Beritaenam.com, Jakarta – Forum Induk Pengobat Tradisional Indonesia (FIPTI), hari Senin (10/1/2019) mendatangi gedung DPR RI dan mengadakan dengar pendapat dengan Komisi III dalam masalah PP 103, yang dirasakan sangat membelenggu para pengobat Tradisional di Indonesia dalam melakukan prakteknya .
Bertempat di gedung DPR RI Nusantara I, Forum Induk Pengobat Tradisional Indonesia (FIPTI), yang di ketuai oleh Bruri Mahendra bertemu dengan Komisi III, Tengku H. Nasri Jamil, meminta agar di arahkan ke Komisi IX dan berharap ada tanggapan pemerintah untuk memberi solusi.
Dalam pertemuan tersebut ada uraian 4 pilar tuntutan FIPTI:
- Mengingat bahwa pengobatan tradisional berakar pada aspek Tradisi, turun temurun, aspek Soaial budaya, etnik dan agama, maka Pengobat Tradisional harus berdiri sendiri berdasarkan keilmuan tradisionalnya dan tanpa harus dibenturkan dan atau harus dicampur adukan dengan keilmuan pengobatan konvensional..
- Karena dasar keilmuan Pengobat Tradisional adalah bermuara pada nilai nilai Empiris yang turun menurun maka perlu diberi kebebasan untuk menentukan jenis pendidikannya sendiri yakni melalui lembaga pendidikan Nonformal atau kursus kursus yg disesuaikan dengan program kementrian pendidikan ( leveling ) tanpa harus di paksakan untuk kuliah D3.
- Dengan pengetahuan dan dasar keilmuan tradiaionalnya maka Pengobat Tradisional diberikan keleluasaan melakukan praktek pengobatannya baik invasif maupun non invasive sesuai dengan batas batas keilmuannya sebagai pengobat tradiaional.
- Pengobat tradisional diberi ruang untuk memperkenalkan dirinya dan pengobatannya di publik dengan batasan batasan yang wajar berdasarkan SOP tiap – tiap ospro dan Pengobat Tradisional diberi peran dlm deteksi dini dan monitoring tanda penyakit dengan alat periksa yang telah digunakan masyarakat umum (termometer. timbangan. tensimeter digital, kita periksa gula darah mandiri) dan diberi ruang untuk memperkenalkan dirinya dan metoda pengobatannya dengan batasan- batasan yang wajar. Metode pemakaian alat kesehatan umum dapat diajarkan oleh tenaga kesehatan sebagai bagian pemberdayaan battra dlm deteksi dini dan monitoring mandiri penyakit.
Menurut Mahendra, para pelaku pengobatan alternatife sudah sangat resah terhadap PP 103 ini, karena PP itu dianggap mematikan usaha pengobatan alternatif yang melestarikan kebudayaan dan sudah dilakukan turun temurun, dan merupakan bagian dari kearifan lokal Indonesia.
“Para pelaku Pengobatan tradisional ini sudah sangat resah terhadap PP 103 ini, di mana sudah mematikan usaha pengobatan tradisional mereka” kata Mahendra.
Mahendra mengatakan, harapan sudah disampaikan bahwa keluh kesah pengobatan tradisional ini harus dilihat sebagai sebuah upaya agar hak-haknya di perhatikan.
“Harapan sudah kita sampaikan, bahwa keluh kesah pengobatan tradisional ini mereka harus melihatnya sebagai sebuah upaya untuk di perhatikan hak-haknya” kata Mahendra.
Menurut Mahendra banyak hal yang di rugikan dengan adanya PP 103 ini, antara lain, tidak boleh berpromosi, pada saat praktek mereka di haruskan berpendidikan D III.
“Ini yang kami anggap salah satu sangat merugikan, karena pengobat tradisional ini kan banyak yang turun temurun” kata Mahendra.
Saat bertemu dengan Komisi III yang di wakili oleh Tengku H. Nasri Jamil, FIPTI di arahkan agar bertemu dengan komisi IX.
“Apa yang di sampaikan oleh H. Nasri Jamil bahwa kita di minta ke komisi IX, harapannya dari sana kita akan dengar pendapat antara pengobat tradisional, pemerintah dan DPR” imbuhnya.
Untuk PP 103 sendiri menurut Mahendra ada beberapa hal yang perlu di revisi.
“Yang pertama, status pengobatnya, di mana statusnya adalah bukan pengobat, melainkan penyehat. Tidak boleh melakukan pengobatan, tapi hanya perawatan. Hal tersebutlah di anggap bertentangan dengan aspek-aspek pengobat. Bahwa seorang pengobat tradisional bisa mengobati hal-hal yang tidak terjangkau oleh medis. Hal inilah yang di batasi” kata Mahendra.
“Yang ke-dua, hak-hak sebagai warga Negara yang memiliki kemampuan empiris dalam hal pengobatan tradisional di hambat prakteknya yang di haruskan mengikuti program D III. Sementara aspek keilmuan pada tradisional dan D III berbeda” lanjutnya.
Banyak dari pengobat tradisional mengalami kesulitan kalau harus mengikuti program D III, karena sebagian besar belum ada. Fasilitas ynag belum di siapkan oleh pemerintah dan dari sisi faktor biaya yang tidak terjangkau untuk pengobat tradisional.
“Saya kira ketika PP 103 ini di terapkan aspek budaya, aspek sosial dan aspek agama itu banyak yang di langgar” kata Mahendra.
Jim Paul sebagai Wakil ketua juga berpendapat bahwa dengan adanya PP 103 ini berbenturan dengan banyak peraturan.
“Perlu kita revisi dan kita mengajak pihak pemerintah dan lintas kementerian untuk mencari solusi tentang PP 103 ini, karena ini juga berdampak kepada Lembaga Pendidikan Khusus Pengobatan Tradisional” kata Jim.
Setelah pertemuan ini rencananya awal Februari langsung RPPU.
“Langsung RPPU” tutup Mahendra.