Site icon Beritaenam.com

UU Cipta Kerja Harus Dilihat secara Holistis

Sejumlah mahasiswa melakukan demonstrasi di Tugu Adipura, Kota Tangerang, Banten, Rabu, 7 Oktober 2020. Aksi tersebut sebagai penolakan atas pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia

RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja resmi disetujui DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang Cipta Kerja, Senin (5/10). Hal ini pun mengundang pro dan kontra di masyarakat.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menyampaikan UU Cipta Kerja harus dilihat secara holistis dan luas. Menurutnya, jangan sampai masyarakat hanya mengukur sepenggal dari sisi tenaga kerja ataupun pesangon.

“UU Cipta Kerja ini menyangkut ekosistem investasi, perlindungan pemberdayaan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan koperasi, ketenagakerjaan, riset dan inovasi, kemudahan berusaha, dan sebagainya, termasuk juga sektor pos telekomunikasi dan penyiaran,” ungkap Johnny dalam acara Prime Talk Metro TV, Selasa (6/10) malam.

Menkominfo menyebutkan UU Cipta Kerja jadi tonggak sejarah baru hukum Indonesia. Pertama kali, sebuah undang-undang komperehensif lahir untuk mereformasi, sinkronisasi dan mengubah tidak kurang 76 undang-undang eksisting.

Di sisi lain, UU itu bertujuan menciptakan lapangan pekerjaan dan investasi di Indonesia, baik investasi dalam negeri maupun investasi asing berupa foreign direct investment (FDI). Terkait FDI, kata Menkominfo, situasi pandemi Covid-19 membuat berbagai negara berlomba mendapatkan investasi mengalir ke negaranya.

“Jadi jangan sampai ruang publik kita diisi dengan disinformasi yang mengakibatkan kepercayaan terhadap usaha untuk membangun iklim investasi melalui UU Cipta Kerja justru mengkampanyekan kepentingan negara pesaing kita untuk menjadi negara tujuan investasi,” jelasnya.

Selain itu, UU Cipta Kerja mencakup masalah pos telekomunikasi dan penyiaran. Di sektor ini, UU Cipta Kerja mengubah dan menambah beberapa ketentuan pada tiga undang-undang yaitu, UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan UU No 38 Tahun 2009 tentang Pos.

Menkominfo menyebutkan ada 3 hal fundamental yang bakal memengaruhi Indonesia di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Pertama, UU Cipta Kerja telah menembus kebuntuan regulasi pada bidang penyiaran yang belasan tahun tidak terealisasi. Antara lain, dengan terealisasinya dasar hukum migrasi penyiaran TV analog ke digital dan kepastian tenggat waktu analog switch off (ASO).

Kedua, pembahasan dan pemikiran terkait migrasi TV analog ini telah berlangsung sejak 2004. Pembentukan Tim Nasional Migrasi TV Digital dan standar Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVBT) juga dilakukan pada 2007, tapi upaya itu terus kandas karena gagalnya kehadiran legislasi berupa Undang-Undang di bidang penyiaran.

Ketiga, UU Cipta Kerja memberikan dasar hukum guna mendukung percepatan transformasi digital dan mencegah inefisiensi pemanfaatan sumber daya terbatas seperti spektrum frekuensi beserta infrastruktur pasifnya.

“Saat ini dengan menggunakan sistem analog seluruh kapasitas frekuensi 700 MHz dan sejumlah 328 MHz digunakan untuk siaran TV. Dengan ASO akan ada penghematan (digital dividend) 112 MHz yang dapat digunakan untuk kepentingan transformasi digital,” jelas Johnny.

Selain itu, pemanfaatan frekuensi 700 MHz untuk mobile broadband akan bermanfaat bagi ekonomi Indonesia. “Di antaranya berupa penambahan kenaikan PDB, lapangan kerja baru, peluang usaha baru, dan penambahan penerimaan negara bukan pajak,” tutup Johnny.

Langkah terobosan

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan UU Cipta Kerja menjawab persoalan investasi di Indonesia. Menurutnya, ada tiga persoalan besar investasi di Indonesia. Pertama, adanya arogansi birokrasi yang besar seperti tarik-menarik kepentingan antarkementerian dengan lembaga. Kedua, tumpang-tindihnya aturan antara kabupaten/kota dan provinsi, dan ketiga, persoalan lahan yang bermasalah.

Kondisi ini, membuat Indonesia tidak sekompetitif Vietnam, Thailand, dan Singapura. Karena itu, untuk bisa bersaing, harus ada langkah terobosan yang masif dan terukur. “Kalau ini bisa kita lakukan dengan baik, bukan tak mungkin Indonesia akan jadi negara kuat untuk menarik FDI dan investasi dalam negeri. Yang semuanya ini akan bermuara pada penciptaan lapangan pekerjaan,” katanya pada kesempatan yang sama.

“Harus diingat kini ada sekitar hampir 17 juta yang ingin mendapatkan lapangan pekerjaan. Caranya tidak mungkin 17 juta itu kita berharap kepada pemerintah untuk penerimaan PNS, BUMN, atau TNI-Polri. Solusinya ialah bagaimana kita mendorong masuknya investasi,” imbuhnya.

Untuk itu, kata Bahlil, UU Cipta Kerja merupakan langkah menuju perbaikan dalam menata sistem birokrasi dan izin usaha sehingga dapat menarik dan memudahkan para investor. (

Exit mobile version