Beritaenam.com — Putu Wjaya pernah bertanya dalam sebuah tulisan di majalah pria, Matra. Apa arti sebuah kejantanan?
Keberanian, ketangguhan, ketahanan, kekuatan, atau kebesaran ukuran alat vital? Apakah kejantanan itu pertanyaan untuk pria? Bagaimana dengan Srikandi yang dianggap sebagai wanita jantan?
Setelah tulisan itu, komentar dan saling sahut di komen pembaca kala itu, yang disebut dari Anda. Banyak komentar, ada yang menyebut, kejantanan dikaitkan dengan versinya masing-masing. Seru.
Bagi sementara pria, pertanyaan tentang kejantanan adalah pertanyaan yang mempermalukan. Karena kekurangjantanan, terasa jadi kehinaan. Seakan-akan kalau tak jantan, pria bukan pria.
Upaya peningkatan kejantanan merebak, meskipun diam-diam. Papan reklame pemberdayaan kejantanan selalu bersiasat.
Tabib ahli memperbesar/merekayasa alat kelamin pria, lebih suka memasang alamatnya di tempat lain agar pelanggan yang hendak masuk ke rumahnya tidak merasa dipermalukan. Rasionya, jelas yang mencari tabib pria lemah.
Ketidakjantanan menjadi aib.
Sudah waktunya blak-blakan mengupas masalah sepele tapi fatal ini. Soal kejantanan harus terhindar dari salah kaprah.
Ketidakjantanan harus di-PHK-kan sebagai virus menggagalkan cinta, rumah tangga, dan karier. Karena, walau merupakan masalah biseksual, penyandang dananya ternyata hanya pria.
Bila ada kerawanan sektor kejantanan, prialah yang jadi kambing hitam. Kejantanan harus diangkat menjadi urusan bersama lelaki-perempuan dalam proporsi yang setara.
Kejantanan selama ini hadir sebagai mitos keunggulan. Anugerah dari Atas sana. Kekurangjantanan menyebabkan orang merasa bukan bibit unggul.
Akhirnya, diam-diam impoten sendiri. Kalau itu sebuah generasi, akan terjadi krisis regenerasi.
Di satu ujung, kejantanan membawa superioritas yang berbuntut kesombongan. Di ujung yang lain, ketidakjantanan memusnahkan orang.
Dikotomi kejantanan ini membuat orang hanya punya pilihan, menjadi jantan atau mampus. Banyak orang lantas pakai ilmu menghilang, bermain sandiwara supaya tidak ketahuan cacatnya.
Malangnya, sebuah kejantanan tak mungkin eksis kalau tidak bersanding dengan ketidakjantanan. Sebaliknya, ke mana pun bersembunyi, di dekat kejantanan, semua orang akan merasa dirinya tak jantan.
Ada dua opsi yang bisa diusulkan.
Opsi pertama: bagaimana kalau kejantanan diparkir pada kepemilikan alat reproduksi lelaki saja.
Sedangkan keberanian, kebesaran, keberdayaan, ketangguhan, dan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan nyali, tak usah lagi diberi label jantan.
Tapi, dikembalikan saja pada kata sifatnya yang lebih spesifik sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Rugikah kalau kejantanan dipangkas artinya, hanya menjadi kelaki-lakian.
Akan marahkah lelaki kalau dunia lelaki tidak lagi identik dengan lebih kuat, lebih perkasa, lebih berani, dan sebagainya, karena dalam praktiknya kaum perempuan juga memiliki kapasitas untuk menjadi jantan?
Opsi kedua: kejantanan dalam pengertian biseksual jelas bukan monopoli urusan pria.
Seorang lelaki menjadi jantan apabila ada perempuan yang menjantankannya. Dalam satu adegan cinta – di mana kejantanan berarti kemampuan seksual – kejantanan terjadi karena ada kolaborasi.
Kejantanan merupakan produk dari satu teamwork kedua belah pihak. Bukan pria yang membawa takdirnya jantan, tetapi perempuanlah yang merekayasa lelaki menjadi jantan.
Kejantanan seseorang di dalam kehidupan bermasyarakat, tidak cukup terjadi karena permainan tunggal. Tetapi, karena dukungan terpadu masyarakat.
Hanya massa yang peka yang benar-benar tahu siapa di antara warganya yang betul-betul: kuat, perkasa, kenceng, tangguh, tegar, tahan lama, pendeknya jantan.
Tidak seperti yang terjadi dewasa ini, asal lantang suara, besar mulut dan tebal muka, dinobatkan menjadi manusia jantan. Kejantanan merupakan sebuah proses kolektif. Kalau menurut Anda, saat ini gimana?
Kiat mendongkrat semangat: klik ini