Beritaenam.com — Sehabis kawin, Ardi, bekas model terkenal, kini lebih banyak berdiam di rumah. Sehari-harinya, dia cuma membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer atau Robert T. Kyusoki.
Ia menyatakan pensiun dari kehidupan ingar-bingar dunia selebriti. Bahkan, dia enggan bekerja lagi. Sekalipun untuk bikin event organizer seperti yang dilakukan teman-temannya.
Urusan finansial, dia serahkan sepenuhnya pada istrinya, Renny. Maklum sebagai biduan bersuara seksi, namanya memang lagi harum.
Penghasilannya melambung tinggi. Sekali show, dia dihonori duit antara Rp50 juta-Rp100 juta. Kalau sebulan 10 kali manggung, ya, cukuplah semua kebutuhan suami dan dua anaknya terpenuhi.
Orang luar melihat keluarga Ardi-Renny itu terlihat harmonis. Ardy menikmati betul perannya sebagai house husband saja alias “Bapak Rumah Tangga”.
Dan itu ada sebabnya, sebenarnya Ardi bukan tipe pria pemalas. Ia memiliki kilah. Renny, sang istri, tipe perempuan pencemburu berat. Yang ada di benak Renny curiga melulu. Ke mana pun Ardi pergi, si istri selalu mengintil.
Pikir punya pikir, akhirnya ia pun memutuskan untuk tinggal di rumah. Ia rela merawat rumah dan dua anaknya. Hal itu lebih baik ketimbang dikejar-kejar sang istri. Biarlah Renny yang mencari nafkah.
Namun belakangan, hatinya terusik. Ardi merasa tertekan. Sebagai kepala keluarga dia merasa terhina dan tak punya harga diri, lantaran tak mampu memenuhi nafkah keluarga. Inilah yang memicu pertengkaran mereka akhir-akhir ini.
Tak disangka, lima tahun perkawinan pun berakhir nestapa.
Kasus Ardi memang tak asing di ranah psikologi.
Mengutip pendapat Monty P. Satiadarma, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta, perilaku Ardi bisa disebut pasif agresif.
“Dia melakukan tindakan penyerangan pada sang istri, tapi secara pasif,” ujar psikolog klinis dan keluarga itu. Istilah Jawanya mutung alias ngambek.
Yang jadi masalah berat, jangan-jangan Ardi juga menderita dequorum, istilah psikologi untuk menunjukkan ciri orang yang mengalami problem psikologi sehingga menimbulkan trauma mendadak. Yang tadinya suka nongkrong di kafe bareng teman-temannya, tapi kini batang hidungnya jarang kelihatan.
Namun jangan lupa, banyak juga pria yang merasa inilah kesempatan emas. Keluarlah jurus aji mumpung. Ini persoalan lain lagi.
Monty menambahkan, terminologi ini dikenal sebagai depending personality. Modalnya menikah cuma celana dalam doang. Hanya mengandalkan penghasilan sang istri. Tidak mandiri dan pemalas.
Bukan muskil, suami semodel anak mama ini ada di sekitar kita. Hidupnya bergantung pada orang lain.
Lelaki ini lebih senang menggantungkan hidup pada orang terdekat di sekitarnya, semacam orang tua, paman, atau sepupu. Sejak awal pernikahan, justru dia memilih yang untuk tidak bekerja. Kata Monty, “Orang-orang semacam ini tidak memiliki keterampilan hidup.”
Jika begini kejadiannya, biasanya akan muncul pola kompensasi. Pria anak mama menjadikan keluarganya sebagai tameng. Orang lain menjadi kambing hitam untuk mengekpresikan dirinya. Jual kecap manis ke sana kemari, dan mengobral teori-teori hebat. Tapi saat ditinggal sendiri penyokongnya, ia akan kebingungan sendiri.
Lebih jauh Monty mengingatkan, tak selamanya pria yang berdiam di rumah berkonotasi negatif.
Ada tradisi pada masyarakat tertentu, sang lelaki justru harus tinggal di rumah. Bali contohnya. Pada zaman dulu, masyarakat Bali yang beragama Hindu itu mengharuskan pria Bali berdiam di rumah. Sedangkan sang istri mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga.
Diamnya lelaki di rumah sudah dianggap beribadah kepada dewa. Diam identik dengan meditasi. Pekerjaan suami hanya menyabung ayam dan sembahyang. Berabad-abad lamanya, sistem nilai ini begitu dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali.
“Ini bukan disebut kelainan psikologi,” ujar Monty. Sekarang, tradisi ini sudah ditinggal jauh-jauh, tinggal romantisme masa lampau.
Baik pria yang mengalami gejala pasif agresif maupun dependent personality, biasanya akan menimbulkan dampak jelek bagi dirinya sendiri.
“Lingkungan akan menjatuhkan sanksi sosial buat mereka, misalnya dicueki,” kata Monty.
Walhasil, dengan hukuman itu, mereka merasa tertekan dan ujungnya depresi. Gejala depresi bisa ditunjukkan oleh perilaku yang menjadi pendiam, selera makan pun hilang. Tidur pun jadi terganggu.
Pada suatu titik yang sangat ekstrem, lelaki-lelaki semacam itu akan merasa teralienasi atau terasing.
Dampaknya kian destruktif, istimewanya pada diri sendiri. Gawatnya di saat-saat genting itu mereka cenderung ingin bunuh diri.
Orang-orang ini akan melontarkan pernyataan yang menarik perhatian orang lain. Misalnya, “Aku ingin lari jauh,” atau “Aku bosan dengan dunia ini”.
Tingkahnya pun jadi aneh. Dia akan mengumpulkan barang-barang yang pernah dikoleksi dari orang-orang yang dicintainya, dan diserahkan kepada orang lain.
Ia merasa barang-barang itu semua sudah tak berguna. Termasuk dirinya. “Nyaris 90% orang yang menunjukkan gejala seperti ini,” tutur Monty, meneruskan, “akan melaksanakan niatnya.”
Kebanyakan proses bunuh diri berhasil lantaran lingkungan sekitarnya yang kurang tanggap. Lingkungan sekitar tidak menggubris ancaman halus tersebut. Oleh sebab itu, lingkungan harus segera merespons gejala ini dengan memaksa penderita datang ke psikiater.
Lain cerita kalau para suami yang memang pekerjaannya banyak menghabiskan waktu di rumah. Ambil contoh para penulis atau pengusaha toko.
Di Amerika sendiri, akuntan dan arsitek justru sering bertugas di rumah. Bahkan, menurut riset 1990-an, 25% pria-pria di AS dengan bangga menyatakan dirinya sebagai “House husband”. Pria-pria house husband ini yang mencuci, menyetrika, atau memasak makanan.
Munurut Monty, sesungguhnya, house husband sejati amat banyak di Indonesia. Kasusnya ibarat gunung es, kelihatannya cuma pucuknya.
Laki-laki Indonesia gengsi disebut “Bapak Rumah Tangga”, merasa terlecehkan dan turun harga diri. Sebabnya, adat ketimuran selalu menempatkan lelaki sebagai provider (penyedia), protector (pelindung), dan loving leader (pemimpin yang penuh kasih). Adapun istri menjalankan fungsinya sebagai pengasuh anak.
Yah, tapi zaman sudah berubah, Bung. Perempuan terkadang lebih hebat ketimbang lelaki. Kalau memang faktanya Anda lebih suka di rumah, mengapa tak ambil keputusan berani menyatakan diri sebagai house husband? Siap berani?
sumber: majalah matra edisi cetak
– Tetap Berwibawa di Keluarga
Keluarga Anda tidak harus kiamat, meski istri bekerja, sementara Anda menjaga anak-anak di rumah.
Si buah hati tidak selalu tumbuh menjadi troublemaker, anak bermasalah, kendati ibunya tidak selalu di rumah. Rumah tangga dapat tetap mesra dan harmonis kendati sang mama aktif di kantor. Cobalah beberapa tip praktis ini:
– Keluarga Nomor Satu
Ingatkan sang istri bahwa keluarga adalah nomor satu. Keluarga jauh lebih penting daripada segalanya. Keluarga yang sehat akan menghasilkan generasi yang jempolan pula.
Maklum saja, bukan rahasia lagi jika kecenderungan orang yang bekerja lazimnya menempatkan uang sebagai raja.
Tapi ingat juga, uang tak mampu membeli kebahagiaan. Komunikasilah kuncinya. Kalau istri tak sempat menelepon ke rumah, Anda yang harus proaktif.
Sekadar bertanya, “Sudah makan siang, sayang?” bisa menyejukkan hati sang istri. Sambungkan telepon ke anak Anda. Biarkan mereka berbicara.
-Tak Perlu ke Hawaii
Atur mufakat bersama. Tentukan hari-hari khusus untuk keluarga, umpamanya di setiap akhir pekan.
Manfaatkan momen-momen itu agar benar-benar berkualitas. Bersenda gurau, bermain, bercengkerama, dan berbincang dari hati ke hati dengan keluarga, tanpa perlu diributi suara TV atau dering telepon. Kalau perlu, matikan TV dan telepon Anda.
Boleh juga sesekali menjadwalkan liburan bersama. Tentu saja diselaraskan dengan kondisi kocek.
Ingat, bukan hanya Anda dan istri saja yang bisa stres, anak-anak pun pun bisa sewot lantaran tugas sekolah.
Tidak perlu pelesiran jauh-jauh ke Singapura atau Hawaii, yang penting ada suasana lain. Bahkan, hanya berkunjung ke taman bermain, menggelar tikar, dan menikmati bekal sendiri pun asyik.
-Bulan Madu Kedua
Mengingat pekerjaan sang istri yang menumpuk, tambahan pula kegiatan anak seabrek acap kali menyita perhatian Anda.
Tanpa Anda sadari, hal itu bisa menjauhkan Anda dan istri. Itulah sebabnya Anda berdua memerlukan waktu-waktu khusus. Tanpa satu manusia pun, termasuk anak. Boleh juga, sih, menggelar cande light dinner ke restoran mahal.
Kalau mau ekonomis, cukup bernostalgia ke tempat pacaran dulu, ke kantin tempat dulu sama-sama kuliah misalnya.
Ditanggung bisa memberi sejuta sensasi. Apalagi, menggali memori saat-saat berpacaran, seperti kala mulai jatuh cinta. Rasa itu pasti akan memantik getaran cinta Anda. Api cinta yang mulai redup dapat berkobar lagi.
Kalau memang ada bujet lebih, bisa mengulang kembali acara bulan madu. Seorang pakar perkawinan menyarankan, setelah tiga atau lima tahun menikah, suami-istri perlu ber-honey moon untuk kedua kalinya. Eh, coba, deh, Pantai Lagoi di Batam.