Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut baik usulan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana masuk menjadi RUU Prioritas Tahun 2021 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
“Dengan menjadi UU maka akan memberikan efek dan manfaat positif bagi dilakukannya ‘asset recovery’ dari hasil tipikor (tindak pidana korupsi) maupun TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang),” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
KPK menilai penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara saja.
“Namun, akan lebih memberikan efek jera bagi para pelaku tipikor maupun TPPU apabila juga dilakukan perampasan aset hasil tipikor yang dinikmati oleh para koruptor,” ujar Ali.
Ia mengatakan perampasan aset dari para pelaku berbagai tindak pidana korupsi dan TPPU dapat memberikan pemasukan bagi kas negara yang bisa digunakan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat.
Sebelumnya, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly sebagai wakil pemerintah untuk mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai RUU Prioritas 2021 atau setidaknya pada 2022.
“Sehubungan dengan tidak adanya lagi ‘pending’ isu, PPATK meminta kesediaan Kemenkumham sebagai wakil pemerintah untuk mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai RUU Prioritas tahun 2021 atau setidaknya RUU Prioritas 2022. Hal ini sejalan dengan kerangka regulasi RPJMN tahun 2021 yang dibahas dan disepakati di Bappenas,” kata Dian Ediana Rae dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Senin (15/2).
Dalam kesempatan itu Dian Ediana Rae mengatakan saat ini regulasi Indonesia memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset yang merupakan hasil tindak pidana.
Berdasarkan hasil pemantauan PPATK, diperoleh informasi bahwa upaya penyelamatan aset atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal, khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia.