Beritaenam.com – Kartu kuning diberikan, itu salahnya pak de. Jadi kepala negara kok kerjanya blusukan, kerja siang malam, nggak kenal waktu libur. Udh gitu, membangun terlalu kemaruk. Infrastruktur dibangun dimana mana, jalan dibagusin.
Lihat Trans Sumatera, jadi mulus kan? Jalan Pantura, yang dulu-dulu dijadikan proyek sepanjang massa, setiap menjelang lebaran selalu diperbaiki dan tambal sulam. Coba kalau dia bangun infrastruktur sekadarnya aja, cukup di pulau jawa aja, kelar itu urusan.
Ini di Sumatra, Kalimantan, Papua yang ujung berung sono dibangun, diurusin, bahkan medan berat diterobos, gunung di belah, medan susah dibuka buat jalan.
Mungkin dia pingin pembangunan dan pemerataan, sesuai sila ke 5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dia mengontrol pembangunan dan selalu bolak balik ke lapangan, pikirnya udah dikontrol aja masih ada yang bocor-bocor dikorupsi, apalagi hanya awasi dari belakang meja. Pembangunan bisa-bisa mangkrak. Uang proyek bisa-bisa habis di bagi-bagi buat bancakan.
Salahnya pak de, jadi Presiden nggak mengikuti tradisi dan pola-pola yang sudah ada sebelumnya. Padahal kalau mau, dia bisa slow down, bangun sekadarnya aja lah nggak apa-apa, habiskan periode 5 tahun untuk menjaga stabilitas, rakyat disubsidi, harga kebutuhan pokok murah.
Rangkul semua elemen masyarakat, segala sesuatu dikompromikan. Yah, cincai lah, ai senang, you nyaman, hayaaa…tapi mungkin Dia berfikir, masak rakyat terus dikibulin, di nina bobokan dengan subsidi ini itu.
BBM disubsidi, biarpun yang menikmati adalah masyarakat menengah yang punya kendaraan. Padahal dengan subsidi dicabut, agar punya standar nilai, supaya mampu bersaing dengan negara tetangga. Karena Indonesia adalah bagian dari masyarakat global. Toh uang pencabutan subsidi nggak di makan dan di korupsi, tapi buat mbangun, buat hal yang lebih produktif daripada sekedar ‘dibakar’. Totalnya nggak tanggung-tanggung lho, 300 triliun rupiah, coba!
Pak de pak de, panjenengan itu lho. Jadi Presiden mbok yang luwes. Jangan semua di ‘sikat’. Mafia perminyakan di bubarkan, koruptor ditangkepin, sudah berapa kepala daerah kena OTT, nggak perduli itu dari partai pendukung, atau dari partai oposisi. Urusan uang rakyat, nggak ada kompromi.
Makanya banyak pihak yang sakit hati, lalu cari-cari celah untuk ngrecokin. Sampai ke masalah kelaparan di asmat, digoreng dan dikuliti. Padahal dulu-dulu juga ada, dan mungkin lebih parah dari yang sekarang. Kalau dulu kan isu bisa sikondisikan. Sekarang informasi begitu terbuka. Ya udah. Di goreng sebagai isu yang seksi. Ibarat gajah di depan mata nggak nampak, semut di seberang lautan dicari cari.
Tau nggak pak de, ada sebagian masyarakat kita yang merindukan jaman presiden yang dulu dulu. Kalau dulu kan lembaga kepresidenan sangat ‘angker’, formalistis. Semua serba diatur. Pengamanan super VVIP. Lha, panjenengan kok ya, maaf, kadang terkesan non formal. Padahal itulah mungkin style, tapi kan yang nggak suka bilangnya pencitraan. Padahal apalah arti penampilan. Nilailah hasil kerjanya.
Pak de sih, kerja, kerja aja yang ada dalam jadwalnya. Sepertinya nggak ada waktu untuk diri dan keluarga. Sampai-sampai ada yang mengkritik, seorang pemimpin tidak hanya kerja, tapi juga memberikan narasi, atau kata-kata. Makanya beda banget dengan sosok seorang kepala daerah di antah berantah yg tiap hari kerjanya merekonstruksi kata-kata dan logika….
Sebagai Presiden, sangat mungkin memanfaatkan jabatannyanya untuk memperkaya diri, atau memberi kesempatan buat anak dan kroni-kroninya. Lha ini panjenengan nggak. Bahkan anaknya malah jualan martabak dan roti bakar pinggir jalan. Nggak bonavide amat! Mbok kayak Presiden yang dulu, anak-anak dan kroninya punya bisnis yang keren. Punya perusahaan konglomerasi.
Enak jamanku to? Kata sebagian orang yang rindu masa lalu.Ya enak. Tapi karena terlalu nyenyak, ekonomi kropos, dan efeknya masih dirasakan sampai saat ini. Pak de juga yang kena getahnya. Semua salahnya pak de