SETELAH pagebluk melanda dunia, pola orang berkumpul untuk berdiskusi atau berbagi informasi telah berubah. Kini, dengan perangkat teknologi (internet), orang bisa bertatap muka tapi tidak langsung. Misalnya, ada webinar (web-based seminar), aktivitas pertemuan (seminar) yang kian populer.
Sederhananya, dengan teknologi, seseorang bisa memanggil orang lain dari jarak jauh untuk bertemu tanpa kontak langsung. Model pertemuan baru demikian itu dianggit untuk mencegah menularnya covid-19 yang masih memandemi.
Siswa kinasih
Dalam dunia wayang, ‘perangkat’ yang bisa digunakan untuk memanggil pihak lain tanpa kontak langsung seperti itu adalah Aji pameling. Sebagian ada yang menyebutnya Aji pepanggil adityarhedaya atau Aji punta wekasing rasa cipta tunggal tanpa lawan.
Di antara tokoh yang memiliki ajian menakjubkan itu ialah Dewi Kunti alias Prita, putri Raja Mandura Prabu Basukunti-Dewi Dayita. Kunti memiliki kakak laki-laki bernama Basudewa dan dua adik, Aryaprabu Rukma dan Ugrasena.
Basukunti, sebagai ayah dan seperti halnya orangtua lainnya, menginginkan putra-putrinya menjadi para insan kamil yang pintar dan berbudi luhur. Menjadi anak anung anindita, yaitu anak yang bisa membanggakan dan menjunjung harkat dan martabat orangtua.
Untuk mewujudkan impiannya itu, Basukunti mencarikan guru untuk putra-putrinya. Terpilihlah Resi Druwasa dari Pertapaan Jagadwitana. Druwasa dikenal sebagai ‘orang suci’ yang menguasai ilmu kesempurnaan hidup.
Seiring berjalannya waktu, Kunti yang paling haus dan tekun ngangsu kawruh (menimba ilmu). Hasratnya menguasai berbagai ilmu begitu kuat. Maka, sudah menjadi kebiasaan, di luar waktu belajar resmi, Kunti masih minta les privat kepada Druwasa.
Lama-kelamaan Kunti menjadi siswa kinasih (tercinta). Dari kedekatannya itulah, sang putri kedhaton mengerti bahwa gurunya memiliki ilmu eksklusif yang tidak dikuasai oleh para orang pintar lainnya. Ilmu itu dikenal dengan nama Aji pameling yang kesaktiannya bisa mendatangkan siapa pun yang dikehendaki.
Kunti mendesak meminta diajari ilmu tersebut. Sang guru dengan halus menolak karena ilmu yang dimaksud tidak boleh diberikan kepada setiap orang. Namun, karena Kunti terus merajuk dan kadang disertai isak manja, melelehlah sang guru dan muncul rasa iba.
Sedari awal, Druwasa memahami Kunti bukan wanita biasa. Titah hawa yang berhati kumala. Mata batinnya melihat Kunti adalah perempuan pilihan dewa yang bakal melahirkan para kesatria mustikaning jagat, teladan bagi manusia di seluruh pelosok marcapada.
Berdasar berbagai pertimbangan itu, akhirnya Druwasa dengan teliti dan cermat mengajarkan ilmu tersebut. Ia mewanti-wanti Kunti tidak terburu nafsu dan harus hati-hati mengenal ajian tersebut, mengingat usianya pun belum matang. Karena, bila sembrana, ajian itu justru akan mendatangkan walat atau petaka.
Undang Bathara Surya
Berkat ketekunan dan keseriusannya, Kunti menguasai ilmu itu dalam waktu yang relatif cepat. Druwasa kagum dengan kelantipan (kecerdasan) anak didiknya menyerap ilmu. Dan, mengingat wingitnya ajian itu, Kunti diingatkan untuk tidak bermain-main dengan ajian kahyangan tersebut.
Hari berganti hari, pekan berganti pekan membuat Kunti tergoda mencoba ajian tersebut. Di dalam kamar, tanpa ada yang lain, Kunti merapalnya. Dalam benaknya terbayang dan hatinya terkagum-kagum kepada sang Surya yang menyinari jagat raya.
Tiba-tiba hadirlah Bathara Surya. Dewa itu bertanya, ada apa memanggilnya. Kunti terdiam bak batu, jantungnya berdegup kuat, dan keringat dingin bercucuran membahasi seluruh badan yang hanya berbalut kain basahan.
Sampai beberapa saat tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Surya tersenyum melihat Kunti yang masih gugup. Lekak-lekuk keindahan tubuh Kunti yang memang masih gadis kinyis-kinyis (ranum) menyulut libidonya. Lewat Ajian asmaracipta, Surya ‘menanamkan’ kama (benih) ke dalam rahim Kunti.
Sejak peristiwa itu, Kunti mengandung, keadaan yang tidak ia duga. Ia galau dan takut. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya meratapinya. Druwasa menasihati bahwa nasi sudah menjadi bubur, ini kodrat yang mesti dilakoni.
Lewat bantuan Druwasa, Kunti melahirkan anaknya lewat karna (telinga) sehingga ia masih tetap perawan. Untuk menjaga nama baik keluarga besar Prabu Basukunti, putra Kunti yang diberi nama Karna itu dilarung di Sungai Gangga dan kelak menjadi senapati di Astina pada rezim Prabu Duryudana.
Pada kisah selanjutnya, Kunti dipinang Pandu, putra kedua Raja Astina Prabu Kresnadwipayana. Namun, karena kutukan Resi Kimindama, Pandu tidak pernah melakukan saresmi (sanggama) langsung dengan Kunti.
Ceritanya, Kimindama dan istrinya, Dewi Wanastu, mengubah diri menjadi kijang dan hidup di hutan. Ketika keduanya sedang bersetubuh, tiba-tiba ada anak panah menancap di tubuh masingmasing. Panah itu dilepaskan Pandu memenuhi permintaan istri keduanya, Madrim.
Dewi Wanastu mati seketika, sedangkan Kimindama, sebelum mengembuskan napas terakhir, mengutuk Pandu atas perbuatannya itu. Pandu akan mati bila bersenggama dengan wanita siapa pun.
Akibat kutukan itu, untuk mendapatkan putra, Kunti merapalkan Aji pameling. Pertamatama, ia mendatangkan Bathara Darma, maka lahirlah putra yang diberi nama Puntadewa. Anak kedua, Bratasena, lahir dari ‘obrolannya’ dengan Bathara Bayu. Adapun dari hasil ‘keintimannya’ dengan Bathara Indra, muncullah anak ketiga, Permadi alias Arjuna.
Diwariskan ke Madrim
Kunti diceritakan juga mengajarkan Aji pameling kepada marunya (istri kedua Pandu), Dewi Madrim. Maka, ketika ingin memiliki keturunan, Madrim merapal dengan menghadirkan Bathara Aswan dan Bathara Aswin. Maka, lahirlah anak kembar Nakula dan Sadewa.
Dalam kisahnya, Kunti sesekali masih menggunakan ajian tersebut. Misalnya, pada saat mendampingi anak-anaknya menjalani laku prihatin, Kunti suka ber-webinar dengan mertuanya, Begawan Abiyasa, untuk meminta nasihat.
Poin yang bisa diambil dari kisah ini ialah penggunaan Aji pameling mesti arif dan sesuai dengan peruntukannya. Jangan sembarangan karena hal itu justru akan mendatangkan mudarat daripada manfaatnya.