Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo memastikan pengadaan barang dan jasa di lembaganya dilakukan secara terbuka dan akuntabel.
BNPB juga membentuk tim dengan memasukkan unsur dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai bagian dari transparansi proyek.
Doni menerapkan metode transparansi berupa paraf persetujuan ke semua deputi untuk setiap kebijakan pengadaan barang dan jasa.
“Tujuan saya memproteksi diri dan lembaga. Sebab, mana mungkin saya bisa mengawasi semua?” ujar Doni dalam wawancara dengan jurnalis di kantornya, kemarin.
Wawancara dengan Doni berlangsung bersama tenaga ahli Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, H.M. Nasser.
Penjelasan ini sekaligus mengklarifikasi laporan majalah Tempo, edisi pekan ini, bersama Klub Jurnalis Investigasi dan Indonesia Corruption Watch (ICW) ihwal investigasi pengadaan alat tes Covid-19.
Dalam laporan itu disebut-sebut puluhan rumah sakit mengembalikan ratusan ribu alat tes dari BNPB.
BPKP menemukan selisih hingga ratusan ribu reagen yang terdistribusi dan tercatat senilai Rp 40 miliar hingga Agustus 2020. Sedangkan ICW menemukan dugaan potensi kerugian negara sekitar Rp 170 miliar.
Nasser lalu menjelaskan awal mula pengadaan reagen. Dia menuturkan, lebih dari sebulan setelah kasus Covid-19 pertama terdeteksi, pemerintah masih kelimpungan mencari alat testing virus.
Saat itu, kata dia, pemerintah baru mendapat 10 ribu alat tes reagen. Namun, kata Nasser, bahan kimia untuk mendeteksi virus corona itu bakal habis dalam beberapa hari ke depan.
Karena stok menipis, pada 13 April 2020, Nasser datang ke kantor BNPB.
Di sana dia menemui Kepala BNPB Doni Monardo untuk menyusun rencana pengadaan alat tes Covid-19 secara massal.
Dalam rapat bersama BNPB tersebut, Wakil Ketua Dewan Pakar Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu diminta memaparkan sejumlah langkah.
Nasser menyarankan, pertama, agar membeli reagen karena Kementerian Kesehatan sama sekali belum membelinya. “Kedua, memperbanyak jumlah laboratorium pengetesan,” ujar Nasser.
Dia mengatakan, saat pemerintah membutuhkan alat tes, seorang pengusaha sempat menawarkan harga Rp 728 ribu untuk setiap produknya.
Nasser menilai harga alat tersebut sangat mahal. Nasser mencari yang lain. Lalu, akhirnya datang sumbangan reagen Sansure dari perusahaan Unilever sebanyak 25 ribu dan dari PT Mastindo Mulia sebanyak 50 ribu alat tes.
Nasser mendapat informasi bahwa Sansure didatangkan dari Cina. Ia juga melihat daftar berbagai jenis alat tes yang diproduksi Cina.
Nasser berdiskusi dengan sejumlah sejawatnya ihwal keampuhan reagen Sansure. Seorang sejawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta, menyebutkan bahwa reagen efektif mendeteksi virus corona. Reagen juga memiliki tingkat stabilitas dan sensitivitas yang baik. Setelah mendapat informasi yang sahih,
Nasser meminta saran sejawatnya ihwal perusahaan yang bisa mendatangkan reagen. Seorang rekannya mengirimkan daftar nama lima perusahaan. Nasser lalu mengontak kelima perusahaan itu, tapi hasilnya nihil.
Belakangan, dari rekannya, Nasser mendapatkan nama Budiyanto A. Gani, pemilik PT Trimitra Wisesa Abadi. Budiyanto awalnya ogah menerima tawaran tersebut karena harga yang ditawarkan pemerintah dianggap tak menguntungkan.
Tapi Nasser meyakinkan bahwa BPKP yang memberikan harga.
Setelah alat tes didatangkan, pada Mei, BNPB mendistribusikan reagen tersebut pada 88 laboratorium di 31 provinsi.
Menurut Nasser, sejumlah laboratorium tidak dapat mengerjakan alat tes tersebut karena persoalan metode pengerjaan.
Dia mengatakan, RNA kering dan basah tidak dapat dikombinasikan dengan baik. Pada 13 Agustus, BNPB bersama BPKP memutuskan menarik reagen yang tidak dapat digunakan untuk didistribusikan kepada laboratorium yang cocok.
“Redistribusi itu terus dilakukan hingga stok Sansure habis,” kata Nasser.
Juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menjelaskan bahwa lembaganya hanya ketiban tanggung jawab untuk mengadakan reagen lantaran Kementerian Kesehatan tak sanggup mendatangkan alat tes dalam waktu singkat.
“Pada 2021 ini kami ingin mengembalikan tugas dan tanggung jawab ini ke Kementerian Kesehatan. Tapi testing juga belum siap,” kata Wiku.