Transportasi udara merupakan moda yang paling aman bahkan lebih aman daripada naik sepeda. Asalkan, semua peraturan keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh Internasional Civil Aviation Organization (ICAO) ditaati dan dilaksanakan oleh semua pemain bisnis penerbangan (bandara, ATC, maskapai, dan ground handling).
Tentunya dengan pengawasan ketat dari regulator, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara-Kementerian Perhubungan (DJU).Maskapai penerbangan Indonesia dengan kode PK (saat itu ada 55 maskapai) pernah dilarang terbang oleh semua negara Uni Eropa dan dimasukkan katagori 2 oleh Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat sejak Juli 2007.
Masuk katagori 2 FAA artinya juga dilarang terbang melintas atau mendarat di benua Amerika.
Larangan tersebut baru dicabut pada Mei 2018 melalui kerja keras dan kerja cerdas selama dua tahun oleh tim Kemenhub yang saat itu di komandoi oleh Dirjen Perhubungan Udara yang kebetulan mantan Atase Perhubungan di Washington DC.
Upaya tersebut berhasil mendongkrak performa safety penerbangan Indonesia menjadi first category dari FAA, disusul pencapaian terpenting, yaitu nilai audit effective implementation (EI) Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) dari International Civil Aviation Organization (ICAO) 80,34.
Sedangkan batas kelulusan atau nilai standar keselamatan penerbangan minimal 65. Suatu capaian yang mahadahsyat dan harus dipertahankan dengan ketat.
Namun apa daya akhir-akhir ini keselamatan penerbangan komersial Indonesia menurun. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya insiden dan eksiden penerbangan komersial.
Sejak jatuhnya Pesawat B 737 Max 8 JT 160 milik Lion Air lalu B 737-500 SJ 182 yang dioperasikan oleh Sriwijaya Air hingga puluhan insiden atau kecelakaan pesawat penumpang maupun kargo yang akhir-akhir ini meningkat.
Hal ini menunjukkan meningkatnya kecerobohan permanen dari regulator dalam mengawasi penerbangan sipil atau komersial Indonesia. Ini persoalan serius yang harus ditangani. Lampu merah penerbangan komersial Indonesia sudah menyala.
Pengawasan Mutlak
Implementasi semua peraturan keselamatan penerbangan yang dikeluarkan oleh ICAO dan sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan beserta peraturan turunannya harus dilaksanakan tanpa ada toleransi oleh semua pelaku usaha penerbangan dan regulator.
Kesalahan kecil yang dibiarkan oleh regulator akan menjadi petaka besar ketika cuaca buruk, pilot fatique, dan padatnya lalulintas udara.
Makanya UU No. 1 tahun 2009 Pasal 308 jelas menyatakan bahwa “Menteri bertanggung jawab terhadap keselamatan penerbangan nasional.” Ketegasan Menteri Perhubungan terhadap pelaku industri penerbangan.
Regulator harus melaksanakan secara utuh Civil Aviation Safety Regulation (CASR) tanpa celah. Misalnya, bagaimana sebuah pesawat bisa terbang hari itu jika ada masalah dengan dokumen Deffered Maintenance Item (DMI).
DMI merupakan dokumen yang dikeluarkan oleh Direktorat Kalaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU).
Pelaksanaan DMI harus seizin Direktur KPPU Kemenhub karena tujuan DMI adalah menunda perawatan/perbaikan/penggantian suku cadang pesawat, namun pesawat tetap boleh terbang hingga batasan tertentu.
Dokumen DMI yang sudah disetujui KPPU harus diletakkan di pesawat sebagai patokan informasi Pilot mengenai kondisi pesawat sebelum diterbangkan. Namun saat ini patut diduga ada maskapai yang melanggar peraturan ini.
DMI diletakkan di pesawat tetapi belum di periksa dan disetujui oleh Direktur KPPU atau bahkan masih dalam proses. Ini tindakan yang sangat berbahaya bagi keselamatan penerbangan.
Contoh lain, belum lama ini ada pesawat sudah lepas landas tiba-tiba layar komputer Flight Management Control (FMC) di sisi co-pilot mati, sehingga menyulitkan pengendalian pesawat karena hanya ada satu screen di sisi pilot yang bekerja/hidup. Padahal fungsi FMC adalah menyampaikan seluruh data penerbangan.
Ini sangat membahayakan keselamatan penerbangan. Pilot dan co-pilot juga akan sangat khawatir jika flight control pesawat rusak karena pesawat jadi sulit dikendalikan. Dengan kondisi seperti ini, kecelakaan fatal ada di depan mata, apalagi ketika cuaca buruk dan pilot sudah dalam kondisi fatique.
“Ngetrip” atau matinya radar Bandara Soekarno-Hatta pada 12 April 2021 pukul 17.30 – 18.00 lalu sebagai akibat sambaran petir menambah tingginya risiko menggunakan angkutan udara di Indonesia.
Petir adalah kejadian alam yang bisa diprediksi dengan bantuan teknologi. Ini bukan kejadian pertama di Bandara Soetta.
Untung terjadi saat volume penerbangan rendah karena pandemi. Saya ingat tahun 2012 juga pernah kejadian radar mati yang menyebabkan gangguan pendaratan dan tinggal landas pesawat karena pilot pesawat harus dituntun secara manual menggunakan radio Air Traffic Control (ATC) den mengandalkan visual.
Sebenarnya matinya radar bandara di ibu kota negara merupakan kejadian yang memalukan dan tidak boleh berulang.
Sekali lagi kondisi alam seperti ini sangat bisa dihindari dengan penggunaan teknologi dan ketegasan regulator mengatur dan mengawasi operasi penerbangan.
Langkah Perbaikan
Sesuai dengan hasil temuan audit USOAP tahun 2007, jumlah inspektor penerbangan di Indonesia sangat kurang dibanding dengan jumlah pesawat yang beroperasi.
Menurut USOAP, faktor inilah yang menjadi salah satu dasar penyebab tingginya angka kecelakaan pesawat terbang di Indonesia saat itu.
Indonesia menyanggupi untuk menambah jumlah inspektor ketika mengajukan pembebasan larangan terbang, namun sekarang patut diduga jumlah inspektor kembali berkurang, makanya angka kecelakaan penerbangan naik kembali.
Dil apangan saya temui beberapa sahabat yang saat kita benahi keselamatan penerbangan (2015 – 2018) bertugas sebagai inspektor tangguh, saat ini ditugaskan mengurusi administrasi di belakang meja hanya karena patut diduga ada faktor like and dislike atasan.
Sedangkan yang sekarang menjadi inspektor tidak mempunyai kemampuan sebagai inspektor tangguh. Untung inspeksi ICAO tahun lalu ditunda, kalau tidak, bisa kembali jeblok ranking kita.
Kemenhub harus segera kembali memperkuat barisan inspektor penerbangan yang andal, jangan dibuang ke belakang meja. Kemenhub juga jangan berkonsentrasi di proyek, tetapi bereskan tingkat keselamatan penerbangan yang sedang menurun.
Kementerian Perhubungan harus menempatkan orang-orang yang berintegrasi dan berkualitas Internasional dalam mengatur dan mengawasi keselamatan penerbangan sipil. Mereka harus bersertifikat dan hapal luar kepal isi dari CASR dan semua peraturan ICAO lainnya.
Jangan mudah di-“kadali” oleh operator nakal dengan menggunakan isu pandemi untuk melanggar semua keselamatan penerbangan kalau kita tidak mau lagi dikucilkan di industri penerbangan internasional.
Kita bukan bangsa yang bodoh, tetapi bangsa yang suka melanggar demi fulus dan kekuasaan, dan mengabaikan keselamatan penerbangan.
Lampu merah penerbangan harus menjadi lampu hijau kembali.
Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen