Beritaenam.com ––Gubernur Anies Baswedan “ditonjok” dengan tuduhan indeks saham anjlok dibawah 5.000, gara gara DKI akan menerapkan kembali PSBB.
Padahal, hari berikutnya juga naik lagi sebab naik turunnya indek memang hal yang amat biasa dan cepat berubah ubah.
Lagi pula, selama Pandemi Corona indek juga sempat anjlok dibawah 4000;
Bukan cuma itu.
Sebenarnya sejak Pandemi indek saham turun, kurs rupiah turun dan modal mengalir keluar negeri (out flow). Jadi kenapa ribut?
Para buzzer bayaran juga serempak mengeroyok Anies.
Semua yang melihat Anies sebagai saingan atau lawan politik, seperti biasanya ikut menohok Anies dengan PSBB.
Akhirnya jagad raya medsos diramaikan pro-kontra pemberlakuan kembali PSBB di DKI dengan warna menyerang maupun mendukung Anies.
Serangan-serangan tersebut nampaknya semakin meningkatkan popularitas Anies sebagai tokoh yang humanis yang ingin melindungi rakyat-nya dari bahaya Covid-19.
Nama Anies menjadi semakin dikenal luas bukan saja di DKI tapi di seluruh Indonesia.
Nampaknya Anies mampu melewati tekanan para pemburu rente dan buzzer orderan, yang terbukti dengan lolos dan diberlakukannya PSBB baru, meski sarat kompromi.
Sejak awal Pandemi Corona, sikap (pejabat) pemerintah memang terbelah dua.
Dua itu, sesuai mazhabnya, yaitu mazhab yang lebih mementingkan ekonomi dan mazhab yang lebih mementingkan kesehatan.
Umumnya petinggi pemerintah pusat ber-mazhab ekonomi dengan dukungan kuat kalangan bisnis.
Hingga sampai ada konglomerat yang bersurat ke Presiden RI untuk mencegah diberlakukannya PSBB di DKI.
Para kepala daerah, dokter, dan tenaga medis umumnya bermazhab kesehatan, mungkin karena mereka lebih dekat dengan rakyat atau masyarakatnya.
Serta melihat rekan sejawat mereka tewas karena Covid-19. Mazhab ini pilih “pain” duluan, “gain” belakangan.
Benturan mazhab ekonomi vs kesehatan ini masih berlangsung, lebih lebih bila berhadapan dengan Anies
Baswedan yang diasosiasikan sebagai bakal calon presiden 2024.
Karena itu, dimensi perselisihan (tokoh tokoh) pusat dengan Gub DKI menjadi semakin tajam sebab selain perbedaan mazhab, juga karena sarat persaingan politik menuju 2024.
Relatif mudah melihat atau membedakan masing masing mereka dari mazhab-nya.
Kepala daerah umumnya bereaksi dan gelisah ketika yang terinfeksi corona dan atau tewas meningkat.
Sedangkan petinggi pusat gelisah dan bereaksi keras atau kebakaran jenggot ketika indek saham tewas alias anjlok. Padahal pasar saham itu pasar elit, bukan pasar rakyat.
Pengikut mazhab dapat dilihat pula dari sikapnya dalam mengalokasikan APBN Covid.
Mana yang lebih besar pos anggaran untuk kesehatan atau untuk ekonomi.
Jelas anggaran untuk menjaga dan memulihkan ekonomi lebih besar dari anggaran untuk memerangi Covid-19. Begitu pula realisasinya.
Saya kira secara nasional, pemenangnya adalah “ekonomi”.
Seakan kesehatan hanyalah batu loncatan semata, dan Corona telah dimanfaatkan untuk dijadikan kambing hitam atas banyak kegagalan target Pemerintah.
Ini dijadikan senjata pamungkas untuk mencapai tujuan tujuan elit termasuk yang bermotip komersil, naikkan deficit anggaran maupun untuk meningkatkan utang negara.
Seperti disebutkan di atas, sejak awal Pandemi telah ada perbedaan mazhab dan ada indikasi bau tidak sedap yang ingin mengulang “sukses menguras uang negara ala BLBI”.
Karena itu, mau lock down, PSBB ataupun Herd Immunity, akan tetap saja heboh bersilang paham. Di sinilah perlunya leadership yang tegas dan jelas.
Dan Presiden sudah menegaskan Kesehatan yang harus diutamakan. Dan Gub DKI sedang melaksanakan kebijakan Presiden tersebut.
Jadi, kalau ada yang tidak setuju mestinya Presiden secepatnya menegaskan ulang bahwa nyawa manusia itu lebih utama dari kepentingan bisnis.
Dengan konsekwensi Bansos dan sebagainya, agar dijalankan secara benar dan sungguh sungguh.