Mafia tanah ini berkedok sebagai pembeli rumah yang memang hendak dijual. Sejumlah komplotan spesialis menargetkan rumah yang berharga belasan hingga puluhan miliar rupiah.
Untuk mendapatkan sertifikat rumah mewah itu, mereka menyiapkan dana ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk dijadikan uang muka pembelian rumah. Dengan uang muka sesuai kesepakatan ini, penjual umumnya percaya bahwa pelaku benar-benar pembeli beritikad baik. Kepercayaan inilah yang menjadi modal bagi pelaku untuk mendapatkan sertifikat tanah.
Begitu jatuh ke tangan komplotan penjahat ini, kepemilikan sertifikat langsung beralih. Proses peralihannya pun memakai beragam modus. Tak jarang pula, ada orang-orang yang dijadikan figur atau orang yang berperan seolah-olah pemilik asli. Pemalsuan identitas untuk membuat kepemilikan baru di sertifikat pun ditempuh oleh mafia tanah.
Pada beberapa kasus, muncul berkas palsu seperti akta jual beli (AJB) atau perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) palsu.
Beberapa orang yang terlibat dalam komplotan ini juga memiliki keahlian untuk membuat sertifikat palsu. Wujud fisik sertifikat palsu ini amat menyerupai sertifikat asli. Kemiripan ini membuat pemilik asli tidak menyadari bahwa sertifikat yang ada di tangan mereka adalah palsu.
Setelah mendapatkan sertifikat asli, mafia tanah pun segera mengganti nama pemilik tanah dari yang asli ke nama salah satu dari mereka. Setelah nama berganti, sertifikat asli yang mereka pegang pun diagunkan ke koperasi. Besar pinjaman yang diajukan sindikat ini jauh di bawah harga tanah itu.
Modus lain untuk ”mencairkan” sertifikat ini adalah dengan mencari pembeli perorangan. Para penjahat ini kerap berpura-pura butuh uang dan menjaminkan sertifikat asli yang bukan milik mereka. Mereka membuat perjanjian, apabila uang pinjaman tidak bisa dikembalikan, rumah yang ada di sertifikat itu bisa dijual oleh pembeli perorangan itu. Sama seperti mengagunkan ke koperasi, rupiah yang diminta kawanan ini jauh di bawah harga pasar properti yang diagunkan.
Uang yang mereka dapatkan dari mengagunkan sertifikat ini memang tidak sepadan dengan harga pasar rumah milik korban. Akan tetapi, komplotan ini memang berpacu dengan waktu untuk segera mendapatkan uang sebelum pemilik tanah menyadari sudah ditipu.
Apabila ada lembaga keuangan yang menawarkan peluang pinjaman yang lebih besar, komplotan ini tak segan memindahkan sertifikat ke lembaga keuangan itu.
Kerja rapi sindikat ini membuat aksi mereka baru terbongkar berbulan-bulan atau tahunan kemudian. Biasanya, saat itu ada calon pembeli baru atau laporan bahwa tanah mereka sudah berganti pemilik.
Saat proses pengecekan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional, barulah terungkap bahwa selama ini pemilik menyimpan sertifikat palsu.
Berkomplot
Satu komplotan umumnya memiliki perancang aksi atau otak yang membuat skenario penipuan dan pemalsuan dokumen.
Salah satu otak mafia tanah, yakni DR, berasal dari keluarga kalangan atas. Wanita 59 tahun ini diketahui merupakan putri dari seorang direktur sebuah BUMN karya yang menjabat pada tahun 1980-an.
Di berkas perkara putusan pengadilan, DR terlibat setidaknya dalam enam kasus tanah sejak tahun 2012. Rumah yang diincar DR semuanya ada di Jakarta Selatan. Kini, DR mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 1 Pondok Bambu.
Pelaku mafia tanah lainnya yang juga berasal dari keluarga berkecukupan adalah AS (37). Dia ditengarai sebagai otak dari berbagai kasus mafia tanah di Jakarta Selatan. AS sekurang-kurangnya terlibat dalam tiga kasus pidana pertanahan, baik penipuan maupun pemalsuan berkas.
Kasus terakhir menjerat AS saat ia dan komplotan beraksi di rumah milik orangtua mantan wakil menteri luar negeri Dino Patti Djalal di Jalan Sekolah Duta, Jakarta Selatan.
AS sempat mengontrak rumah mewah di Jalan Gaharu, Cipete, Jakarta Selatan. Ia tak sampai setahun menempati rumah itu. Tak lama setelah pindah dari rumah sewaan itu, AS pun dibekuk polisi.
DR ataupun AS lantas merekrut orang sesuai keahlian yang dibutuhkan untuk memuluskan kejahatan mereka.
Orang-orang yang direkrut, antara lain, berperan sebagai pemalsu dokumen, notaris palsu, petugas dari kantor notaris, figur yang memerankan sosok pemilik rumah, atau orang yang bertugas menukar sertifikat asli dan palsu.
Jumlah anggota mafia tanah tidak selalu sama di setiap kasus. Kebutuhan anggota ini, antara lain, menyesuaikan permintaan korban.
Salah satu anggota mafia tanah yang bekerja di kelompok DR ataupun AS adalah Derus (51). Dari catatan polisi dan berkas pengadilan, Derus memiliki keahlian khusus untuk memalsukan sertifikat tanah. Derus yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Salemba pun beberapa kali bertugas menukar sertifikat asli dengan yang palsu.
Sebelum ditangkap, Derus pernah tinggal di perumahan Vila Nusa Indah, Kelurahan Bojong Kulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Namun, rumah dua kavling yang disambung menjadi satu itu telah dijual. Istri dan dua anak perempuan Derus pun tak lagi tinggal di rumah yang sudah mereka huni sekitar 22 tahun itu.
Derus dikenal sebagai warga yang aktif, bahkan dia pernah menjadi pengurus RT pada tahun 2010-2013. Apabila ditanya, Derus mengatakan bekerja di kantor notaris milik kakaknya.
Pelaku mafia tanah lainnya, RH (40), juga berasal dari kalangan ekonomi bawah. RH yang mendekam di Rutan Kelas 1 Cipinang ini beberapa kali berperan sebagai notaris palsu. Notaris gadungan ini pernah menyewa ruko dan rumah di kawasan Tebet dan Blok M.
Terakhir, pada 6 April lalu, RH divonis 3 tahun penjara atas penggelapan surat-surat rumah di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan. Lagi-lagi RH berperan sebagai notaris palsu dalam kasus ini.
Sebelum mendekam di tahanan, RH tinggal di Kampung Dukuh, Kelurahan Ciledug, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, sekitar 24 kilometer dari Cikarang, ibu kota kabupaten. Di rumah yang terlihat asri itu, RH tinggal bersama istri dan dua anaknya. Di seberang rumah itu, tinggal keluarga istri RH.
Dari pekerjaan ilegal yang tidak pernah diceritakan RH kepada keluarganya ini, tidak banyak nafkah yang diberikan kepada istri dan anaknya. Bukan kemewahan harta benda yang ditinggalkan RH sebelum ditahan. Justru setelah ditangkap, sang istri terpaksa keluar dari pekerjaannya lantaran tak tahan dengan omongan rekan kerjanya. Demi bertahan hidup kini, sang istri mengaku menjual barang-barang yang ada di rumahnya.
Kaki tangan seperti Derus dan RH tidak mendapatkan bagian besar dari hasil kejahatan ini. Sekali beraksi, mereka mengantongi Rp 10 juta hingga Rp 20 juta saja.
Padahal, sekali mengagunkan rumah mewah itu, komplotan ini bisa meraup miliaran rupiah. Sejumlah kaki tangan mengaku terlilit utang sehingga menerima tawaran melakukan kejahatan ini dengan imbalan yang tak seberapa.
Bagian terbesar dikantongi mereka yang menjadi otak dari komplotan ini. Besarannya bisa mencapai puluhan juta rupiah hingga miliaran rupiah.
baca juga: Majalah Eksekutif edisi cetak : klik ini