Adab Berkata-kata
Ada Atasan, Ada Bawahan
Beruntunglah kita hidup di sebuah alam bahasa yang begitu menekankan kesamaan rasa.
Sehingga kita tidak perlu repot-repot memikirkan tingkatan kesopanan berbahasa seperti dalam masyarakat Jawa, Prancis, atau Jerman.
Jadi bila ada yang bertanya, bagaimana cara paling sopan menyapa atasan, mudah pula menjawabnya.
Sebutan “Bapak” kepada atasan, atau “Anda” kepada rekan bisnis, sudah cukup mencerminkan sopan santun.
Kadang-kadang ada kantor tertentu yang punya bos nyentrik dan tidak mempedulikan keformalan dalam menyebut jati diri.
“Sudah, cukup kamu panggil saya ‘Mas’, ‘Abang’, atau nama,” tutur seorang sepupu yang bekerja di sebuah kantor penelitian di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Toh, tidak semua karyawan dikantor itu tega memenuhi permintaan tersebut. “Ada kerikuhan menyebut nama atasan kita. Jadinya, seolah-olah dia teman main, bukan bos,” ujar Jojo, salah satu staf senior di pusat penelitian tersebut.
“Jadi, kita lebih sering menyebut beliau ‘Pak’. Kadang-kadang, kalau diluar kantor, kita menyebutnya ‘Mas’, tapi tidak pernah langsung dengan nama,” demikian kata pemilik Jojo Media mengungkap.
Dari segi sopan santun, ini ada benarnya. Para ahli etiket menyarankan, kendati hubungan atasan bawahan di sebuah kantor cukup luwes, hendaknya sopan santun tetap diterapkan.
Jangan seenaknya ber-lu-gue dengan sang bos, kendati ia lebih muda atau seusia dengan Anda, terutama didepan orang lain atau tamu. Ini bukan hanya menyangkut pribadi si bos, tapi juga citra seluruh kantor.
Dalam hubungan yang setara, misalnya antara sesama manajer, biasanya cukup saling memanggil dengan nama kecil – dengan catatan: hubungan mereka terbilang akrab.
“Eh, Jim, apa kabar? Lama lu enggak kelihatan. Kok, jarang datang ke rapat manajer?” sapa Lukman kepada sahabatnya, Jimmy. Keduanya adalah manajer dalam korporasi yang sama tapi berlainan divisi.
Soalnya lain lagi bila jabatannya setara tapi hubungan pribadinya tidak begitu akrab. Dalam hal ini, sopan santun sapaan cenderung bersifat formal, seperti, “Apa kabar, Ibu Rini?” atau, “Lama saya tidak bertemu dengan Anda, Pak Purwanto. Bagaimana bisnis anda?”
Memang, hubungan antara bos dan anak buah sebaiknya tidak selalu dipertalikan oleh adab yang kaku.
Kenapa?
Sebab, bila itu yang terjadi, si karyawan akan kurang leluasa dalam bekerja ataupun mengemukakan pikirannya.
Sebaliknya, bila si bos terlalu longgar, terlalu menekankan tiadanya hierarki dalam sebuah hubungan kerja, bisa tumbuh sikap tak bertanggung jawab dan sewenang-wenang dari anak buahnya.
Hadi, misalnya. Karena Pak Rahman, bosnya, selalu memberikan kebebasan bekerja, staf pemasaran – yang kebetulan punya sifat mau menang sendiri – ini sering tidak sopan dalam mengusulkan pikiran-pikirannya.
Ia kerap tidak ingat bahwa Pak Rahman adalah pemimpin dalam rapat perusahaan. Kadang-kadang usulnya disertai teriakan: “Kalau Anda tidak menerima usul ini, mau usul yang bagaimana lagi?”
Peraturan sopan santun atasan bawahan sebetulnya sulit didefinisikan secara pasti. Tidak ada pedoman bakunya. Banyak hal yang mesti diterapkan sesuai dengan kondisi kantor yang bersangkutan.
Cuma, ada satu hal yang bisa menjadi pegangan umum: jangan terlalu memberikan kebebasan, seperti halnya jangan terlalu membatasi keleluasaan.
Dalam hal ini, Anda harus pandai-pandai menggunakan rasa, common sense. Ukur atau ulur dimana perlu dan tarik kembali pada saat yang tepat.
Unsur saling mengenal adalah faktor lain yang sangat membantu selarasnya sopan santun di sebuah kantor.
Dengan mengenal setiap pribadi yang ada di dalam kawasan kerja, kita tahu dengan pasti sedang berhadapan dengan siapa.
Jangan sampai terulang kejadian berikut ini di sebuah kantor periklanan yang amat terkenal di Jakarta Selatan.
Suatu pagi, resepsionis kantor tersebut berteriak menahan seorang pria yang nyelonong begitu saja tanpa melapor lebih dulu ke sang resepsionis.
Ternyata, si pria – yang jarang muncul dikantor – berjalan terus. Apa boleh buat, ia adalah sang presiden direktur.