Menariknya, disebutkan di situ, ada hal positif. Yakni, pria penggemar cybersex setidaknya dapat mengerem keinginan “jajan” yang berisiko penyakit kelamin.
Beritaenam.com — Seks siber (jika di Indonesiakan) hanya suatu bentuk outercourse dalam seks seperti pijatan, rabaan, atau “memainkan” sex toys.
Cukup tekan tuts keyboard, lalu mainkan sejuta kenikmatan.
Memang, seks siber atau seks dunia maya bukan barang baru bagi sebagian kalangan. Sejak ditemukan internet di awal 90-an, kaum gay lebih dulu menjadikannya sebagai ajang mencari teman kencan secara diam-diam.
Kini, meskipun porsinya belum berimbang antara laki-laki dan perempuan, penggemar cybersex makin bertambah.
Konon, seiring pesatnya fitur-fiturteknologi internet itu sendiri.
Dalam tulisan majalah MATRA, profil para pecandu cybersex adalah lelaki dengan rentang usia antara 25 dan 55 tahun. Umumnya, mereka bertitel dan punya penghasilan tinggi.
Survei peselancar pria yang tertarik terhadap online sex, disebutkan menghabiskan waktu 11 jam seminggu hanya untuk melongok situs-situs porno.
Menariknya, disebutkan di situ, ada hal positif. Yakni, pria penggemar cybersex setidaknya dapat mengerem keinginan “jajan” yang berisiko penyakit kelamin.
Buat mereka, seks siber merupakan akses termudah, tercepat, dan lebih memuaskan gebu hasrat seksualnya tanpa harus takut penyakit.
Layanan chat seperti instant messaging, IRC chat, online dating services , chat rooms, message boards, dan e-mail.
Mereka seolah lebih hidup di dunia tanpa batas.
Memang, ada perbedaan mencolok antara pria dan wanita. Pria terangsang oleh stimulus visual atau pengamatan. Tetapi, perempuan oleh stimulus pendengaran.
Sayang riset itu tidak jadi dipaparkan lebih jauh, hanya sekedar riset internal dan ditulis di majalah yang kemudian tak semua orang membaca riset itu, soal gambar-gambar erotis.