengan penampilan terbaru trio macan secara live dan disiarkan langsung di channel Musik Proaktif.

Sosok cantik dan enerjik, itu bernama Nanda (18), Vita (17) dan Elok (19). Mereka diseleksi lewat ajang pencarian bakat di platfom digital.

Dari ribuan pendaftar terpilih mereka bertiga masing masing berasal dari Banyuwangi, Kediri dan Bandung.

Hampir tiga bulan mereka mempersiapkan  diri, dengan karantina. Selama di karantina, mereka mendapatkan gemblengan dari segi tehnik vocal, koreo hingga kepribadian.

Secara pribadi, saya juga akan terus memberikan inspirasi dan menyebarkan ‘virus’ kewirausahaan.

Bersedekah ilmu, berbagi pengalaman. Hidup ini harus bermanfaat buat orang lain. Kata ustadz saya: “Barangsiapa yg mempermudah kesulitan orang lain, maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat’.

Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat untuk sesama…

Salam dari Wong Ndeso!

#nasihatdirisendiri #barakallah #klikagi

Exit mobile version