Catatan Egy Massadiah dari Sulbar dan Kalsel sebelum dan sesudah Doni Monardo terpapar Covid 19
PESAWAT jenis ATR mengudara dengan mulus. Di dalamnya adalah manusia-manusia kelelahan. Tak terkecuali Kepala BNPB-Ketua Satgas Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo.
Tak kurang dari delapan hari kami berada di tengah-tengah lokasi musibah: Gempa bumi Mamuju (Sulawesi Barat), dan banjir di Kalimantan Selatan.
Saat pesawat terbang stabil di ketinggian sekitar 12.000 kaki, lampu tanda sabuk pengaman dimatikan. Kami semua tengah bersiap memejamkan mata, membiarkan tubuh letih ini menikmati singgasana peristirahatannya.
Apa boleh buat, urungkan membayangkan kami terlelap.
Sebab, mendadak Doni Monardo memanggil sejumlah staf, antara lain Direktur Dukungan Sumber Daya Darurat BNPB Jarwansah dan saya (Egy Massadiah) untuk mendekat ke tempat duduknya.
Kami melakukan rapat kecil di atas udara. PLT Deputy Darurat Dody Ruswandi yang duduknya berdekatan juga memasang kuping, cermat mendengarkan.
Sudah sekian lama mendampingi Doni Monardo. Itu artinya, saya paham bagaimana etos kerjanya.
Tapi toh, pertanyaan yang satu ini tetap saja muncul dalam situasi senja di kabin pesawat ATR itu: “Terbuat dari apakah fisik pak Doni, sehingga tidak punya rasa capek?”
Baik. Izinkan saya mengilas balik ke delapan hari sebelum peristiwa di atas kabin pesawat itu terjadi.
Hari Jumat, 15 Januari 2021, rombongan Kepala BNPB terbang ke Mamuju, menggunakan pesawat TNI AU.
Padahal, Jumat pagi itu agenda Doni sudah terjadwal berkunjung ke lokasi bencana longsor Sumedang bersama sejumlah anggota Komisi 8 DPR RI.
Di perjalanan, Presiden Jokowi menelpon, memerintahkan Kepala BNPB berangkat ke Mamuju. Saya mendengarkan langsung pembicaraan Presiden dengan Doni.
Alhasil agenda ke Sumedang dialihkan ke Sestama BNPB Harmensyah.
Kami serombongan pun siap di Base Ops Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Sebuah pesawat Hercules C-130 telah terparkir.
Menteri Sosial Tri Rismaharini selanjutnya bergabung di Halim PK. Sedianya, kunjungan itu singkat saja. Jika tidak pulang hari, maka paling menginap satu malam
Yang istimewa, hari itu, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto hadir dan mengantar hingga ke pintu pesawat.
Turut dalam rombongan Doni Monardo, Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan II (Kogabwilhan II), Marsekal Madya TNI Imran Baidirus.
Perwira tinggi TNI-AU kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat 3 September 1964 itu pernah memimpin Skadron 15 Lanud Iswahyudi, Madiun. Itu artinya, ia adalah seorang penerbang pesawat tempur jenis Hawk MK-53.
Syahdan, Hercules C-130 TNI-AU pun mendarat mulus di bandara Tampa Padang, Mamuju, Sulawesi Barat dengan mulus. Doni – dan seluruh penumpang —kelihatan sangat terkesan dengan kepiawaian pilot yang mendaratkan pesawat angkut berbadan bongsor itu dengan smooth.
Ekspresi kekaguman Doni pun dilayangkan kepada Marsdya Imran, secara tak langsung.
Doni bilang, “Wah, mendaratnya mulus sekali. Jangan-jangan tadi pak Imran yang mendaratkan pesawat ini.” Yang mendengarkan pun tertawa.
Skenario Berubah
Tiba di Mamuju, rombongan langsung meninjau lokasi musibah. Ternyata, kondisi lapangan butuh penanganan serius.
Banyak bangunan ambruk. Tak terkecuali kantor-kantor pemerintah, termasuk kantor Gubernur Sulawesi Barat. Bahkan, saat kami tiba di sana, masih muncul informasi adanya korban yang terjebak di bawah reruntuhan bangunan, dan belum berhasil dievakuasi karena minimnya peralatan.
Seketika saya membatin, skenario berubah. Ini akan menjadi kunjungan panjang.
Doni Monardo baru akan meninggalkan lokasi, ketika ia melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa penanganan tanggap darurat berjalan dengan baik. Sebelum itu semua terjadi, jangan harap Doni balik kanan.
Meski “judulnya” kunjungan satu hari, saya siap sedia dengan pakaian untuk minimal satu minggu. Termasuk siap mental dan fisik manakala harus tidur di tenda. Sebagian rombongan hanya membawa pakaian untuk semalam dua malam saja.
Dan kenyataannya memang begitu. Doni Monardo tidur di tenda yang berlokasi di halaman rumah dinas sekda Sulbar.
Kami semua tidur di tenda selama masa tanggap darurat gempa Mamuju – Majene.
Memang malam pertama kami sempat numpang rebahan di rumah jabatan Gubernur Ali Baal Masdar yang masih tegak tak terdampak gempa.
Untuk diketahui, ini adalah kali kedua Doni Monardo dalam kapasitas Kepala BNPB menjejakkan kaki di Mamuju.
Sebelumnya 21 November 2019, Doni berbicara tentang mitigasi bencana, ancaman gempa di Sulbar di aula kantor Gubernur yang kini rontok akibat gempa.
Doni ditemani sejumlah pejabat BNPB ketika itu melakukan pemaparan pentingnya mitigasi dan kesiapsiagaan di depan para ASN Pemprov Sulbar, disaksikan Gubernur dan Wagub Sulbar.
Terbang ke Banjarmasin
Nyaris saat bersamaan, Kalimantan Selatan diterjang banjir. Alhasil, Doni Monardo pun terbang ke Banjarmasin pada Minggu 17 Februari 2021.
Hari-hari di lokasi bencana, berkutat dengan pengkoordinasian penanganan masa tanggap darurat. Ya, baju kami basah. Tubuh kami berkeringat campur lumpur.
Datang berita, Presiden Joko Widodo hendak mengunjungi Mamuju. Doni Monardo dan rombongan pun kembali ke Mamuju.
Kami nikmati dan jalani saja semua tugas dengan dada lapang. Malam hari di pusat perbelanjaan di Banjarmasin kami menugaskan staf membeli perlengkapan, baju, celana serta aneka kebutuhan darurat lainnya untuk kami pakai di Sulbar.
Selasa siang 19 Januari 2020 Presiden pun langsung meninjau lokasi pengungsi di stadion Mannakara Mamuju.
Presiden datang untuk memastikan proses evakuasi, pemberian bantuan, berjalan dengan baik. Jokowi juga mengabarkan berita baik mengenai komitmennya untuk membangun kembali sarana dan prasarana pemerintah daerah yang rusak.
Dalam kesempatan yang sama, sebelum kembali ke Ibukota Negara, Presiden mengapresiasi BNPB serta jajaran lain yang bahu-membahu bekerja keras di fase tanggap darurat (pasca musibah).
Betapa pentingnya koordinasi, menata manajemen kedaruratan dalam satu komando, melibatkan semua unsur.
Tentu apresiasi Presiden kepada BNPB di bawah komando Doni Monardo, serasa siraman air segar. Tidak saja menyiram jiwa-jiwa yang lelah, raga-raga yang letih, tetapi juga ibarat suntikan vitamin.
Rasa lelah jiwa-rata makin terobati demi menyimak kalimat Doni yang berulang dilesakkan ke benak kami, “Jangan pikirkan diri kita, pikirkan derita para korban.”
Kalimat yang kurang lebih sama dalam konteks penanganan Covid-19. Doni selalu mengatakan, “Pikirkan para dokter dan tenaga medis. Pikirkan mereka yang meninggal karena Covid-19. Bayangkan beban derita keluarganya.”
Karenanya, kami hanya bisa mengelus dada, manakala ada netizen yang mengunggah video yang kurang bertanggung jawab.
Sebagai contoh, sebuah video diviralkan. Isinya, “Sampai hari ini, korban gempa di sini belum menerima bantuan sama sekali.”
Betapa sulit menjangkau sejumlah daerah. Beberapa kali penerbangan helikopter bantuan, gagal mendarat karena cuaca ekstrem.
Kali lain, helikopter terpaksa mendarat di lokasi yang cukup jauh dari lokasi musibah. Perlu waktu lagi untuk bisa mengantar bantuan ke titik korban.
Helikopter BNPB bagaikan menyabung nyawa untuk mendekati sejumlah titik dropping bantuan. Alam yang rawan ditambah perubahan cuaca yang tiba tiba serta angin kerap menjadi hambatan.
BNPB dan Pemda setempat memastikan, jangan ada korban tak tersentuh bantuan. Yang terjadi adalah, bantuan datang sedikit terlambat karena berbagai hambatan di lapangan, terutama cuaca.
Nah, alangkah bijak, jika para netizen teliti dalam memviralkan video yang bernada negatif bahkan provokatif. Di tengah suasana bencana, mental korban sangat labil, serta perasaannya sangat sensitif.
Di lapangan, tidak hanya ada BNPB dan BPBD. Banyak unsur lain yang berjibaku membantu korban bencana. Ada Basarnas, ada prajurit TNI/Polri, para relawan, PMI, NU, Muhammadiyah dan lain-lain.
Bahkan, setiap hari sebelum kembali ke Jakarta –setelah lebih seminggu di Mamuju—Doni selalu hadir di lapangan melakukan koordinasi.
Teringat, malam pertama tiba di Mamuju, saat itu hujan amat deras. Dengan rombongan kecil Doni menerjang hujan, menuju sebuah alamat di kota Mamuju.
Seseorang baru saja mengirim informasi, ada indikasi korban tertimbun runtuhan bangunan akibat gempa.
Dalam kegelapan Doni berucap, kepada sejumlah anggota TNI yang menemaninya di lokasi, “Pastikan, jangan sampai ada korban yang masih tertimbun bangunan.”
Lelah dan Mengantuk
Berikutnya, mari kembali ke dalam kabin pesawat ATR. Saya, Jarwansyah, dan pejabat BNPB lain merapat ke dekat tempat duduk Doni Monardo. Rapat.
Usai memahami point point inti yang dibahas, saya pura-pura tidur. Hingga akhirnya terlelap.
Pesawat pun mendarat di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur setelah menempuh penerbangan langsung sekitar 3,5 jam. Harinya Jumat, tanggal 22 Januari 2021.
Seperti biasa, semua kembali ke markas Graha BNPB untuk tes PCR dan tes swab antigen, sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Belum lagi menginjak kantor BNPB, Koorspri Kolonel Budi Irawan sudah ditugaskan untuk menyiapkan rapat, sore itu juga.
Singkat kalimat, rapat berjalan lancar hingga malam pukul 20.00, tes PCR maupun swab antigen juga tuntas. Semua kembali ke rumah, termasuk Doni Monardo.
“Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”, Doni pun terpapar corona. Hari Sabtu (23/1/2021) esok harinya, ia mengumumkan dirinya positif tertular virus corona. Kami semua kaget. Shock.
Kisah selanjutnya, sudah banyak yang mahfum. Doni menjalani isolasi mandiri. Setelah 20 hari, “panglima Covid-19” itu pun akhirnya dinyatakan negatif Covid-19. Doni menjalani tes PCR pada hari Jumat tanggal 12 Februari 2021 siang.
“Alhamdulillah. Saya bersyukur kepada Allah SWT atas hasil negatif covid ini.”
“Saya mengucapkan terima kasih, pertama-tama kepada keluarga. Istri, anak-anak, menantu serta cucu, adalah motivator terbaik saya sehingga tetap bersemangat menjalani isolasi mandiri mengenyahkan virus corona dari tubuh saya,” ujar Doni, Jumat tanggal 12 Februari 2021 kepada wartawan.
Doni juga berterima kasih kepada dokter di rumah sakit, tim dokter Satgas Covid-19 dan BNPB atas segala dukungan dan perhatian yang telah diberikan.
“Termasuk doa kawan-kawan, doa dari masyarakat demi kesembuhan saya,” tambah Doni.
Tak pelak, mantan Danjen Kopassus itu pun resmi menyandang predikat ‘penyintas Covid-19’, dan karenanya ia siap menyumbangkan plasma konvalesen. Tanpa diingatkan siapa pun, Doni ingat hal itu.
Hari Jumat (26/2/2021), tim dokter Palang Merah Indonesia (PMI) merapat ke Graha BNPB.
Doni berkonsultasi ihwal rencana mendonorkan plasma konvalesen.
Sebelumnya, petugas PMI melancarkan sejumlah pertanyaan sebagai bagian dari protokol donor. Di sinilah Doni mengungkap kisah yang belum banyak diketahui orang.
Dipaksa Dirawat di RS
Kisah tentang alotnya membawa Doni Monardo ke rumah sakit. Tim dokter dari Satgas Covid-19 maupun tim dokter BNPB, meminta Doni berkenan dirawat di rumah sakit. Semua bujuk-rayu kami seperti membentur tembok.
Sementara, kondisi fisik Doni tidak bisa dikatakan “baik-baik saja”. Hari kedua sejak terpapar Covid, suhu badannya naik. Jangankan untuk beraktivitas, bahkan untuk memegang handphone saja tidak sanggup.
Lebih membuat kami sport jantung adalah data saturasi oksigen Doni Monardo yang berada di angka 78. Sangat rendah, jauh dari angka normal yang di kisaran 95 – 100 persen.
Meski begitu, Doni toh ngotot belum mau dirawat di rumah sakit. Bahkan, Santi Monardo sang istri, menyerah. Menurut Doni ia bisa bolak-balik ke rumah sakit untuk pemeriksaan dan tetap isolasi mandiri di rumah.
Pikiran saya hanya satu: “Harus kita datangkan orang yang pasti didengar oleh Doni”. Saya pun segera menelepon Arief, anak mantu Doni.
Saya minta Arief mengajak istrinya yang juga putri sulung Doni, Azzianti Riani Monardo yang tinggal di Cijantung mendatangi ayahnya yang terpapar Covid.
Anti, begitu kami biasa memanggil, adalah harapan terakhir kami untuk membawa Doni Monardo ke rumah sakit.
Lepas Isya, Anti datang bersama suaminya, Kapten (Inf) Mochammad Arief Wibisono. Pasangan ini telah dikaruniai dua anak: Arfazza Wimeka Wibisono lahir pada 3 Juni 2018 dan Azzahra Rania Wibisono yang lahir 17 Juli 2020.
Semua orang dekatnya tahu, Doni sangat dekat dengan cucunya.
Anak dan menantu malam itu datang dan langsung menebar “ancaman” serta “ultimatum” kepada sang ayah. Intinya, “Ayah harus ke rumah sakit.”
Ancamannya, “Kalau ayah tidak mau ke rumah sakit, Anti mau tidur di depan pintu kamar ayah,” tutur Anti, si sulung dengan ekspresi serius.
Tidak cukup dengan itu, Anti mendadak menyudutkan sang ayah pada posisi sulit mengelak.
“Pasien Covid-19 dengan tingkat paparan ringan, boleh isolasi mandiri di rumah. Tapi, bagi yang stadium sedang sampai berat, harus dirawat di rumah sakit. Kan ayah yang ngomong begitu, dan sekarang kondisi ayah tidak pada stadium rendah, jadi harus ke rumah sakit,” kata Anti, fasih.
Kali ini Doni Monardo benar-benar menyerah. Meski begitu, Doni tampak masih akan bertahan.
Buktinya, Doni minta Anti mengizinkan ke rumah sakit keesokan paginya. Tegas Anti menolak. Ayah harus ke rumah sakit sekarang juga.
Lega hati kami semua, demi mendengar Doni Monardo berkenan dirawat di rumah sakit. Meski begitu, kami hanya memantau dari jauh. Tidak berani menampakkan muka. Kami biarkan “skenario” tadi mengalir wajar, tanpa ada kesan rekayasa.
Doni Monardo tiba di rumah sakit pukul 23.20, langsung dilakukan pemeriksaan intensif dan wawancara. “Masuk kamar perawatan persisnya tanggal 26 Januari 2021 pukul 00.01,” ujar Doni.
Hasil pantauan, Ct terburuk Doni Monardo ada di angka 18, berangsur membaik ke angka 25, 28, lalu tanggal 8 Februari 2021 Ct sudah di angka 36,5, tanggal 12 Februari 2021 negatif.
Doni dirawat di rumah sakit sejak tanggal 26 sampai 29 Januari 2021. Setelah itu perawatan isolasi mandiri di hotel.
Dua kali pemeriksaan berikutnya, tanggal 19 Februari, hasilnya negatif. Lalu diperiksa lagi tanggal 23 Februari, hasilnya pun negatif. Doni langsung tancap gas, beraktivitas.
Dua hal yang sempat hilang dari kebiasaan Doni Monardo saat terpapar Covid-19.
Yang pertama adalah rutinitas olahraga pagi. Kedua, membalas semua pesan yang masuk melalui handphone-nya. Satu hari saja bisa masuk ratusan pesan whatsapp.
Ratusan pesan mungkin menenggelamkan dirinya untuk tidak berpikir tentang kisah yang saya ceritakan di atas. Mendadak, kisah itu kembali mencuat saat petugas PMI mewawancarainya.
Saya kaget ketika ia mengatakan, “Soal anak yang mendesak saya ke rumah sakit, saya kira ini pasti kerjaan Prof Wiku, dokter Tugas, pak Egy…. Mereka gak mempan minta saya ke rumah sakit, lantas mengatur skenario memakai anak saya,” kata Doni disusul tawa lebarnya. Saya hanya nyengir dan menjauh.
Yang lalu, sudah berlalu. Hari-hari terpapar Covid-19 telah dilalui Doni Monardo. Dan saat dirinya kemudian berpredikat penyintas, langsung minta staf untuk mengatur mekanisme donor plasma konvalesen.
Doni Monardo tampak santai saat mendonorkan plasma konvalesen, Senin 1 Maret 2021. Maklum, “ritual” donor darah bagi Doni bukan hal baru. Ia sudah menjadi pendonor darah sejak masih perwira muda.
Di sini perlu sedikit saya tambahkan. Ihwal kedisiplinan Doni Monardo dalam rutinitas hidupnya. Ia sangat rajin berolahraga. Itu salah satunya.
Kemudian, terkait protokol kesehatan, saya bahkan sempat berkata dalam hati, “berlebihan”. Betapa tidak, saat tidur pun Doni Monardo mengenakan masker.
Ini saya saksikan sendiri di Sulawesi Barat. Hari pertama kami tidur di rumah dinas gubernur yang kebetulan bangunannya tidak terdampak gempa.
Satu kamar besar diisi beberapa orang: Doni Monardo, ajudan, dan Abdul Muhari, Plt Direktur Pemetaan dan Risiko Bencana BNPB. Doni pun meminta saya masuk dan tidur di kamar yang sama.
Ya, saat itulah saya melihat, Doni Monardo tidur bermasker. Saya sendiri, setelah melihat semua lelap, diam-diam keluar kamar dan tidur di ruang tamu yang –buat saya—lebih nyaman.
Ada satu hal lagi yang tentu kita masih ingat. Tak lama setelah merilis pengumuman dirinya terpapar Covid-19, keesokan harinya Doni Monardo menyampaikan rilis media kembali, isinya mengimbau agar masyarakat menghindari aktivitas makan bersama.
Doni meyakini, sumber corona yang menyerangnya berasal dari aktivitas makan bersama.
Kepadanya, saya tidak membantah. Tapi lewat tulisan ini, saya membatin. Bahwa, faktor makan bersama itu, hanya salah satu kemungkinan.
Tapi yang tak boleh dilupakan, ada faktor lain sebagai penyebab terpaparnya Doni Monardo, yakni faktor kelelahan fisik.
Dalam kondisi fisik lelah, maka imun tubuhnya menurun, alias melemah.
Bayangkan, kami semua (utamanya Doni Monardo), kurang tidur, banyak pikiran, banyak melakukan aktivitas peninjauan lokasi bencana dan rapat koordinasi. Intinya intensitas pekerjaan sangat tinggi.
Atas semua kegiatan tadi, jam istirahat menjadi sangat kurang.
Lepas dari kemungkinan yang mana yang benar, wallahu a’lam. Yang pasti, usai Doni Monardo dinyatakan negatif, saya dan sejumlah kawan sempat pula berdiskusi ringan.
Bahwa ada beberapa jenis pengidap corona. Sebagian sembuh dengan sangat cepat, sebagian lama.
Doni Monardo sendiri, merasakan dalam tiga minggu pertama, kondisi fisiknya drop. Ia merasakan revovery-nya lambat, meski sudah mengonsumsi sekian jenis vitamin dan obat-obatan.
Doni merasa cepat lelah. Ini beda dengan pengidap lain yang terkadang justru tidak merasakan apa-apa.
Kiranya, catatan ini bermanfaat untuk kita semua. (*)