Beritaenam.com, Jakarta – Komnas Perempuan mengecam Mahkamah Agung (MA) yang memvonis Baiq Nuril 6 bulan penjara. Baiq Nuril divonis penjara karena merekam perilaku mesum kepala sekolah.
Menurut Komnas Perempuan, vonis terhadap Nuril tidak pas karena dianggap sebagai korban pelecehan seksual.
“Atas kondisi itu Komnas Perempuan memberikan perhatian serius pada pelecehan seksual yang dialami BN (Baiq Nuril) dan upayanya membela diri. Komnas Perempuan telah memberikan keterangan sebagai Ahli dalam persidangan kasus ini di Pengadian Negeri (PN) Mataram, yang telah memutus bebas BN dari dakwaan melakukan pelanggaran UU ITE, yang saat ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung,” ucap komisioner Komnas HAM, Yunianti Chuzaifah, Jumat (16/11/2018).
Dalam pandangan Komnas Perempuan, putusan Mahkamah Agung ini telah tidak sejalan dengan semangat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3/2017 tentang Pedoman Hakim mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
“Pedoman Hakim mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Perma 3/2017), yang mencoba untuk mengintegrasikan dimensi gender dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan,” tuturnya.
Komnas Perempuan juga memberikan pandangan ke MA agar kasus ini tak terulang, antara lain:
1.Tindakan BN merekam kejadian sebagai upaya mandiri atas haknya membuktikan dirinya mengalami pelecehan seksual (dalam ketimpangan relasi kuasa), yang dalam hal ini dilakukan oleh Pelaku sebagai atasannya (melanggar Pasal 294 KUHP) dan serius menunjukkan dirinya tidak ada hubungan khusus dengan pelaku;
2.Pandangan Hakim Kasasi terhadap BN melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE dimana tindakan BN secara hukum dianggap memenuhi unsur sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah melanggar Filosofi UU ITE. UU ITE disahkan guna menjawab tantangan digunakannya teknologi untuk melakukan kejahatan. Sementara BN menggunakan teknologi untuk membela dirinya dari kejahatan yang paling sulit dibuktikan dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam konteks ini ada ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan BN;
3.Norma substansi pengaturan Pasal 27 ayat(1) jo. Pasal 45 ayat(1) UU ITE merentankan perempuan korban pelecehan seksual untuk dikriminalkan, akibat sistem hukum yang tidak mutahkir dalam mengupayakan perlindungan terhadap perempuan korban pelecehan seksual. Kerentanan perempuan mengalami kriminalisasi sebanding dengan kerentanan menjadi korban kekerasan seksual itu sendiri. Praktik perempuan korban harus membuktikan dirinya mengalami kekerasan seksual membuat kecenderungan mengadakan barang bukti melalui teknologi terus berlangsung;
4.Hukum formil belum mengakui teknologi sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam tindak pidana pelecehan seksual sehingga UU ITE tidak layak digunakan dalam kasus yang penuh ketidakmutakhiran perlindungan terhadap perempuan korban;
5.Pelecehan seksual yang dialami BN dalam sistem hukum belum ada kemutakhiran sistem pembuktian, sehingga upaya menggunakan teknologi merekam digunakan untuk melawan kejahatan itu sendiri. Perbuatan BN merekam tindakan pelecehan seksual sebagai bentuk asusila sebagai hak BN dalam mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai manusia dan perempuan.
Sumber: detik.com