“Tak sekedar membingungkan, tapi keterlaluanlah. Kapan kesempatan buat junior dan ASN,” ujar S.S Budi Raharjo, sosok yang sejak dulu dikenal berintegritas.
Beritaenam.com — LSM RIDMA Foundation tetap kritis menyikapi, independen dalam bertindak.
Walau di internal BNN, banyak dari relasinya, tapi kalau enggak benar ya tetap saja situasi itu harus dibongkar “bobrok”-nya.
Pernah membongkar komisi “ten persen”, yang sempat beredar di internal BNN.
LSM yang pernah mendapat penghargaan dari UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) untuk “media against drugs”, kali ini mengkritisi “jabatan” yang seharusnya tidak diisi oleh pensiunan.
Soal polisi yang menjadi komendan Deputi Pemberantasan, di institusi Badan Narkotika Nasional (BNN) saat ini.
Yang dikritik, khususnya dalam hal Penunjukan Deputi Pemberantasan Narkoba di BNN, karena sangat berpengaruh luas pada kinerja Pemberantasan BNN secara umum.
Posisi Deputi Pemberantasan demikian strategis, karena di bidang inilah BNN membongkar mafia dalam negeri dan luar negeri. BNN canggih dengan “alat sadap” yang kerap dipakai untuk mendeteksi orang-orang yang dicurigai.
Tak adanya “kumendan jenderal aktif” banyak yang kemudian mengkaitkan, friksi internal BNN dan gempuran melawan mafioso lemah.
Agenda pemberantasan pengedar narkoba dan bekerja untuk menyelamatkan generasi muda, menjadi stagnan pengejaran bandar narkoba dalam minggu-minggu ini.
Ramai dipergujingkan di media sosial “jarkom” hingga “eksekutif klub”, agaknya BNN memasuki situasi “turbulensi” — istilah umum dunia penerbangan, dalam goncangan naik turun.
Dipergunjingkan di kalangan penggiat anti narkoba, BNN yang baru saja mengajukan anggaran tambahan anggaran Rp 234 Miliar, malahan mencatatkan diri panik di situasi turbulensi covid -19 dengan dirinya sendiri.
Apakah Turbulensi Ini Sengaja Diciptakan?
Yang pasti, jika ini terjadi berkepanjangan. Maka, yang sedang terbahak-bahak, ya pengedar.
Pasalnya, masalah internal, kini “meloncat” ke publik. Agenda untuk membubarkan BNN, kembali diangkat oleh “tangan-tangan tak kelihatan”.
Kemarin, sempat ramai DPR Komisi III mengkritik BNN karena dinilai sampai saat ini BNN “miskin terobosan, padahal Narkoba di Indonesia ini telah memasuki tahap yang serius.
Anggaran besar BNN tak sebanding dengan kinerja.
BNN dianggap tidak memiliki dampak yang signifikan maka BNN bisa saja dievaluasi dan dibubarkan sehingga kewenangan penanganan narkotika diserahkan ke Polri saja.
Karena BNN saat ini dianggap institusi yang dipegang oleh “pilot” enggak “ngerti” permasalahan narkoba atau tak punya latar belakang hal itu.
Dua minggu belakangan ini, di situasi pandemic Covid-19 dan masalah narkoba yang juga dalam status darurat. Dalam situasi “darurat” semacam ini, kok sampai Kepres dan Telegram Polri menimbulkan “gaduh”.
BNN sampai harus bergantung pada satu figur, yang memang dikenal berintegritas di dalam pemberantasan. Padahal kenyataannya, sosok atau figur yang mumpuni “berserak” hanya memang terpendam atau tak punya networking di internal.
S.S Budi Rahardjo MM, Jurnalis senior yang menjadi Ketua Umum Ridma Foundation menganalogikan institusi BNN, mengalami turbulensi eksternal dan internal.
Untuk BNN, ibaratnya turbulensi pesawat dari goncangan dalam itu sendiri. Tak memasukan nama Deputi Pemberantasan jelang Kepres itu turun, menjadi tanda tanya besar. Demikian Mabes, padahal menurut sumber lain malah sudah ada, hanya terjadi “tarik menarik”.
Seakan tak menemukan kandidat yang memiliki pengalaman di lingkungan reserse, dengan syarat sedikitnya selama lima tahun dan khusus di narkoba sedikitnya selama dua tahun.
Blunder terjadi, tatkala muncul telegram Kapolri dengan nomer ST/2557/IX/KEP./2020 kemudian di-buzzer oleh pengamat kepolisian.
Menjadi polemik. Pasalnya, telegram tersebut menyebutkan bahwa Irjen Arman Depari dimutasi dari posisi Deputi Pemberantasan di BNN kembali ke Polri.
Polemik terjadi diakibatkan adanya Keputusan Presiden (Keppres) 116/2020 yang dikeluarkan bulan Juli 2020.
Yang aneh, memuat tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan BNN, Arman dilantik kembali kembali sebagai Deputi Pemberantasan.
Dalam Rilis-nya, RIDMA Foundation Menyayangkan Situasi Ini.
Bukan saja, tak lazim terjadi, perwira tinggi Polisi yang memasuki masa pensiun diangkat kembali melalui Keppres (Keputusan Presiden) untuk menempati posisi yang sama.
“Tak sekedar membingungkan, tapi keterlaluanlah. Kapan kesempatan buat junior dan ASN,” ujar S.S Budi Raharjo, sosok yang sejak dulu dikenal berintegritas.
Pria yang merupakan Pendiri Forum Pimpinan Media Digital Indonesia juga Ketua Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) ini mengkritisi kebijakan pimpinan BNN atau Polri, termasuk Kepres itu.
Aktivis yang juga seorang jurnalis mendapat info. Bahwa nama untuk Deputi Pemberantasan, saat ingin diketik dalam Surat Keputusan, tak muncul nama yang dianggap “layak”. Ada apa ini? Sejatinya ada nama tiga nama disorong.
Jangan gara-gara covid-19, semua dipermainkan.
Alasan pihak Sekretariat Negara mengeluarkan Kepres, dengan nama Arman, karena waktu diketik, tak mendapat nama kandidat lain, yang diposisikan Deputi Berantas.
“Kalau soal layak, saya lihat di BNN banyak yang layak untuk posisi itu,” ujar Jojo, mantan Pemred Sinar BNN itu. Ada sosok bintang dua juga, sesama Deputi yang berpengalaman atau malah anak buah Arman, dinaikan posisinya.
“Kami punya data, untuk orang-orang yang punya pengalaman khusus dalam pemberantasan narkotika, yang mendapat julukan pengalaman sebagai salah satu dari extra ordinary crime,” ujar S.S Budi Raharjo.
Ketum RIDMA Foundation, sangat menyayangkan Kepala BNN Heru Winarko dengan kejadian itu. Tak memungkiri, yang bersangkutan adalah sosok yang “kurang welcome”, seperti komplain dari rekan-rekan jurnalis lain.
Maksudnya, orang nomer satu BNN yang juga akan habis masa jabatannya akhir tahun 2020 ini. Dikenal sebagai Kepala BNN yang sangat berbeda, dengan Kepala BNN yang lalu-lalu, sangat dekat dengan jurnalis.
Kepala BNN yang selama ini menjabat, sangat dekat dengan jurnalis dan berinteraksi dengan wartawan atau orang-orang yang mengerti lapangan. Termasuk mau mendengar masukan dari aktivis NGO.