Site icon Beritaenam.com

WHO Desak Indonesia Tetapkan Status Darurat Nasional Covid-19, Di Saat Indonesia Sudah Darurat Narkoba Duluan

Beritaenam.com — Badan Kesehatan Dunia WHO mengingatkan komitmen pemerintah Indonesia untuk berfokus dalam menangani penyebaran wabah Covid-19 atau Corona.

Organisasi di bawah PBB, yang berpusat di Jenewa juga meminta Indonesia meningkatkan tanggap darurat, menyatakan status darurat nasional Covid-19.

Sejatinya, “kampanye kesehatan masyarakat” di Indonesia sudah dilakukan. Pemerintah, sejauh ini sudah menyatakan “wabah narkoba” dan kita sudah masuk menjadi negara darurat. Tapi, ini untuk Narkoba.

Proses peradilan tidak fair, kalau penyalah guna narkotika tidak diassesmen.

Penyalah guna narkotika sejatinya adalah korban kejahatan narkotika, korban kejahatan tersebut oleh UU narkotika dinyatakan sebagai pelaku kejahatan.

Dalam situasi “darurat narkoba” penyalahgunaan narkotika yang berpotensi sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaan, jika selama proses peradilan tidak dilakukan assesmen maka proses peradilannya menjadi tidak fair.

Ketidak-fair-an proses peradilan perkara penyalahgunaan narkotika menyebabkan penyalah guna mendapatkan perlakuan yang tidak rasional dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku

Diperlakuan tidak rasional, karena sebagai pelaku dalam keadaan sakit adiksi ketergantungan narkotika tidak disembuhkan atau rehabilitasi kok malah ditahan dan dipenjara.

Hal tersebut bertentangan dengan tujuan UU narkotika yang menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi.

Dimana letak tidak fair-nya ?

Pada dasarnya kejahatan penyalahgunaan narkotika adalah kejahatan yang dilakukan oleh pelaku/ penyalah guna yang potensial sakit adiksi ketergantungan narkotika, tidak fair kalau tidak dilakukan assesmen.

Agar penyalah guna yang potensial sakit adiksi ketergantungan tersebut, menjadi penyalah guna yang nyata taraf kecanduannya, maka wajib dilakukan assesmen

Bahwa assesmen adalah proses untuk mengetahui seberapa parah sakit ketergantungan narkotika dan ganguan mental kejiwaan yang diderita oleh pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika.

Hasil assesmen memberi gambaran kepada hakim dan para penegak hukum lainnya tentang taraf ketergantungan pelaku dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk melakukan rehabilitasi serta berapa lama hukuman rehabilitasi yang tepat yang akan dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tersebut.

Proses assesmen menjadi penting karena politik hukum negara yang termaktup dalam tujuan UU narkotika adalah menjamin penyalah guna  mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 4) terhadap penyalah guna yang ditangkap oleh aparat penyidik.

Penyalah guna setelah diassesmen menjadi penyalah guna dengan sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental kejiwaan secara yuridis disebut pecandu. Pecandu tersebut berdasarkan pasal 54 wajib menjalani rehabilitasi.

Nah, itulah sebabnya kenapa proses assesmen / visum et repertum oleh dokter ahli yang ditunjuk menjadi penting dalam proses penegakan hukum perkara penyalahgunaan narkotika.

Meminta dilakukan assesmen menjadi tugas, wewenang dan kewajiban penyidik, penuntut umum dan hakim (peraturan Pemerintah no 25/2011 pasal 13 dan Peraturan Bersama 2014) dalam melaksanakan penegakan hukum.

Nyatanya proses assesmen ini yang tidak dilakukan penyidik, penuntut umum dan hakim secara berjenjang pada semua tingkatan pemeriksaan, meskipun berdasarkan fakta bahwa tersangka atau terdakwa hanya berperan sebagai penyalah guna saja.

Kenapa penyalah guna yang ditangkap wajib dimintakan assesmen ? 

Karena disamping tuntutan aturan perundang undangan, penegak hukum tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui kondisi sakit adiksi ketergantungan narkotika yang sedang disidik, dituntut dan diadili.

Tanpa hasil assesmen (keterangan ahli) maka  penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim akan memperlakukan penyalah guna sebagai pelanggar hukum, seakan akan sebagai pelaku turut serta atau membantu pengedar.

Kok begitu ?

Faktanya begitu, penyalah guna diancam dengan pidana berlapis, dengan ancaman pidana minimum 4 tahun dan hakim akan mengalami kesulitan dalam menentukan berapa lama hukuman rehabilitasi akan dijatuhkan.

Meskipun hakim diberi kewajiban untuk mengetahui kondisi sakit ketergantungan yang diderita penyalah guna melalui proses assesmen dan hakim diberi kewenangan oleh UU narkotika dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi secara mutlak (pasal 103)

Apa akibatnya dari tidak fairnya proses peradilan tersebut ?

Akibat dari tidak fairnya proses peradilan, terjadi  distorsi dalam praktek peradilan, dimana penyalah guna diadili tanpa keterangan ahli yang menyatakan bahwa terdakwa penyalah guna adalah pecandu dengan taraf tertentu. Ini yang menyebabkan penyalah guna diperlakukan sebagai pengedar.

Dengan demikian perkara penyalah guna narkotika oleh penegak hukum diposisikan pada track peradilan pidana umum padahal berdasarkan ketentuan UU narkotika seharusnya mengikuti track peradilan pidana rehabilitasi.

Selama ini faktanya proses peradilan perkara penyalahgunaan narkotika mengikuti track peradilan pidana umum berakibat penyalah guna ditahan dan dijatuhi hukuman penjara.

Model peradilan dengan memperlakukan penyalah guna seakan akan sebagai pengedar, ditahan dan dihukum penjara tersebut bertentangan dengan politika hukum negara, tujuan dan batang tubuh UU narkotika.

Model tersebut merugikan penyalah guna sendiri,  merugikan keluarga penyalah guna, merugikan masarakat bangsa dan negara.

Penyalah guna rugi karena menjadi residivis dan kehilangan masa depannya akibat dipenjara, keluarga rugi secara moriil dan materiil.

Sedangkan negara juga rugi karena lapas over kapasitas dengan segala permasalahannya dan terjadinya residivisme penyalah guna narkotika.

Yang diuntungkan hanya para pengedar dan oknum penegak hukum yang tidak comitmen dengan tujuan dan batang tubuh  UU narkotika

Padahal UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mengatur bahwa perkara penyalahgunaan narkotika  mengikuti track peradilan rehabilitasi, penyalah guna tidak memenuhi syarat ditahan selama proses peradilan (prakteknya ditahan).

Dijamin UU narkotika untuk ditempatkan pada lembaga rehabilitasi selama proses peradilannya (prakteknya ditahan).

UU narkotika juga mengatur bahwa penyalah guna tidak dijatuhi hukuman penjara tetapi dihukum menjalani rehabilitasi (prakteknya dipenjara).

Tempat menjalani hukuman rehabilitasi ditentukan tidak dilapas, tetapi di rumah sakit atau tempat rehabilitasi yang ditunjuk Menteri Kesehatan (prakteknya tidak berfungsi).

Itu sebabnya proses penanggulangan perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, saya katakan njomplang, tidak balance karena baik penyalah guna maupun pengedarnya dihukum penjara, padahal UU narkotika mensyaratkan harus balance dalam menanggulangi penyalah guna dan pengedar.

Penyalah guna dihukum rehabilitasi agar sembuh, tidak menjadi residivis, pengedarnya dihukum penjara berat agar jera alias biar kapok.

Exit mobile version