Tulisan ini berawal dari keprihatinan akan amburadulnya praksis kepemimpinan, khususnya di negeri kita (catatan : di belahan negeri manapun di dunia hal ini juga terjadi – seperti pernah dikatakan juga oleh Peter F. Drucker).
Fenomena rusaknya praksis kepemimpinan tersebut dilandasi oleh beberapa fenomena sbb:
(1) Adanya krisis moral di dunia, yang khususnya sedang melanda negara dan bangsa kita secara luarbiasa.
Prof. MT Zen pernah menuliskan di Kompas (23 April 1998), bahwa nilai-nilai moral (dan etika) meluncur ke bawah seperti longsoran salju (lawina) di lereng pegunungan Alpen.
Lawina itu demikian hebatnya sehingga menghancurkan dinding pemisah dua dunia, yakitu antara right (benar) dan wrong (salah), serta antara good (baik) dan evil (jahat).
(2) Di negeri kita – lawina itu – yang menyedihkan justru meluncur paling hebat dari “pucuk-pucuk tertinggi pegunungan Alpen”, yakni dari dimensi kehidupan para pemimpin kita, baik itu di organisasi pemerintahan atau negara, organisasi bisnis, dan seterusnya.
Empat tahun setelah sinyelemen Zen di atas, ternyata krisis moral yang lebih banyak meluncur dari “pucuk-pucuk tertinggi” – terus saja meluncur bahkan makin hebat.
Tajuk Rencana Kompas (11 Oktober 2002) menuliskan; setelah sekian tahun berlalu, penyebab kondisi serba krisis ini ternyata bukan krisis ekonomi, sosial, atau politik – tapi krisis moral dan etika.
Itu semua bermuara dari para pemimpin di level atas.
(3) Menyangkut wacana kepemimpinan sendiri, terlebih dalam aras praktek – betapa kita melihat bahwa kepemimpinan sebagai bagian dari dinamika manajemen secara umum, selain dihinggapi krisis moral tersebut, sangat nyata demikian berorientasi pada wacana kepemimpinan yang justru cenderung terlalu Rasional, mengingat kepemimpinan adalah salah satu bagian dari dimensi manajemen secara umum – yang hingga hari ini masih cenderung “mengagungkan” rasionalitas.
Kondisi di atas, “ternyata” hanya menyebabkan dimensi kepemimpinan tersebut menjadi demikian rentan terhadap longsoran lawina sehingga sangat mudah dihinggapi krisis moral, terutama dalam aras praktek.
Namun sayangnya, praktek-raktek kepemimpinan semacam itulah yang justru masih sangat digemari oleh “dunia kepemimpinan”.
Praktek-praktek kepemimpinan itu, biasanya berorientasi pada semua hal yang menyangkut gaya kepemimpinan, teknik kepemimpinan, ketrampilan kepemimpinan, visi-visi kepemimpinan dan berujung pada kualitas kepemimpinan – yang observasi dan parameternya relatif “kasat mata”.
Padahal, sekali lagi, semua aspek kepemimpinan serba kasat mata itu ternyata demikian rentan terhadap longsoran lawina.
Konkretnya, praktek kepemimpinan dewasa ini cenderung menjadi kepemimpinan eksesif yang serba : koersif, deterministik, egois, relasi dan orientasi menang-kalah, licik, oportunistis, asas manfaat, manipulatif-eksploitatif.
Muara akhir dari semua butir di atas akhirnya membuat bibir semua orang demikian fasih menyebutkan “ Krisis Kepemimpinan!” Di negeri kita, krisis kepemimpinan ini menyusup ke semua relung dan tulang kehidupan.
Fenomena KKN serta gonjang-ganjing politik yang terus dan semakin menghantui negara kita, praktek-praktek kotor bisnis dan hukum serta saling keterkaitannya, konflik-konflik perburuhan secara tripartite (pemerintah, pengusaha dan pekerja), merupakan refleksi paling sederhana untuk menggambarkan Krisis Kepemimpinan di segala bidang.
Di dunia global, berbagai skandal perusahaan di Amerika atau berbagai konflik dan ancaman perang antar negara, terorisme, merupakan refleksi global krisis kepemimpinan yang sangat menghantui benak kita.
Maka, tak usah heran jika Edward Demming menyebutkan; bahwa kualitas kepemimpinan seseorang sesungguhnya lebih ditentukan oleh aspek, unsur atau faktor yang tak kelihatan, tak kasat mata (the unseen quality).
Padahal kita tahu, hampir seumur hidupnya Demming lebih suka berkutat dengan metode-metode kasat mata yang disebut statistik.
Jadi jelasnya, praktek kepemimpinan berorientasi rasional dan serba kasat mata seperti terjadi selama ini, yang berekses pada munculnya krisis moral (krisis kepemimpinan), perlu mendapatkan sentuhan lain – sebuah kepemimpinan yang berorientasi pada hal-hal yang tak kasat mata.
Bila mengadaptasi EF Schumacher (dalam A Guide for the Perplexed), ada dua jenis indra pada diri manusia dalam menelusuri dinamika eksistensial hidupnya.
Pertama, indra lahiriah, yang terdiri dari; panca indra serta pikiran yang berpusat di otak. Semua data indrawi “hanya” diterima begitu saja oleh panca indra kita, lalu pikiranlah yang mengelolanya. Misalnya, bunyi-bunyi nada yang diterima oleh indra telinga.
Semua manusia sama menerima bunyi nada tersebut dengan telinganya. Namun ketika sampai di otak, bunyi nada tersebut diolah oleh pikrian.
Itulah yang membedakan, kenapa pada si A, bunyi nada itu hanya sekadar bunyi-bunyian. Sedangkan pada si B, bunyi nada tersebut berubah menjadi sebuah simponi.
Indra lahiriah inilah yang mendasari segenap dinamika pola kepemimpinan rasional berorientasi kasat mata. Sedangkan yang kedua adalah indra batiniah, yang oleh Schumacher disebutkan berpusat di hati.
Selain data indrawi, tentu banyak data non indrawi, yang tak bisa begitu saja ditangkap panca indra dan disalurkan ke pikiran di otak. Untuk itulah manusia diperlengkapi dengan indra batiniah, yaitu : hati.
Sayangnya, hati manusia sendiri sering kotor. Padahal menurut Felicite Robert de Lamennais; hati (nurani) adalah tempat suci yang hanya bisa dimasuki oleh Allah.
Maka untuk menjaga kebersihan hati itu, manusia diperlengkapi oleh iman. Mengingat krisis moral (kepemimpinan) yang merajalela saat ini, betapa kita makin membutuhkan dan merindukan jenis kepemimpinan lain yang bisa membentengi seorang pemimpin dari “krisis moral”.
Hati dan iman, adalah esensi yang jelas tak kasat mata, yang jarang sekali “diperbincangkan” dalam wacana-wacana kepemimpinan, baik formal maupun informal.
Hati dan iman, adalah indra batiniah manusia yang sangat luarbiasa.
Kepemimpinan yang dilandasi oleh indra batiniah tersebut, akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kepemimpinan dengan “K” besar. Contoh konkret pemimpin-pemimpin semacam itu bisa dilihat pada sosok Hatta di Indonesia, atau Gandhi, Matsushita, dan banyak lainnya.
Kepemimpinan dengan indra batiniah sesungguhnya masih dilengkapi dengan aspek-aspek tak kasat mata lainnya, yaitu; syukur dan kasih.
Tentu penulis tak bisa menjelaskannya dalam artikel pendek ini. Dalam buku “Kepemimpinan Dimensi Ke Empat” (HT, 2003), seluk-beluk dan mekanisme indra batiniah dalam kepemimpinan dibahas dengan panjang lebar. Semoga dalam artikel lain, penulis bisa berkesempatan membaginya dengan para pembaca.
Sungguh, dunia kepemimpinan dengan krisis moralnya yang luarbiasa ini, sangat membutuhkan kepemimpinan alternatif.
Kepemimpinan yang dipenuhi oleh percikan suara hati, iman, syukur dan kasih – yang justru “tak kasat mata” – sungguh menyodorkan optimisme baru.