Site icon Beritaenam.com

UU Narkotika: “Penegak Hukum Yang Membuat Proses Penegakan Hukumnya Rumit”

#

Dunia hukum sebenarnya mengalami degradasi moral disebabkan masalah simpel yang dibuat rumit.

Masalah penyalahgunaan narkotika adalah, masalah kriminal paling simpel dimana pelakunya orang sakit kecanduan narkotika, mengakui perbuatannya, kepemilikan narkotikanya jelas, pembuktiannya juga mudah.

Untuk menanggulanginya,  ya juga simpel yaitu memenuhi wajib lapor agar mendapatkan perawatan melalui rehabilitasi.

Kalau tidak memenuhi wajib lapor, tinggal ditangkap ditempatkan dilembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaan dan dibawa kepengadilan diberi sanksi pidana rehabilitasi.

Artinya, meskipun pengguna/penyalah guna narkotika merupakan perbuatan melawan hukum, dengan diancam pidana.

Namun, pelakunya dijamin mendapatkan rehabilitasi karena penyalah guna itu orang sakit kecanduan narkotika kalau dipenjara sakit kecanduannya berubah menjadi sakau kalau tidak mendapat asupan narkotika.

Hakim diberi kewenangan extra berdasarkan pasal 103  “dapat” menghukum rehabilitasi karena tujuan UU narkotika menjamin penyalah guna direhabilitasi (pasal 4d).

Secara tehnis untuk menentukan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus dengan sungguh mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan terdakwa. Sehingga, wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi (SE MA no 4 /2010 angka 4).

Prakteknya, kenapa penegak hukum mulai dari penyidik, penuntut umum, dan hakim malah membuat rumit?

Mengapa,  penanganan perkara penyalahgunaan narkotika dengan langkah berbelit belit yang tujuannya memenjarakan mereka?

Saya tidak tahu pertimbangannya.

Tetapi, setelah 10 tahun berlakunya UU narkotika, dengan langkah memenjarakan penyalah guna, dampaknya mulai terasa sekarang ini, dimana pemerintah mencari jalan keluar agar penyalah guna tidak dipenjara.

Penyalahguna dipenjara, akhirnya menimbulkan masalah lain yang sulit diatasi seperti masalah lapas over kapasitas, masalah pesta narkotika dalam penjara, masalah peredaran narkotika yang dikendalikan dari penjara dan masalah keterlibatan petugas lapas yang sulit dihindari.

Dalam pertemuan rabu (29/1) dalam rangka menerima kunjungan delegasi Global Commission on drug Policy, Menteri Hukum dan HAM membuka peluang penyalah guna tidak dipenjara, dengan alasan lapas penuh.

Sejatinya tujuan UU sudah jelas, yaitu menjamin penyalah guna direhabilitasi, pengedarnya yang harus diberantas, penegak hukum sendiri yang membuat rumit dengan cara menafsirkan UU narkotika tidak sesuai atau menyimpang dari tujuan UU narkotikanya.

Bagaimana tidak?  Tujuan UU menjamin penyalah guna direhabilitasi implementasinya ditahan dipenjarakan.

Kewenangan Hakim dalam pasal 103 “dapat” menghukum rehabilitasi bersifat wajib ditafsirkan bisa dapat bisa tidak tergantung keyakinan hakim seperti pidana umum..

Dimana secara substansial UU sudah mengatur bahwa penyalah guna diproses secara rehabilitatif, ditempatkan di Lembaga rehabilitasi dan sanksi pidananya berupa sanksi pidana rehabilitasi.

Penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaan (lihat pasal 13 PP no 25/2011).

Hakim diberi kewenangan extra  “dapat” menghukum rehabilitasi meskipun terdakwanya terbukti bersalah dan “dapat” mengambil tindakan untuk memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi bila terdakwa tidak terbukti bersalah (read: pasal 103)

Artinya penyalahguna narkotika dalam proses peradilan, terbukti bersalah ataupun tidak terbukti bersalah “wajib” menjalani rehabilitasi.

Kalau Menteri Kumham membuka peluang pengguna/penyalah guna tidak dipenjara, menurut saya ini permintaan kepada penyidik, penuntut umum dan secara khusus kepada hakim agar tidak memenjarakan penyalah guna narkotika tetapi menghukum rehabilitasi.

Arti Pentingnya Rehabilitasi Berdasarkan UU Narkotika.

Pengertian rehabilitasi penyalah guna adalah proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan penyalah guna/pecandu dari ketergantungan narkotika dan pemulihan baik fisik, mental maupun sosial agar dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehihupan masarakat.

Rehabilitasi merupakan kewajiban hukum bagi pecandu (penyalahguna dalam keadaan ketergantungan narkotika).

Dan, orang tua atau wali untuk melaporkan kepada IPWL guna mendapatkan perawatan agar sembuh dan bebas tidak menggunakan narkotika.

Rehabilitasi juga merupakan jenis hukuman dan jenis tindakan hakim bila hakim memeriksa atau mengadili perkara penyalahgunaan narkotika.

Rehabilitasi sebagai jenis hukuman statusnya sebagai hukuman pokok (pasal 103/2) dimana masa menjalani rehabilitasi  diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Kalau pasal 103/2 yang menyatakan masa menjalani rehabilitasi diperhitung sebagai masa menjalani hukuman dan tujuan UU menjamin penyalah guna direhabilitasi (pasal 4c) serta penegak hukum diberi kewenangan menempatkan kedalam lembaga rehabilitasi (pasal 13 PP 25/2010).

Masalahnya! Kenapa penegak hukum ngotot menahan penyalah guna penyalah guna dari pada merehabilitasinya.

Dan hakim sebagai benteng keadilan justru menjatuhkan hukuman penjara terhadap penyalah guna narkotika.

Dampak ikutan dari keputusan hakim memenjarakan penyalah guna adalah sama dengan pemerintah memproduksi generasi residivis, seperti Ibra yang sudah 4 kali keluar masuk penjara, Jenniver Dunn juga sudah 3 kali keluar masuk penjara dan ribuan residivis yang masih mendekam dalam penjara maupun yang telah selesai menjalani hukumannya.

 

buku ini sudah bisa dibeli di toko buku Gramedia di kota Anda
Exit mobile version