Beritaenam.com, Jakarta – Film adalah bisnis kreatif. Di dalamnya ada muatan-muatan kreatifitas, seperti cerita dan kemasannya. Tapi dalam bisnis film, faktor modal juga pegang peranan yang tak bisa dikesampingkan. Gimana kita mau mengemas sebuah cerita atau adegan spektakuler ranpa di dukung pembiayaan memadai. Pun begitu, gimana film itu diperkenalkan dengan strategi branding, juga butuh biaya promosi. Jadi, film adalah perpaduan antara kreatifitas, produksi dan promosi. Kalau saya amati, film Indonesia sekarang sudah berkembang dalam industri kreatif yang menjanjikan. Banyak film-film kita nggak kalah bersaing dengan film Hollywood. Karena para pelaku bisnis sudah paham akan pendekatan film sebagai bisnia kreatif.
Dibandingkan dengan induatri musik, iklim industri film relatif lebih baik karena faktor regulasi relatif lebih jelas dan terukur. Ketika film digarap serius, dengan cerita yang pas dan original, dibintangi oleh artis dan aktor papan atas, ukurannya adalah pencapaian penonton berapa. Pasarnya jelas, ukuran sukses juga ditentukan seberapa banyak orang menonton film itu di bioskop.
Kalau bisnis musik, seperti yang saya jalani saat ini, lebih banyak faktor berspekulasi. Musik bagus, dengan konsep dan pembiayaan cukup besar, belum tentu profit. Meskipun ukuran sukses itu kadang juga bisa di persiapkan seberapa jeli membaca pasar dan memilih materi lagu. Musik yang sudah heboh dan banyak dinikmati masyarakat, belum tentu profit. Masalahnya apa? Masyarakat bisa dengan mudah browsing dan langsung menikmati musik-muisk yang dia sukai. Atau mereka dengan mudah menikmati musik lewat siaran radio dan tayangan televisi. Dan semua gratis! Darimana pelaku industri musik mendapatkan frofit dari produk yang dirilis? Paling dari RBT, atau dari YouTube. Itu pun kita (pelaku usaha) nggak punya posisi tawar. Lewat penjualan CD dan VCD, sudah susah karena pembajakan merajalela. Sementara bisnis karaoke atau pertunjukan musik belum memberi harapan secara signifikan dalam induatri musik.
Para pelaku industri film saat ini sedang mengalami masa keemasan. Banyak film Indonesia betebaran di bioskop papan atas. Dalam lima layar, 4 (empat) diantaranya memutar film Indonesia. Dan film Indonesia selalu berjaya mengumpulkan jumlah penonton terbanyak. Beberapa diantara film box office adalah Ayat Ayat Cinta, Warkop DKI Reborn, Dilan, dan lain-lain.
Saya sering nonton di bioskop. Yang saya tonton selalu film Indonesia, kecuali ada film Holliwood yang lagi ngehits. Biasanya saya dapat info film film bagus dari anak saya. Artinya pendekatan promosi sudah tepat menyasar anak muda.
Pada suatu masa di tahun 90-an, film Indonesia mengalami keterpurukan. Waktu itu serbuan film Amerika terjadi secara masif. Sementara para kreator kita sibuk saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Saya waktu itu dalam posisi sebagai journalist sekaligus pengamat. Yang saya rasakan, waktu itu, film Indonesia kok begini amat!
Saat ini film nasional sedang berjaya. Para pelaku industri film dan kreator, sepertinya sedang menikmati masa “bulan madu”. Inilah hukum bisnis, ketika industri jalan, kreatifitas juga berkembang. Atau sebaliknya, kreatifitas menopang industri film. Saya berharap film kita tetap eksis. Selamat Hari Film Nasional. (Agi Sugiyanto).