beritaenam.com, Jakarta – Direktur Utama (Dirut) PLN ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-I oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sofyan diduga bersama-sama menerima suap atau hadiah atas kepengurusan konsursium penggarap proyek tersebut.
Dilansir dari laman acch.kpk.go.id milik KPK, Sofyan Basir tercatat memiliki harta sebanyak Rp119 miliar. Harta itu dilaporkan Sofyan pada 31 Juli 2018.
Kekayaan bos PLN itu terdiri dari harta bergerak dan tidak bergerak. Untuk harta tak bergerak Sofyan terdiri dari 16 bidang tanah dan bangunan di sejumlah wilayah seperti Jakarta Pusat, Tangerang Selatan, dan Bogor senilai Rp37.166.351.231.
Sedangkan harta bergerak yang dilaporkan Sofyan senilai total Rp6,3 miliar. Total harta bergerak itu berupa 5 jenis mobil yakni Toyota Avanza, Toyota Alphard, Honda Civic, BMW tahun 2016, serta Land Rover Range Rover tahun 2014.
Mantan Direktur Utama Bank BRI ini juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp10,2 miliar, surat berharga Rp10,3 miliar, serta kas dan setara kas Rp55,8 miliar. Sofyan tak tercatat memiliki hutang.
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat, pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Bos Blackgold Natural Recourses Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Sofyan, dan Johannes Kotjo. Namun, ketiganya tak selalu lengkap menghadiri pertemuan.
Pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengenrjakan PLTU di Jawa.
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit.
PLTU Riau-I dengan kapasitas 2×300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dengan BNR dan CHEC.
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.