beritaenam.com, Jakarta – Koalisi Adil Makmur, pengusung pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, diindikasikan mulai goyah. Partai Amanat Nasional (PAN), salah satu anggota koalisi, memiliki gelagat akan berpindah koalisi.
Indikasi ini diperkuat setelah pertemuan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Joko Widodo, calon presiden (capres) petahana. Pengurus PAN pun membuka kemungkinan untuk kembali mendukung Jokowi, seperti pada pemerintahan 2014-2019.
Ketua Mahkamah PAN Yasin Kara mengatakan sangat terbuka bagi pihaknya berpindah koalisi. Senada dengan Yasin, Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan juga mengamini bila PAN kemungkinan bisa pindah ke koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin.
“Ya terbuka,” ujar Bara, Minggu, 28 April 2019.
Bara mengatakan memang belum ada pembahasan resmi di tubuh partai soal kemungkinan pindah koalisi. Namun, sudah ada beberapa orang yang menyuarakan hal itu di internal partai. Ia mengatakan perubahan arah sangat mungkin dilakukan.
Kepastiannya akan dibahas pascapengumuman pemenang pemilu presiden secara resmi oleh KPU, Rabu, 22 Mei 2019.
“Kita akan lihat posisi apa yang terbaik diambil oleh PAN untuk lima tahun ke depan” ujarnya.
Namun, calon wakil presiden (cawapres) nomor 02 Sandiaga Uno menepis isu adanya perpecahan di tubuh koalisinya. Sandi juga membantah adanya isu Partai Demokrat mulai didekati kubu Jokowi-Amin.
“Saya selalu berkontak dengan Mas AHY (politikus Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono). WA-WA-anlah, biasa itu sesama anak Jaksel (Jakarta Selatan). Jadi, no issue. Kita solid,” tandas Sandi di Masjid At-Taqwa, Jakarta, kemarin, seperti dikutip dari medcom.id
Sebelumnya, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional TKN Jokowi-Amin, Abdul Kadir Karding, menyebut Jokowi terus menjalin komunikasi dengan elite Demokrat. Hal ini termasuk Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan AHY.
Meredam suasana
Pasangan capres-cawapres nomor 01 Jokowi-Amin berdasarkan hasil Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) Komisi Pemilihan Umum masih memimpin. Jokowi mendominasi dengan raihan suara sekitar 56,29 persen, sedangkan Prabowo meraup 43,71 persen.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, mengatakan, jika becermin pada hasil hitung cepat, sulit untuk tidak menyatakan pemenang pilpres sudah diketahui. Namun, kata dia, jika hendak menunggu hasil real count (RC) KPU pada 22 Mei, tidak pula salah.
“Jangan kemudian menyatakan bahwa akan menunggu hasil RC KPU, tetapi menyatakan KPU curang. Itu dua sikap yang berseberangan satu sama lain,” ujar dia, tadi malam.
Mestinya sikap partai yang kalah meredam suasana tanpa harus bergabung dengan koalisi yang menang.
“Hal ini agar konsep checks and balances tetap terlaksana,” tandas dia.
Senada, pakar politik LIPI Syamsuddin Haris tidak setuju jika partai dari koalisi yang kalah nantinya berpindah ke koalisi yang menang.
“Demokrasi yang sehat membutuhkan kekuatan oposisi yang signifikan,” ujar Haris.