Beritaenam.com – Hari minggu (18/2/2018), saya sempatkan waktu untuk mencari pasangan suami istri yang sudah hampir 40 tahun nggak ketemu. Alhamdulillah berkat informasi seseorang, akhirnya ketemu juga.
Lek (om) Senen dan istrinya, teh Etty, sosok yang saya cari itu.
Tiba di sebuah dusun, saya disambut dengan sejumlah tanda tanya. Awalnya nggak kenal siapa. Tapi setelah saya jelaskan, memorinya menerawang 40 tahun yang lalu, dalam sebuah kenangan tinggal bersama. Kami pun terlibat dalam obrolan nostalgia. Lik Senen masih setengah nggak percaya.
“Lha, jenengan nopo Gianto niko? (lha apa kamu Gianto yang dulu itu?), lek Senen setengah nggak percaya.
“Nggih, kulo niki… (Ya, saya ini…)” jawab saya.
Teh Etty hanya memandang, menitikkan air mata. Ia teringat sosok bocah kecil yang sudah dia anggap anak, sekian tahun kalu, tiba-tiba muncul di hadapannya. Sudah tua, nyaris kehilangan memori masa lalu.
Tinggal di sebuah kampung pinggir sawah, di desa Sadang Cilamaya, Cikampek. Sebenarnya sudah lama saya pingin ketemu, tapi informasi selalu datang simpang siur. Baru sekarang kesempatan itu datang.
Lik Senen, begitulah saya bisa panggil, adalah sosok laki-laki yang saya kenal 40 tahun lalu, dalam sebuah perjuangan hidup di Jakarta. Umur saya 13 tahun. Saya merantau ke Jakarta sebagai kuli bangunan, kala itu, bekerja sebagai buruh bangunan di proyek kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Saya masih kecil, ketika harus berjuang hidup sendirian di kota Metropolitan. Beruntumg ketemu pasangan suami istri lek Senen – Teh Etty yang waktu itu sudah lebih dulu bekerja di tempat itu. Lik senen sebagai pekerja senior, istrinya nyambi jualan makanan di proyek.
Saya ditampung sementara di sebuah bedeng, tempat suami iatri ini tinggal. Berukuran kecil sepetak yg hanya cukup buat tidur dan berteduh. Waktu itu mereka belum punya anak. Tambah penghuni satu, yaitu saya, makanya dibuatlah skat buat tidur saya, yaitu di atas tempat tidur Lek Senen dan istrinya.
Lek senen juga yang memperjuangan saya supaya bisa kerja di proyek, biarpun secara umur belum memenuhi syarat. Masih terlalu kecil. Tapi saya berjuang untuk kerja sesuai standar yang ditetapkan mandor proyek. Pekerjaan saya adalah ngangkut bata, ngaduk semen, menjadi pelayan tukang. Bekerja dari pagi sampai sore hari.
Saya hidup sebatang kara di Jakarta, waktu itu. Makanya kebaikan Lek Senen dan istrinya, sudah saya anggap seperti orang tua.
Masih ingat, ketika mendapat kabar duka dari kampung, emak saya meninggal, Teh Etty memberi kabar itu, sambil nangis memeluk saya. Dia sibuk mengemas pakaian dan barang-barang bawaan saya.
Malam-malam saya diantar ke terminal Pulo Gadung, sambil terus menangis dan menggandeng tangan saya. Sesekali dia memberi sepirit untuk tabah menghadapi musibah. Saya pulang ke kampung diantar sampai naik bus.
Pertemuan siang hingga sore, di sebuah kampung di pinggir sawah, membawa kenangan dan keharuan. Minimal telah mengobati kegamangan rasa. Bersyukur saya dipertemukan satu dari banyak sosok yang pernah hadir dan menyaksikan sebuah jejak langkah seorang gembala kerbau.
Kami bukan pertalian darah. Tapi kami pernah tinggal seatap, merasakan kasih dan sepenanggungan. Saya bersyukur dipertemukan kembali sosok bersahaja, yang pernah mengusap rasa setulus kasih. Biar kondisi sudah beda. Tapi silaturahim tetap terjaga. Saya doakan Lek Senen dan Teh Etty, selalu sehat dan panjang umur…