Site icon Beritaenam.com

The Best Practices Penanggulangan Narkotika Di Dunia, Bagaimana di Indonesia?

Dr Anang Iskandar (dosen & aktivis)

Beritaenam.com —  Pada masa lalu, sejak konvensi tunggal narkotika 1961 diberlakukan, Amerika sebagai fihak yang menginisiasi konvensi tersebut, mengajak dunia untuk menanggulangi narkotika dengan strategi memenjarakan siapa saja yang terlibat narkotika.

Penanggulangan narkotika dilaksanakan dengan strategi memenjarakan siapa saja yang terlibat narkotika dengan tujuan mendapatkan efek jera.

Proses penanggulangan berjalan sukses namun muncul permasalahan yang tidak diduga sebelumnya yaitu anomali narapidana narkotika, dan masalah kesehatan

Penjara dipenuhi oleh penjahat narkotika baik pengedar, penyalah guna, pecandu.

Masalah kesehatan yang muncul adalah penyalah guna relap selama dipenjara, menjadi residivisme setelah keluar dari penjara. Trend penyalahgunaan narkotika meningkat sehingga peredarannya tidak terbendung.

Selama 10 tahun AS menggunakan strategi “memenjarakan penyalah guna narkotika” ternyata dinilai gagal.

Kegagalan bukan karena hasil kwantitatif penegakan hukumnya, tetapi secara kwalitas penegakan hukumnya menghasilkan residivisme penyalah guna narkotika dan

Penegakan hukumnya juga menghasilkan generasi tidak sehat yang dikenal sebagai generasi hipies yang disebut sebut menyebabkan lost generation

Atas dasar kegagalan Amerika dalam melawan narkotika dengan memenjarakan penyalah guna, maka konvensi tunggal narkotika diamandemen dengan protokol 1971 dimana “sanksi penjara tidak dipakai lagi” dan sebagai gantinya diberikan alternatif sanksi berupa rehabilitasi.

Sejak saat itu politik hukum di dunia ini menanggalkan sanksi penjara bagi penyalahguna dan diberikan alternatif sanksi berupa rehabilitasi sesuai yuridiksi masing masing negara.

Pengalaman negara negara di dunia.

Di Uni Eropa.

Larangan menggunakan narkotika masuk dalam hukum administrasi, sehingga tidak ada satu negarapun yang tergabung dalam Uni Eropa yang menghukum penyalah guna atau pecandu dengan hukuman penjara.

Karena masuk dalam yuridiksi hukum administrasi maka kepemilikan narkotika untuk diri sendiri diancam dengan hukuman administrasi.

Tetapi dalam proses penegakan hukum, sanksi yang diberikan kepada penyalah guna maupun pecandu bukan sanksi hukum administrasi melainkan, keluar dari sanksi hukum administrasi sebagai gantinya menggunakan sanksi rehabilitas melalui perintah hakim.

Sedangkan pengedar narkotikanya, diancam secara pidana dan diberikan sanksi berupa sanksi pidana

Penjara hanya diperuntukan bagi para pengedar, penyalah guna atau pecandunya sebagi penderita sakit ketergantungan narkotika, dikontrol agar jumlahnya menurun dan disembuhkan.

Penyalah guna disembuhkan sehingga tidak membutuhkan narkotika lagi, strategi ini yang bisa membuat pengedar narkotika bankrut karena tidak laku atau beralih profesi, sehingga penjara dikawasan eropa banyak yang ditutup.

Di Amerika Serikat dewasa ini.

Pada awal berlakunya konvensi tunggal narkotika Amerika melarang penyalahgunaan dan peredaran narkotika secara pidana dan menghukum pengedar,  penyalah guna dan pecandu dengan hukuman pidana penjara.

Namun setelah konvensi tunggal narkotika 1961 diamandemen dengan protokol 1971 maka Amerika berubah menjadi menghukum rehabilitasi kepada penyalah guna dan pecandu seiring dengan dibentuknya drug courd di masing masing negara bagian.

Drug courd ini tugasnya untuk menjamin penyalah guna dan pecandu direhabilitasi.

Drug courd juga diberi tugas untuk menganulir keputusan pengadilan konvensional yang memutuskan hukuman penjara, kemudian diganti dengan hukuman rehabilitasi.

Setelah drug courd berjalan, Amerika tidak lagi menghukum penjara terhadap penyalah guna dan pecandu.

Di Kawasan Asean, 

Secara yuridis penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dilarang secara pidana dan diberikan alternatif hukuman berupa rehabilitasi.

Tetapi dalam praktek penegakan hukumnya, penyalah guna dijatuhi hukuman penjara.

Karena dijatuhi hukuman penjara menyebabkan penjara di Asean rata rata over capacity.

Karena penyalah guna dipenjara, dan tidak mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi maka perkembangan jumlah penyalah guna dan peredaran gelap narkotikanya menjadi tumbuh subur, diikuti banyaknya permintaan dan pasokan narkotika.

Di Malaysia.

Penjara di Malaysia juga mengalami over capacity dan berbagai masalah akibat penyalah guna dipenjara.

Pemerintah malaysia melalui Menteri Kesehatannya mengusulkan penghapusan hukuman pidana atas kepemilikan dan penggunaan narkotika dan obat obatan terlarang dalam jumlah kecil.

Pemerintah Malaysia “akan” memperlakukan seorang pecandu sebagai pasien bukan penjahat, dimana sifat kecanduannya adalah penyakit yang harus disembuhkan.

Di Thailand.

Penjaranya di Thailand juga mengalami nasip yang sama dengan tetangganya, akibat menghukum penjara terhadap penyalah guna dan pecandu,

Namun Thailand sadar bahwa rehabilitasi adalah solusi bagi penyakit kecanduan narkotika yang diderita penyalah guna maka Thailand menyiapkan banyak rumah sakit dan  membuka layanan rehabilitasi narkotika dengan program wajib lapor pecandu dengan serius.

 

Bagaimana di Indonesia?

Penegakan hukum masalah narkotika dewasa ini di indonesia “mirip” apa yang dilakukan Amerika masa lalu.

Penyalahguna ditangkap, dilakukan penahanan oleh penyidik dan jaksa penuntut dijerat sebagai pengedar dan hakim menjatuhkan hukuman penjara.

Sehingga penjara penuh. Makin aktif penyidik menangkap penyalah guna dan hakim menjatuhkan hukuman penjara, Lapas makin tinggi angka over kapasitas-nya, .

Kenapa AS pada masa lalu menghukum penjara penyalah guna narkotika ? Karena  “hukuman rehabilitasi” pada masa itu belum dikenal sebagai bentuk hukuman pidana alternatif.

Sedangkan di Indonesia sekarang ini, memiliki UU narkotika yang jelas tujuannya yaitu menjamin penyalah guna direhabilitasi (pasal 4d), hukuman rehabilitasi ada dan diatur dalam UU narkotika (103/2), kewenangan menjatuhkan hukuman rehabilitasi ada ditangan hakim dan bersifat wajib (pasal 103/1).

Tetapi implementasi penegakan hukum tidak sesuai dengan UU narkotikanya, penyalah guna dijerat sebagai pengedar dan  kewenangan hakim untuk menghukum rehabilitasi tidak digunakan dan

Kewenangan hakim untuk menghukum rehabilitasi, ditafsirkan hakim sendiri sebagai kewenangan yang bersifat fakultatif.

Hakim menggunakan dasar KUHAP untuk memenuhi apa yang didakwakan jaksa penuntut dalam menjerat  penyalah guna sebagai pengedar.

Padahal, UU narkotika mengatur secara khusus tentang sanksi rehabilitasi dan kewenangan hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Nah, itu yang menyebabkan penyalahguna dijatuhi hukuman penjara.

Penafsiran hakim tersebut diatas bertentangan dengan tujuan, batang tubuh UU narkotika beserta peraturan pelaksanaannya berupa, Peraturan Pemerintah no 25/2011, Peraturan Bersama tahun 2014 dan Surat Edaran MA no 4/2010 sendiri.

Sebab kewenangan hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi adalah politik hukum negara dan  merupakan kewenangan khusus, final dan mutlak untuk membumikan tujuan UU yaitu menjamin penyalahguna direhabilitasi.

*Penulis adalah Komisaris Jenderal Polisi. Aktivis anti narkoba, mantan perwira tinggi Polri. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Akademi Kepolisian 82, berpengalaman dalam bidang reserse.  Penulis beberapa buku.

Exit mobile version