beritaenam.com, Jakarta – PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengklaim kondisi cash flow atau arus kas perusahaan saat ini terjaga sehat. Hal ini menjawab tudingan Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang mengatakan PLN sebagai salah satu BUMN bangkrut.
Direktur Keuangan PLN, Sarwono Sudarto, mengatakan secara operasional perusahaan mengalami laba sebelum selisih kurs pada kuartal III 2018 sebesar Rp 9,6 triliun, meningkat 13,3 persen dibandingkan dengan tahun lalu sebesar Rp 8,5 triliun.
“Kenaikan laba tersebut ditopang oleh kenaikan penjualan dan efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan serta adanya kebijakan pemerintah DMO harga batu bara,” kata Sarwono kepada wartawan, Selasa (15/1).
Nilai penjualan tenaga listrik naik sebesar Rp 12,6 triliun atau 6,93 persen sehingga menjadi Rp 194,4 triliun dibanding periode sama tahun lalu sebesar Rp 181,8 triliun.
Volume penjualan hingga September 2018 sebesar 173 Terra Watt hour (TWh) atau tumbuh 4,87 persen dibanding dengan tahun lalu sebesar 165,1 TWh.
PLN terus mempertahankan tarif listrik tidak naik, dalam rangka menjaga daya beli masyarakat. Selain itu, agar bisnis serta industri semakin kompetitif guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Jumlah pelanggan pada kuartal III 2018 telah mencapai 70,6 juta atau bertambah 2,5 juta pelanggan dari akhir 2017, sehingga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional dari 95,07 persen pada 31 Desember 2017 menjadi 98,05 persen pada 30 September 2018. Capaian rasio elektrifikasi ini telah melebihi target 2018 yang dipatok sebesar 96,7 persen.
Sejalan dengan kemajuan program 35 GW, sejak Januari 2015 hingga September 2018 PLN telah menanamkan dana untuk investasi sebesar Rp 248 triliun pada periode yang sama peningkatan jumlah pinjaman hanya sebesar Rp148 triliun atau 60 persen dari total Investasi.
Hal ini menunjukkan kekuatan dana internal PLN masih sangat memadai yaitu sekitar 40 persen atau Rp 100 triliun dari seluruh kebutuhan Investasi tersebut.
Sementara itu, meskipun sebagian besar pinjaman PLN masih akan jatuh tempo pada 10-30 tahun mendatang, tapi berdasarkan standard akuntansi yang berlaku dan hanya untuk keperluan pelaporan keuangan, pinjaman valas tersebut harus diterjemahkan (kurs) ke dalam mata uang rupiah.
Hal itu memunculkan adanya pembukuan rugi selisih kurs yang belum jatuh tempo (unrealized loss) sebesar Rp 17 triliun.
Unrealized forex loss atau kerugian secara pembukuan akibat kenaikan kurs mata uang asing, tapi tidak berdampak kepada arus kas atau cash flow.
Unrealize forex loss yang tercatat pada laporan keuangan PLN akibat terjadinya pelemahan Rupiah, sementara Perseroan memiliki kewajiban atau utang dalam bentuk Dolar Amerika Serikat.
Bahkan seringkali kontrak PLN dengan IPP (Independent Power Producer) pun dalam bentuk dolar Amerika Serikat.
Kalau kewajiban jangka panjangnya dihitung berdasarkan kurs sekarang ini, akan terjadi yang disebut unrealize forex loss.
Kewajiban jangka panjang tersebut masih jauh masa jatuh temponya, namun hutang tersebut harus dibuku (tercatat) dengan kurs saat ini. Itulah kenapa disebut unrealize.
“Keadaan PLN jelas sehat secara cash flow. Sebab yang terpenting itu adalah bagaimana menjaga kesehatan cash flow-nya, dan PLN dalam kondisi yang sehat,” tutur Sarwono.
Sebelumnya saat bertemu relawan di Roemah Djoeang, Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, Minggu 13 Januari 2019, Prabowo menyebut banyak BUMN yang akan bangkrut. Dia mengklaim, lesunya BUMN dikarenakan para elite yang doyan makan duit negara.
“Kita lihat BUMN kebanggaan kita, satu-satu hancur, BUMN bangkrut, tanya saja Garuda pilot-pilotnya, tanya pertaminan, PLN, tanya pabrik milik negara, elite itu tak perlu kau kagumi. Aku tahu satu-satu, lagaknya saja itu,” ucap Prabowo.