Media Sosial menyebabkan gangguan kesehatan mental. Studi ini melihat pengaruh media sosial meliputi Facebook, Twitter, obrolan atau chat terhadap kesehatan mental orang dewasa di Indonesia.
Hasilnya, penelitian ini menyimpulkan penggunaan medsos yang berlebihan berbahaya bagi kesehatan mental karena dapat menyebabkan depresi. Peningkatan penggunaan media sosial dikaitkan dengan peningkatan skor CES-D atau skala depresi pada seseorang sebesar 9 persen.
“Temuan menunjukkan bahwa penggunaan media sosial membahayakan kesehatan mental orang dewasa; peningkatan satu standar deviasi dalam penggunaan media sosial oleh orang dewasa dikaitkan dengan peningkatan skor CES-D sebesar 9 persen,” tulis peneliti dalam abstrak penelitian tersebut dalam Springer.
Hasil studi ini membuat peneliti menyarankan adanya kebijakan yang dapat membuat orang dewasa bijaksana dalam menggunakan media sosial.
“Temuan menunjukkan bahwa kebijakan yang menawarkan saran untuk penggunaan media sosial online yang bijaksana diperlukan untuk melindungi orang dewasa dari efek bahaya media sosial online pada kesehatan mental mereka,” tulis penelitian.
Pggunaan media sosial secara tidak tepat dan berlebihan dapat memberikan dampak negatif, baik fisik, psikologis, dan sosial. Dampak secara fisik, misalnya, masalah penglihatan dan masalah tidur. Penggunaan media sosial membuat individu menatap layar terlalu lama sehingga dapat membuat mata kelelahan.
Tidak jarang juga kita temukan orang-orang yang sebelum tidur terbiasa untuk mengecek media sosialnya, yang pada awalnya hanya berencana membuka selama 10 menit, tanpa sadar terus melihat-lihat hingga berjam-jam dan mengganggu jam tidur mereka.
Sedangkan masalah psikologis yang dapat muncul adalah cyberbullying, memunculkan ketergantungan dengan media sosial (adiksi), keterampilan sosial yang kurang baik, dan merasa kesepian.
Selain itu, penggunaan media sosial secara berlebihan juga bisa berdampak negatif pada gambaran diri yang kurang baik.
Jika terus berada dalam kondisi tersebut, maka tidak menutup kemungkinan muncul masalah atau gangguan psikologis, seperti kecemasan dan depresi.
Diharapkan masing-masing individu bisa melakukan refleksi diri dan lebih bijak menggunakan media sosial. Misalnya, menentukan batas atau membuat jadwal kegiatan yang bisa menggantikan penggunaan media sosial. Jika digunakan secara tepat, maka media sosial dapat berguna bagi kita.
Sementara itu, dilansir National Center for Health Research, remaja yang menghabiskan waktu lebih dari lima jam sehari di media sosial. 71 persen lebih berpotensi untuk mengalami gangguan mental.
Angka tersebut lebih besar dibandingkan remaja yang hanya mengakses media sosial satu jam dalam sehari. Terdapat beberapa jenis gangguan mental yang bisa dipicu, diantaranya.
1. Depresi, menurut dr. Jean bahwa resiko ini menjadi dari kecanduan gedget atau media sosial. Orang yang mengalami depresi akan merasakan kesedihan yang dalam dan tidak sebentar. Apalagi itu jika terjadi kepada anak-anak kalau dilarang atau dibatasi untuk menggunakan medsos.
2. Fear of Missing Out (FOMO) adalah kondisi di mana seseorang takut merasa tertinggal dari keramaian. Dalam hal ini informasi yang ada di media sosial. FOMO membuat seseorang kecanduan mengakses Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, dan lainnya.
Penderita FOMO akan merasa cemas jika mereka tidak terhubung dengan media sosial walaupun hanya beberapa menit. Sayangnya kebanyakan dari mereka tidak menyadari bahwa perilaku tersebut bukanlah hal yang wajar.
3. Borderline Personality Disorder (BPD), pernahkah kamu merasa ditinggalkan oleh teman saat melihat post Instagram mereka yang sedang hang out tanpamu? Ini adalah salah satu tanda dari Borderline Personality Disorder (BPD). Gangguan ini biasa dialami oleh para dewasa muda.
4. Social media anxiety disorder, orang yang mengalami social media anxiety disorder menunjukkan perilaku yang mirip dengan orang kecanduan media sosial. Mereka tidak bisa lepas dari handphone untuk mengecek akunnya. Mereka juga terobsesi pada jumlah followers, likes, dan komentar di post mereka. Jika jumlahnya tidak sesuai dengan apa yang diekspektasikan, mereka akan merasa cemas dan gelisah.
5. Body Dysmorphic Disorder (BDD), “Wah body goals banget!” komentar tersebut sering terlihat di akun media sosial public figure yang memiliki tubuh hampir sempurna. Followers mereka pun terinspirasi untuk mengikuti tips diet dan pola makannya.
Namun tidak semua orang bisa menyikapinya dengan positif. Sebagian malah semakin merasa insecure dan tidak pede dengan penampilan tubuhnya. Mereka termasuk orang-orang dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD).
6. Munchausen syndrome, media sosial memang tempat yang cocok untuk mencari ketenaran. Tidak jarang orang biasa yang tiba-tiba menjadi terkenal di media sosial akibat prestasi, tingkah lucu, bakat, dan lain-lain. Namun tidak dengan pengidap munchausen syndrome.
Mereka menggunakan cara yang tidak benar, yaitu dengan memalsukan kisah hidupnya. Biasanya orang dengan munchausen syndrome suka mengumbar cerita sedih hingga memalsukan penyakit. Semua dilakukan untuk mendapatkan perhatian orang lain.
7. Narcissistic Personality Disorder, dilansir dari Medical Xpress sebuah studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan, termasuk mengunggah selfie dan foto diri, memiliki kaitan dengan narsisme. Ini lebih banyak ditunjukkan oleh pengguna media sosial yang menonjolkan aspek visual seperti Instagram, Facebook, dan Snapchat.
Dikutip dari sumber yang sama, Profesor Roberto Truzoli dari Milan University mengatakan bahwa penggunaan elemen visual dari media sosial bisa meningkatkan risiko narsisme.
Narsis adalah salah satu istilah populer yang sering dilontarkan oleh kalangan anak muda untuk mendeskripsikan seseorang yang terlalu pede dan bangga akan diri sendiri, terutama, mereka yang hobi selfie berlebihan dan memamerkan foto koleksi dirinya di berbagai akun sosial media.
Narsisme pertama kali dipopulerkan oleh psikolog ternama, Sigmund Freud, untuk menjelaskan kepribadian seseorang yang mengejar pengakuan dari orang lain terhadap kekaguman dan kesombongan egoistik akan ciri pribadinya.
Narsisisme, atau yang kini lebih sering disebut narsisme, juga dianggap sebagai masalah budaya dan sosial. Banyak pakar yang menganggap bahwa narsisme merupakan salah satu dari tiga ciri utama gangguan kepribadian (dua lainnya adalah psikopati dan machiavellianisme). Tetapi, perlu dipahami juga bahwa narsisme tidak sama dengan egosentrisme.
Bedanya narsis dengan pede?
Perbedaan antara kepercayaan diri dengan narsisme terlihat jelas dari tingkat personal dan sosial.
Kepercayaan diri berbeda dari narsisme karena pada orang yang percaya diri, kualitas diri ini dibangun atas dasar keberhasilan dan pencapaian yang telah diraih, keterampilan hidup yang sudah dikuasai, prinsip dan norma yang dipegang teguh, dan kepedulian yang ditunjukkan kepada orang lain.
Sebaliknya, narsisme sering kali didasari oleh rasa takut kegagalan atau takut menunjukkan kelemahan diri, perhatian yang ingin ditujukan hanya kepada diri sendiri, dorongan yang tidak sehat untuk selalu menjadi yang terbaik, dan rasa ketidaknyamanan yang tertanam dalam di benak terhadap ketidakmampuan diri.
Narsisme mendorong kecemburuan dan persaingan yang tidak sehat, sedangkan kepercayaan diri menghargai belas kasih dan kerjasama.
Narsisme merujuk kepada dominasi, sedangkan kepercayaan diri mengakui kesetaraan. Narsisme melibatkan keangkuhan, kepercayaan diri mencerminkan kerendahan hati.
Orang yang narsis (dalam arti kata sesungguhnya, bukan istilah plesetan modern) tidak bisa menghargai kritik, sementara orang yang pede akan semakin meningkatkan diri setiap diberi kritik yang membangun.
Orang narsis akan berusaha kuat untuk menjatuhkan lawannya dalam rangka mengungguli yang lain. Orang yang penuh dengan kepercayaan diri akan menghargai setiap lawannya sebagai manusia.