SP3 untuk Sjamsul Nursalim
Pernyataan Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean menjadi menarik.
Penghentian penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim baru diterima setelah diterbitkan SP3.
Ramai diberitakan, Pimpinan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk kasus korupsi penerbitan surat surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap obligor Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Sjamsul Nursalim merupakan pengendali BDNI.
Tumpak menyebut akan mempelajari terlebih dahulu laporan dari pimpinan KPK.
Surat perintah penghentian penyidikan (SP3) perkara penerbitan SKL BLBI terhadap BDNI berdasarkan putusan kasasi yang dijatuhkan Mahkamah Agung (MA.
Putusan MA atas kasasi Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019 dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung menyatakan bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana, dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
Dalam dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK disebutkan jika Syafruddin melakukan perbuatan tersebut bersama-sama dengan Sjamsul dan Itjih. Perkara yang menjerat Syafruddin ini merupakan acuan KPK menjerat Sjamsul dan Ijtih.
Lantaran Syafruddin divonis lepas oleh MA, dengan demikian unsur penyelenggara negara dalam perkara BLBI yang ditangani KPK sudah tidak ada. Sjamsul dan Itjih merupakan pihak swasta.
“KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi,” kata Alex.
Syafruddin diketahi divonis 13 tahun oleh Pengadilan Tipiikor, Jakarta Pusat. Putusan itu dibacakan pada 24 September 2018.
Ada periode, Syafruddin tidak puas atas putusan Pengadilan Tipikor dan mengajukan banding. Tetapi hukuman Syafruddin diperberat menjadi 15 tahun pidana penjara dan denda Rp 1 miliar.
Hukumannya ditambah, Syafruddin mengajukan upaya hukum kasasi. Vonis MA atas kasasi Syafruddin menggurkan putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Syafruddin divonis lepas dari segala tuntutan hukum.
Alex mengakui, KPK sempat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Syafruddin, namun ditolak.
Menurutnya, KPK tidak mempunyai upaya hukum lain untuk menindaklanjuti perkara BLBI. Sehingga meminta pendapat dari ahli, sebagai upaya menindaklanjuti perkara BLBI.
“Keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK,” kata Alex.
Alex menyebut bahwa penghentian penyidikan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK.
Menurutnya sebagai bagian dari penegak hukum, maka dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku.
“Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK, yaitu “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas Kepastian Hukum,” kata Alex.
Arsyad sebelumnya dinyatakan bersalah dalam Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam kasus SKL BLBI kepada BDNI.
Kala itu ia dinilai terbukti merugikan negara sekitar Rp4,58 triliun sebelum dilepaskan Mahkamah Agung.
Masih dalam rangkaian, Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurut Menko Polhukam Mahfud MD total aset BLBI yang dapat dikembalikan ke negara mencapai Rp110 triliun. Aset tersebut antara lain berupa jaminan deposito, sertifikat tanah, dan sertifikat barang.
“Saya baru saja memanggil Dirjen Kekayaan Negara dan Jamdatun dari Kejaksaan Agung, tadi menghitung hampir Rp110 triliun. Tapi dari itu yang realistis untuk ditagih berapa masih perlu kehati-hatian,” jelas Mahfud MD saat memberikan keterangan secara daring, Senin (12/4/2021).
Mahfud menambahkan aset BLBI sebelumnya belum bisa dieksekusi karena menunggu putusan Mahkamah Agung (MA). Pemerintah baru berupa mengambil aset tersebut setelah MA mengeluarkan putusan BLBI merupakan ranah perdata. Namun, MA juga menyebutkan sudah tidak ada pidana dalam kasus BLBI.
“Sebetulnya kita sudah bekerja lama begitu ada putusan MA pada Juli 2019. Bahwa ini tidak ada pidananya. Nah kita sudah mulai menginventaris kalau tidak ada pidana mari kita kerja sekarang untuk menagih perdatanya,” tambah Mahfud.
Pemerintah Tak Ajak KPK
Mahfud menjelaskan tidak mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke dalam Satgas Hak Tagih BLBI karena lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga hukum pidana, sedangkan putusan MA menyebutkan kasus BLBI merupakan perdata.
Selain itu, KPK merupakan lembaga yang bukan menjadi bagian pemerintah seperti Komnas HAM. Ia khawatir pemerintah justru akan dinilai menyetir KPK jika masuk dalam satgas.
“Meskipun begitu saya sudah koordinasi dengan KPK. Saya perlu data-data pelengkap dari KPK karena tentunya punya data-data lain di luar soal hukum perdata yang bisa ditagihkan dan digabungkan ke perdata.”
Ia menjamin Satgas Hak Tagih BLBI akan bekerja secara transparan dan akan mengumumkan aset yang berhasil dieksekusi ke masyarakat. Menurutnya, KPK dan masyarakat juga dapat mengawasi dana BLBI yang mencapai seratusan triliun ini.
Pendekatan Perdata
Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menilai pendekatan perdata yang diambil pemerintah semestinya bisa membuahkan hasil.
Menurutnya, tim juga dapat belajar dari lambatnya proses eksekusi aset BLBI oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) beberapa tahun lalu.
“Kita tunggu sepak terjang Satgas Keppres 6 Tahun 2021. Belajar dari lambatnya proses BPPN beberapa tahun lalu, dengan pendekatan perdata, mestinya Tim BLBI di bawah Keppres 6/2021 bisa membuahkan hasil,” jelas Wawan.
Kendati demikian, Wawan menuturkan bahwa dia kaget dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diterbitkan KPK dalam kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).